APA JADINYA, bila Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) berakhir tanpa ada persetujuan bersama antara DPRD dan Pemerintah Daerah?. Pertanyaan ini terkadang muncul dari berbagai kalangan, tidak hanya datang dari lingkungan internal DPRD, Pemerintah Daerah, tapi juga datang dari masyarakat awam, sehingga problem ini butuh jawaban yang tepat.
Tidak bisa dipungkiri, mencuatnya ketidakharmonisan lembaga legislatif dan pemerintah daerah dalam menyusun dan penetapan Ranperda tentang APBD ada yang berakhir deadlock alias tidak adanya persetujuan keduabelah pihak, sehingga hingga batas waktu penyusunan dan pengesahan APBD tersebut tidak sesuai tahapan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.
Dalam penyusunan, pembahasan dan pengesahan APBD, menurut penulis, ada beberapa regulasi yang menjadi payung hukum, sebagaimana telah diatur melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 77 Tahun 2020 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Daerah dan peraturan lainnya yang mengatur tentang pedoman penyusunan APBD yang dikeluarkan setiap tahun oleh Kementerian Dalam Negeri.
Untuk menjawab problematika sebagaimana yang telah disampaikan diatas, maka kita akan mendalami dengan merujuk melalui regulasi yang ada.
Pertama, kita perlu melihat ketentuan Pasal 312 ayat (2) UU Pemerintah Daerah, "DPRD dan kepala daerah tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun, dikenai sanksi administrasi berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
Menurut penulis, salahsatu bentuk sanksi administrasi dengan tidak dibayarkan hak-hak keuangan daerah dari Pemerintah Pusat berupa bentuk pemotongan DAU (dana alokasi umum) dan dana transfer lainnya. Oleh karena itu sesuai aturan, paling lambat 30 Nopember pada tahun anggaran berkenan wajib ditetapkan Rancangan Perda APBD dengan persetujuan bersama DPRD dan Pemerintah Daerah.
Hanya saja bila terjadi deadlock persetujuan bersama atas Rancangan Perda tentang APBD, sesuai ketentuan Pasal 313 UU Pemerintah Daerah masih memberikan ruang kepada Pemerintah Daerah melalui kepala daerah untuk menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulannya.Â
Rancangan Perkada tentang APBD tersebut dapat ditetapkan setelah memperoleh pengesahan dari Menteri bagi Daerah provinsi dan Gubernur bagi Daerah kabupaten/kota. "Penegasan ini sanksi, juga diatur tegas dalam ketentuan Pasal 106 ayat (2), Pasal 107, Pasal 108, Â Pasal 109 dan Pasal 110 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019," ungkap penulis.
Keterlambatan penetapan persetujuan Rancangan Perda tentang APBD, juga akan memberikan dampak lain, salah satunya adalah ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan ini menjadi catatan dan penilaian tersendiri bagi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) untuk memberikan opini penilaian berupa; WTP (wajar tanpa pengecualian), WDP (wajar dengan pengecualian), dan tidak memberikan pendapat (disclimer) kepada daerah bersangkutan.
Hal ini mengutip dari ketentuan penjelasan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggungjawab Keuangan Negara, yang menegaskan, opini merupakan peryataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan yang berdasarkan pada kriteria, yakni; kesesuaian dengan standar akutansi pemerintah (SAP), kecukupan pengungkapan (adequate disclosures), kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, efektivitas sistem pengendalian intern.