Mohon tunggu...
SHAHIB  ANSHARI
SHAHIB ANSHARI Mohon Tunggu... Ilmuwan - Presiden Mahasiswa KEMA SSG 2018 I Penulis Buku Merawat Indonesia

Gas

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Abi Kembali Menua, Namun Teladan dan Daya Juangnya Tetap Muda

13 Agustus 2019   05:41 Diperbarui: 13 Agustus 2019   07:24 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada kisah ini penulis ingin menceritakan pembelajaran yang berbeda dari sebelumnya. Dari seseorang yang telah banyak menginspirasi, memberi semangat, membekali energi, pun sampai membuat penulis ingin belajar menjadi manusia yang penuh arti. Banyak pengalaman dan pembelajaran yang penulis serap darinya, tersirat maupun tersurat. Dialah salah satu wasilah pembentuk karakter keseharian penulis hingga menjadi sekarang ini. Ialah Abi.

Pahlawan, panutan, pemimpin, mengayomi dan banyak lagi kata yang menggambarkan sosok Abi.Tak pernah habis kata untuk sosok yang satu ini, sosok yang selalu melindungi kita dan keluarga, lelah, bingung, tidak punya uang, takut tidak pernah beliau tunjukan di hadapan anak anaknya walaupun sebenarnya kita tahu kalau beliau dalam masalah tersebut, sebisa mungkin beliau mengedepankan raut yang bisa di andalkan di hadapan orang yang di sayangi, khususnya di hadapan istri dan anak anaknya. Semampu mungkin tampil sebagai sosok yang akan selalu dan terus melindungi, mencukupi, dan mengerti. Tetapi kebanyakan sosok Abi tidak pandai memperlihatkan atau menyalurkan rasa sayangnya kepada orang yang di sayangi sebesar sayang yang di milikanya.

Abi, aku tahu engkau lelah, lelah memikirkan bagaimana engkau selalu bisa membahagiakan orang yang kau sayangi, lelah menjalani hidup yang kian keras, sedangkan usiamu kian bertambah dan tak sekuat saat kau masih muda, dulu mungkin kau bisa bergerak sesuai dengan apa yang ada di pikiranmu namun sekarang ragamu tak lagi sejalan dengan pikiran karena raga itu tak sekuat saat kau muda, meskipun sekarang usia itu telah sedikit menghalangi langkahmu namun kau tetap berkutat raga dan pikiran agar terus dapat membahagiakan keluarga.

Jangan pernah tanyakan, masih adakah pahlawan di masa modern seperti ini? Jangan pernah tanyakan masihkah ada yang pantas dijuluki pahlawan? Jangan pernah tanyakan! Karena sesungguhnya pahlawan-pahlawan itu begitu dekat dengan kita. ia bukanlah lagi yang berjuang dengan tombaknya, pedangnya, ataupun segala macam senjatanya untuk negeri ini. Sebelum kita kenal mereka, ialah yang mengenalkannya kepada mereka. Ia adalah yang mengambil bagian penting dalam kehidupan kita, bangsa kita, dan agama kita.

Mungkin banyak dari kita gagal memahami jasa besar yang telah Abi berikan dalam hidup kita. Mungkin tak sedikit yang menganggap Abi tak memiliki cinta. Juga tak jarang yang beranggapan Abi egois karena terlalu banyak memberi batasan pada kita. Mungkin Abi tak memiliki kata-kata yang indah untuk kita. Abi lebih memilih diam dan tidak banyak berbicara.

Lantas apakah itu berarti Abi tak punya cinta? Tidak. Sebenarnya, masalahnya hanya ada di kita. Kita yang seharusnya mencari dan mendefinisikan. Betapa banyak Abi sulit mengungkapkan perasaannya. Ia yang harus berdiri di balik jas kebesarannya sebagai seorang Abi. Ia yang selalu diburu waktu untuk tampil tegar. Ia yang harus selalu nampak bijaksana. Baginya banyak bicara merendahkan wibawanya. Ya, yang seringkali kita nilaikan pada tindakan Abi adalah wujud ketidakpeduliannya pada kita. Namun kita tetap harus percaya, Abi punya caranya sendiri dalam mencintai kita.

            Penulis adalah anak petama darinya. Banyak rentetan kisah menarik dan inspiratif darinya, dari mulai penulis kecil hingga sekarang umur 21, dari rumah yang awalnya hanya numpang orang tuanya, minjem kakak kakaknya, ngontrak, sampai punya sendiri, dari kemana mana jalan kaki, naik ojek pangkal, punya motor, hinggapun alhamdulillah sekarang di amanahi punya mobil. Itulah proses ia dalam sebagian hidupnya. Ia selalu bilang tentang segala apa yang baru di punyai dan dapatkan; bahwa itu bukan murni miliknya, namun titipan dari Allah. Dan membuat segala apa yang di milikinya di usahakan menjadi bisa berguna untuk yang lainnya, bukan hanya untuk pribadi dan keluargnya saja.

            Kala kecilnya ia habiskan bersama anak kampung biasanya, dan saat masih menjadi pemuda ia aktif mengikuti agenda masyarakat dan menjadi aktifis dakwah di kampus. Waktu kecil jika pergi kemana mana, penulis kerap kali di bawanya. Ke rumah nenek, kerja, kuliah,  mengisi pengajian ataupun mengisi agenda dakwah lainnya. Belum punya kendaraan apapun, jika tidak naik ojek, ya berarti jalan kaki. Sederhana, namun dari kesederhanaan tersebut membuat penulis sekarang sadar, secara tidak langsung itu telah mendidik dan membentuk karakter kepribadian anaknya. Setiap langkah dan ayunan kakinya ia hiasi dengan senyum di bibir sambil menyapa masyarakat yang ia telah lewati, Assalamualaikum, punten. Terkadang ngobrol sejenak jika ada orang yang sudah kenal. Di tengah jalan terkadang anaknya kecapean, tak ada cara lain bahwa itu ialah sirine untuk ia harus menggendongnya. Dengan kesabaran, ia gendong anaknya sembari tetap memancarkan senyum dan menyapa masyarakat yang telah terlewati hingga ketujuan.

Bukan saja ketika jalan kaki, ketika ia sudah mempunyai motor dan mobilpun tak ada bedanya. Di jalan perkampungan atau perumahan, yang hangat akan perbincangan para warganya atau orang yang hanya berpapasan, Senyum dan sapa selalu menjadi rintik dan kisah indah dalam setiap perjalanannya, kendaraannya di jalankan pelan pelan sehingga tak ada kata terlewat walau hanya sekedar menyapa orang di jalan; Assalamualaikum pak, bu. Terkadang jika satu arah, ia tak segan untuk menawarkan tumpangan. Ummi pernah menceritakan kisah abi ini di salah satu majalah. Ummi pernah bertanya tentang kebiasaan tebar salamnya Abi, sejak kapan dan apa yang memotivasi abi menjadi seperti itu. Abi menjawab "ya sayang dong mi momentnya, mumpung kita ketemu di jalan. Karena kalou kita bertamu kerumahnyakan belum tentu sempat, Alhamdulillah kita ketemu mereka dijalan, walau sebentar". Subhanallah, membaca kisah abi yang di tulis ummi di majalah tersebut, membuat penulis tersadar mengingat memoir masa kecil, karena penulis selalu banyak protes dan cerewet jika di ajak abi jalan berkendara apalagi kalou melewati perkampungan karena selalu saja moment menyapa menjadi hal yang tak terlewatkan dan menjadikan proses perjalanan cenderung lama untuk sampai. "bi cepet bi, etdah lama amat".

Hingga sekarang memoir keteladan tersebut selalu penulis ingat dan mencoba menurutinya. Di saat berkendara, saat joging, ataupun saat aktivitas yang lainnya. Mencoba menyapa dengan sapaan terbaik dari senyum hingga doa untuk yang sedang berpapasan. Sungguh, walau sekedar menyapa dan memberikan senyum terasa nikmat dan menjauhkan hati dari rasa galau dan gundah. Itulah mungkin salah satu alasan pribahasa kenapa kita harus bertemu orang lebih banyak, sebentar atau lama.

Dalam konteks yang berbeda ada satu cerita lagi yang hendak penulis kisahkan dalam bahasan kali ini, ketika di kala kecil penulis dan adik adik selalu protes terhadap aktivitas dakwah yang abi laksanakan. Ya memang, kaloulah harus jujur jujuran, abi sering habiskan waktunya untuk agenda di luar dari pada di rumah. Pagi bekerja, siang terkadang membina mahasiswa, malam mengisi pengajian bahkan jika tanggal merahpun ia sempatkan untuk mengisi panggilan dakwah ke pelosok pelosok desa, atau jika ada bencana dan darurat kemanusiaan ia termasuk yang selalu responsif. Tetapi walau begitu sibuknya ia tak pernah lewatkan untuk memberikan perhatian kepada anak anaknya.

Karena saking sibuknya di luar, penulis dan adik adikpun protes "abi kenapa sih, dakwah lagi dakwah lagi" sampai pikiran jail penulis mengungkap "Kalou sudah besar, shahib gak ingin kayak abi selalu sibuk", tapi abi dengan santainya menjawab "Aa dan adik adik, abi mohon maaf jika waktu abi bersama keluarga harus tersita dengan agenda dakwah abi, keluarga kita ini mempunyai amanah yang berbeda dengan yang lain, harus menjadi keluarga yang memiliki banyak manfaat untuk ummat. Nanti kalou sudah besar Aa bakal mengerti tentang ini". Singkat cerita, abi mengajak penulis untuk ikut dalam agenda dakwahnya ke salah satu pelosok desa, berangkat sore hari dan memerlukan waktu kurang lebih lima sampai enam jam untuk sampai ke tujuan. Hingga sampai ke tujuan kendaraan berhenti di malam hari, tenyata harus jalan kembali untuk sampai ke tepi agenda dengan melalui  Jalan setapak, di atas sawah, dengan kondisi gelap malam dan di iringi oleh suara suara jangkrik dan katak. Waktu kecil perasaan penulis menyesal karena telah mengikuti abi jalan jalan dan menunaikan agenda dakwahnya; karena capek, lelah hingga pegal pegal. Tetapi kini serasa tersadarkan, bahwa hidup kita ini Allah berikan bukan hanya untuk diri sendiri saja, namun ada hak orang lain untuk kita bantu. Baik dengan membuka wawasannya, memberikan pencerdasan hingga membantu secara materilnya. Dan ternyata dunia yang abi geluti itu kini sedikit sedikit menempel dalam keseharian penulis, dan penulis mulai menikmatinya.

Kita selaku manusia terkadang memandang hidup itu hanya untuk memperkaya dan meraup keuntungan pribadi saja, tanpa kita menyadari bahwa dalam diri kita terdapat hak orang lain yang kita harus berikan dan tunaikan, secara raga ataupun materil. Di manapun, kapanpun, dalam posisi apapun, dalam kondisi lapang ataupun sempit, masih jomblo hinggapun sudah menikah. Karena sesungguhnya yang Allah perintahkan itu, bagaimana setiap orang mampu memberikan manfaat bagi segenap yang lainnya, saling membantu, mengingat, dan mencerdaskan.

Itulah secuil kisah dan teladan abi yang penulis paparkan dalam pembahasan ini dari ribuan hingga tak terhingga kisah inspirasi yang penulis dapat darinya. Mungkin itu salah satu peran strategis ayah dalam memberikan teladan bagi generasinya, secara langsung ataupun tidak langsung, tetapi  yang pasti ia laksanakan dengan penuh kesabaran dan supaya orang di sekitarnya mendapati banyak pembelajaran.

Kini Abi kembali menua, sudah banyak perjuangan yang ia torehkan, berbagai capaian yang ia dapatkan, beribu manfaat yang ia berikan hingga sebuah pengorbanan yang selalu ada dalam setiap tetesan keringat dan perjuangannya. Namun, penulis sebagai anak pertamanya sungguh malu sebab belum mampu meneladani dan meneruskan perjuangan harapannya. Yang ia harapakan bisa menjadi penopang dan pengkokoh keluarga, rasanya masih jauh dari kata sempurna. Tak bisa penulis mengelak, kecuali terus belajar dari nya.

Terima kasih telah selalu berjuang bi, terima kasih telah mengenalkan Aa dan keluarga kepada agama yang paling indah lagi menenangkan; Islam. Semoga di Umur 49 abi ini; Allah hamparkan segala rahmat, rizki, barakah bagi kehidupan abi dan keluarga untuk kedepannya. Dan semoga umur kemanfaatan abi makin panjang dan luas. Dan semoga Allah selalu hadir dalam membantu dan melindungi abi dimanapun dan kapanpun. aamiin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun