Salah satu undang-undang yang bertentangan dengan asas demokrasi ialah Pasal 201 ayat (10) dan ayat (11) yang kurang lebih menjelaskan tentang kosongnya kursi pejabat Gubernur/Bupati/Walikota, akan diisi dengan diangkatnya jabatan pimpinan tinggi sampai dengan pelantikan Gubernur/Bupati/Walikota. Dengan kata lain pengangkatan seorang pemimpin ditunjuk oleh pemerintah, dimana keputusan tersebut sangatlah disayangkan bagi masyarakat, karena masyarakat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang diharapkan dapat membawa kesejahteraan, tetapi dipaksa menerima pemimpin yang hanya dikenal oleh visi misinya lewat kampanye.
Adapula masalah dalam Pilkada yang kandidat pasangan calonnya kurang dikenal oleh masyarakat luas, sehingga antusias masyarakat berkurang dan mengakibatkan pemilihan yang tidak efektif, seperti pencoblosan pasangan calon yang sebenarnya peserta sendiri tidak tahu latar belakangnya seperti apa, visi misinya bagaimana, dan sebagainya. Â Kasus ini umumnya ditemukan dalam pemilihan kepala daerah tingkat kabupaten.
Berdasarkan permasalahan yang terjadi seperti adanya politik uang, persaingan antar kandidat yang kurang kompetitif telah menunjukkan bahwasanya pemilihan pemimpin di kotamadya belum berjalan dengan bersih. Belum lagi kampanye-kampanye gelap yang marak terjadi menjadikan persaingan yang tidak sehat. Sebagai pemilik hak suara kita harus menyikapi permasalahan ini dengan kedewasaan. Dengan tidak menerima apapun bentuk kampanye-kampanye hitam. Jangan sampai hak suara kita dibeli dengan sejumlah uang yang tidak seberapa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H