Mohon tunggu...
MUHAMMAD ARIS
MUHAMMAD ARIS Mohon Tunggu... Wiraswasta - Muhammad Aris

1. Unfrel (University Network for Free Election) Jambi 1999. 2. Wartawan Jambi Independent 1999-2008. 3. Komisioner KPU Kab. Batang Hari, Jambi 2008-2013. 4. Pengurus KONI Kab. Batang Hari 2010-2018. 5.Sekretaris Pokja Ketahanan Pangan Kab.Batang Hari 2011-2016. 6. Sekretaris DPD KNPI Kabupaten Batanghari 2013-2016. 7. Sekretaris Visi Politika Provinsi Jambi 2014-2019. 8. Sekretaris BPD Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan) Kab. Batang Hari 2014-2019 dan 2021-2026. 9. Pengurus Karang Taruna Kab. Batang Hari 2016-2021. 10. Tim Ahli DPRD Kab. Batang Hari, Jambi 2014- skrg. 11. Ketua Dewan Penasehat SMSI (Serikat Media Siber Indonesia) Kab. Batang Hari 2019-2024. 12. Pengurus JaDI (Jaringan Demokrasi Indonesia) Provinsi Jambi 2019-2024. 12. Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari 2021-2026. 13. Advokat.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Bolehkah Pemerintah Daerah Ajukan Pinjaman Daerah?

9 Juni 2021   23:53 Diperbarui: 10 Juni 2021   08:35 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salinan PP No.56/2018 tentang Pinjaman Daerah

PANDEMI Covid-19 yang mulai terjadi sejak 2019 telah berdampak pada roda perekonomian Daerah dan Nasional terganggu. Sejumlah Daerah (Pemerintah Daerah) terpaksa memanfaatkan pinjaman daerah alias 'utang' untuk menutupi pembiayaan daerah di APBD yang mengalami defisit. Arti kata utang mengutip dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah uang yang dipinjam dari orang lain atau kewajiban membayar kembali apa yang sudah diterima, sementara arti Berutang adalah mempunyai hutang kepada pihak tertentu.  

Sedangkan pengertian pinjaman daerah menurut pasal 1 angka 15 Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.

Bolehkah Pemerintah Daerah mengajukan pinjaman daerah alias (ber) utang kepada pihak lain?. Ada beberapa regulasi yang menjadi pedoman bagi Pemerintah Daerah untuk mengajukan pinjaman daerah, diantaranya; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah. Sesuai ketentuan,  Daerah (Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota) diperkenankan mengajukan pinjaman daerah. Ini tegas disebutkan pada pasal 305 ayat (3) dan ayat (4) huruf d Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, menegaskan dalam hal APBD diperkirakan defisit, APBD dapat didanai dari penerimaan pembiayaan Daerah yang ditetapkan dalam Perda tentang APBD. Kemudian,  penerimaan pembiayaan Daerah bersumber dari pinjaman daerah.

Lalu, pihak mana saja yang bisa menjadi sumber pinjaman Daerah?. Menurut pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 tentang Pinjaman Daerah dan pasal 74 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, bahwa pinjaman daerah dapat bersumber dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah lain, LKB (Lembaga Keuangan Bank), LKBB (Lembaga Keuangan Bukan Bank), dan/atau masyarakat.

Pinjaman daerah yang bersumber dari Pemerintah Pusat bersumber dari APBN yang terdiri penerusan pinjaman daerah dalam negeri, penerusan pinjaman daerah luar negeri dan sumber lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah daerah lainnya, dilakukan dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan ketersediaan kas. Pinjaman daerah yang bersumber dari LKB dan LKBB diwajibkan berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara kesatuan Republik Indonesia. 

Sementara, pinjaman daerah yang bersumber dari masyarakat berupa obligasi daerah. Obligasi daerah menurut pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018 adalah pinjaman daerah yang ditawarkan kepada publik melalui penawaran umum di pasar modal. Oleh karena itu, pengelolaan pinjaman daerah harus memenuhi prinsip, taat pada aturan, transparansi, akuntabel, efisien dan efektif dan kehati-hatian.

Dalam melakukan pinjaman daerah, apa yang menjadi larangan bagi pemerintah daerah?. Mengacu pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, larangan yang dimaksud itu, diantaranya; Daerah dilarang melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain, pendapatan dan/atau barang milik daerah tidak dapat dijadikan jaminan pinjaman daerah, kegiatan yang dibiayai dari penerbitan obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam kegiatan tersebut dapat dijadikan jaminan penerbitan obligasi daerah.

Ada tiga jenis pinjaman daerah, yakni pinjaman jangka pendek, pinjaman jangka menengah dan pinjaman jangka panjang.

Pertama, untuk pinjaman daerah jangka pendek, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lainnya yang seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran berjalan, pinjaman jangka pendek ini dipergunakan hanya untuk menutupi kekurangan arus kas, sementara sumber pinjaman jangka pendek dapat berasal dari daerah lain (Pemerintah Daerah lain), LKB dan LKBB.

Kedua, untuk pinjaman daerah jangka menengah, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lainnya yang seluruhnya harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa  jabatan kepala daerah di Daerah bersangkutan. Lalu, pinjaman daerah jangka menengah dapat digunakan untuk membiayai kegiatan prasarana dan/atau sarana pelayanan publik di Daerah yang tidak menghasilkan penerimaan daerah. Sedangkan sumber pinjaman daerah jangka menengah bisa bersumber dari pemerintah pusat, LKB dan LKBB.

Ketiga, untuk pinjaman daerah jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu pengembalian pinjaman lebih dari satu tahun anggaran dengan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga dan biaya lainnya yang seluruhnya harus dilunasi pada tahun anggaran berikutnya sesuai dengan syarat perjanjian pinjaman. 

Pinjaman daerah jangka panjang dapat digunakan untuk membiayai infrastruktur dan/atau kegiatan investasi berupa kegiatan pembangunan prasaranan dan/atau sarana dalam rangka penyediaan pelayanan publik yang menjadi urusan pemerintah daerah dengan tujuan mampu menghasilkan penerimaan langsung berupa pendapatan bagi APBD yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan/atau sarana daerah dan menghasilkan penerimaan tidak langsung berupa penghematan belanja APBD yang seharusnya dikeluarkan apalabila kegiatan tersebut tidak dilaksanakan serta memberikan manfaat ekonomi dan sosial. Sedangkan sumber pinjaman daerah jangka panjang bisa berasal dari pemerintah Pusat, LKB, LKBB dan masyarakat.

Apa saja persyaratan pinjaman daerah?. Secara tegas telah disebutkan pada pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, Daerah harus memenuhi beberapa ketentuan, yakni; pinjaman daerah yang akan ditarik tidak melebihi 75 persen dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya, nilai rasio kemampuan keuangan daerah untuk pengembalian pinjaman daerah sebagaimana ditetapkan oleh menterim keuangan dan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalikan pinjaman yang berasal dari Pemerintah Pusat. Selain itu, kegiatan yang dibiayai dari pinjaman daerah harus sesuai dengan dokumen perencanaan daerah dan persyaratan lain yang ditetapkan pemberi pinjaman sesuai peraturan peundang-undangan.

Apakah pinjaman daerah wajib disetujui DPRD?. Tentunya, wajib sebagaimana ditegaskan pada pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, untuk pinjaman daerah jangka menengah dan jangka jangka panjang wajib mendapat persetujuan DPRD, dan persetujuan itu dilakukan bersamaan pada saat pembahasan KUA-PPAS APBD.

Bagaimana mekanisme usulan pinjaman daerah?.

Kalau sumber pinjaman daerah berasal dari Pemerintah Pusat, ketentuan ini diatur pada pasal 18 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, dijelaskan Daerah dapat mengajukan pinjaman yang bersumber dari Pemerintah Pusat kepada Menteri Keuangan setelah memperoleh pertimbangan dari Menteri Dalam Negeri dengan cara kepala daerah yang menyampaikan usulan rencana pinjaman daerah untuk mendapat pertimbangan Menteri Dalam Negeri dengan melampirkan dokumen, yakni persetujuan DPRD, salinan berita acara pelantikan kepala daerah, kerangka acuan kegiatan, RPJMD, RKPD, LKPD selama tiga tahun terakhir, APBD tahun berjalan, ranperda tentang APBD tahun berkenan, rencana keuangan pinjaman daerah. 

Berdasarkan pertimbangan Menteri Dalam Negeri, kepala daerah menyampaikan usulan rencana pinjaman daerah kepada Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan dengan melampirkan dokumen, yakni persetujuan DPRD, berita acara salinan pelantikan kepala daerah, kerangka acuan kegiatan, LKPD selama tiga tahun terakhir, APBD tahun anggaran berjalan, ranperda tentang APBD tahun berkenan, rencana keuangan pinjaman daerah dan surat pertimbangan Menteri Dalam Negeri.

Sementara mekanisme usulan pinjaman daerah yang bersumber dari Daerah lain, LKB dan LKBB, untuk pinjaman daerah jangka pendek/menengah/panjang, maka Daerah mengajukan pinjaman usulan pinjaman daerah kepada calon pemberi pinjaman. Ini sesuai ketentuan pasal 28 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018.

Adakah Sanksi bagi Daerah yang dinilai melanggar ketentuan pinjaman daerah?. Tentu saja ada, mengacu pada pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, maka bagi Daerah yang melanggar larangan pinjaman daerah sebagaimana dimaksud pada pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2018, maka akan diberikan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan DAU dan/atau DBH yang menjadi hak daerah yang bersangkutan. 

Lalu, Pemerintah Daerah yang tidak memenuhi kewajiban pembayaran kembali pinjaman dari Pemerintah Pusat maka pembayaran diperhitungkan dengan DAU dan/atau DBH yang menjadi hak daerah bersangkutan. Selanjutnya, Pemerintah Daerah yang tidak menyampaikan laporan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan maka Menteri Keuangan dapat menunda penyaluran DAU dan/atau DBH kepada daerah yang bersangkutan.

Semoga bermanfaat (*).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun