“Sejarah 14 tahun lalu itu bakal terulang lagi...”
Meskipun RUU pemilihan kepala daerah belum disahkan DPR RI, namun wacana pemilukada yang disuarakan koalisi merah putih (KMP) untuk mengembalikan melalui sistim perwakilan (DPRD) semakin menguat kepermukaan. KMP berjuang melalui sejumlah fraksi DPR RI yang mengusung pasangan Prabowo – Hatta pada pilpres 2014 lalu.
Bila wacana itu akhirnya menjadi kenyataan dan diputuskan 25 September 2014 nanti, maka rakyat Indonesia tidak akan pernah lagi merasakan hiruk pikuk pesta demokrasi secara langsung, tidak ada lagi kata istilah ‘one man one vote’ atau suara rakyat adalah penentu, Semuanya dikembalikan ke power partai. Siapa yang mampu merangkul partai sebanyak mungkin, maka dialah yang tampil menjadi pemenang diparlemen meskipun proses pemilihan belum dilaksanakan.
Proses pemilihan pasangan kepala daerah melalui DPRD sudah pernah dirasakan. Sebagai salah satu saksi sejarah pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Batang Hari periode 2001-2006 tatkala dua pasangan calon bertarung kala itu, yakni H. Abdul Fattah, SH – Ir. Syahisah, SY dan Ir Hamdi Rahman – Tommy A Usman.
Saat itu penulis adalah wartawan Independent (sekarang bernama Jambi Independent) yang ditempatkan di Kabupaten Batang Hari. Proses pemilihan yang berlangsung sekitar akhir tahun 2000 lalu di gedung DPRD Batang Hari jalan Jenderal Sudirman, Muara Bulian (kini menjadi kantor Badan Ketahanan Pangan Kabupaten Batang Hari) menjadi saksi bisu. Untuk bisa masuk di ruangan parlemen tersebut, pihak kepolisian melakukan penjagaan ketat. Akhirnya ratusan massa pendukung pasangan calon berkumpul diluar pagar gedung dewan.
Bekas Gedung DPRD Batang Hari di Jalan Jenderal Sudirman, Muara Bulian, menjadi saksi bisu proses pemilukada melalui DPRD tahun 2000 lalu.
Sementara yang berada didalam gedung DPRD itu adalah pasangan calon, pimpinan dan anggota serta pegawai sekretariat DPRD Batang Hari, unsur muspida, para pejabat Kabupaten Batang Hari, pimpinan partai, OKP, Ormas, media dan tamu undangan. Pada saat panitia membacakan surat suara terakhir untuk kemenangan H. Abdul Fattah, SH – Ir. Syahisah, SY, hiruk pikuk dan ketegangan emosi para pendukung salah satu pasangan calon mulai meninggi, entah siapa yang memulai batupun dan benda lainnya beterbangan ke arah gedung DPRD Batang Hari yang hanya berjarak sekitar 15 meter dari pagar pembatas. Suasana mencekam terjadi sekitar 30 menit, akibatnya siapapun yang berada di dalam gedung tersebut merasakan ketakutan dan berusaha menyelamatkan diri, karena bagian belakang gedung dewan yang dikelilingi tembok setinggi dua meter, maka mau tidak mau harus menaiki tembok tersebut menggunakan peralatan seadanya seperti tangga, atau memanjat dengan paksa.Untungnya waktu itu pihak kepolisian mampu mengendalikan emosi pendukung salah satu pasangan calon yang tidak menerima kekalahan tersebut.
Akibat insiden itu, atap dan kaca jendela gedung bangunan tersebut rusak dan berantakan, tidak hanya itu suasana tensi politik pasca pemilihan tersebut berlangsung dalam waktu yang cukup lama hingga proses pelantikan. Bila memang pemilihan kepala daerah akhirnya melalui DPRD, maka sejarah 14 tahun itu terulang kembali.
Meskipun saya sudah menggambar peristiwa 14 tahun silam itu, bukan berarti saya memberikan gambaran itu pada pilkada melalui DPRD dimasa mendatang akan terjadi seperti di tahun 2000 lalu tersebut.
Pasca pemilihan kepala daerah melalui DPRD Batang Hari tahun 2010 lalu, masyarakat Kabupaten Batang Hari telah melewati proses pemilihan secara langsung sebanyak 2 kali (tahun 2005 dan 2010). Dimana tahun 2005 tidak ada sengketa pilkada ke MK, sementara tahun 2010 sengketa pilkada sampai ke MK.
Penulis bisa merasakan sendiri kedua sistim pemilihan tersebut (langsung dan tidak langsung), karena pernah menjadi penyelenggara pemilu (saat menjadi Komisioner KPU Batang Hari 2008-2013) dan saat menjadi wartawan (Jambi Independent) surat kabar terbesar di Provinsi Jambi yang meliput langsung proses pemilihan tersebut.
Kalau melalui proses DPRD, tentu kita tidak akan pernah berjibaku dengan proses pemutakhiran pemilih, kita tidak pernah merasakan lagi goyangan artis ibukota (saat paslon kampanye terbuka), tidak ada lagi suara deringan hp di ujung desa (petugas KPPS/PPS) menanyakan perkembangan seputar pemilu, tidak ada lagi tenda-tenda TPS, tidak ada lagi proses pelipatan suara, kotak-kotak suara tidak lagi terdengar oleh tetangga-tetangga di kantor penyelenggara pemilu. Tidak ada lagi cuap-cuap sosialisasi pemilu dan suara rakyat akhirnya dikerangkeng. Bahkan paslon tidak akan lagi rajin ‘blusukan’ ke masyarakat.
Bahkan, perusahan adversiting pun akan merasakan dampak pemilihan via perwakilan itu, karena tidak ada lagi pemesanan dalam jumlah besar. Dan masyarakat yang ingin menjadi penyelenggara pemilu (KPPS/PPS/PPK/Panwascam/PPL) mungkin tinggal impian. Tidak hanya itu, lembaga survei, pengamat politik bahkan lambat laun akan menepi. Bahkan e-voting yang pernah diwacanakan akan digunakan pada pemilu dimasa-masa mendatang tinggal sejarah dan akan terkubur dengan sendirinya. Pedagang kecilpun tidak lagi merasakan manisnya pesta demokrasi, karena sepinya pengunjung.
Muncul pertanyaan Apakah suatu hari nanti, akan digelar referendum untuk memutuskan pemilu/pemilukada dilaksanakan langsung atau tidak langsung tidak lagi ditentukan partai politik (melalui fraksi-fraksi DPR RI).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H