Mohon tunggu...
Shafo De Robby
Shafo De Robby Mohon Tunggu... -

pengangguranship

Selanjutnya

Tutup

Otomotif

Melawan tol tengah kota (sebuah analisa masalah transportasi di kota besar)

22 April 2014   20:27 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:20 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Alangkah mengerikannya menjadi tua

dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupanyang seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.” –Seno Gumira Ajidarma-

Ungkapan jujur yang seakan mewakili setiap kita, berapa banyak waktu yang dihabiskan di jalan. Disetiap pagi dan petang jalan-jalan kota penuh sesak dengan kendaraan, begitu rutinnya kemacetan itu sehingga akal sehat sudah menerima bahwa hal itu adalah hal yang wajar. Bahwa kemacetan bukanlah masalah perkotaan lagi, karena masyarakat menganggap kemacetan adalah bagian dari rutinitas di pagi dan petang hari. Bukan hanya Surabaya atau Jakarta, kemacetan telah menjadi masalah besar bagi kota-kota besar di dunia. Untuk itu perlu perencanaan jangka panjang untuk menyelesaikan masalah kemacetan. Pembangunan yang berorientasi jangka pendek malah akan memperparah kemacetan di waktu yang akan datang.

Dalam teori transportasi ada dua metode penyelesaian masalah transportasi, yaitu conventional approach dan modern approach. Conventional approach : predict and provide, adalah cara pandang permasalahan kemacetan di kota-kota akibat ketidakmampuan jaringan jalan dalam menampung perkembangan pengguna jalan, baik mobil maupun sepeda motor. Penyelesaian menurut teori ini cukup sederhana, ketika jaringan jalan sudah tidak mampu lagi maka solusinya adalah dengan membangun jalan baru lagi. Teori ini dapat dipakai untuk daerah-daerah yang secara fisik jaringan prasarana kurang memadai. Untuk sebagian besar kota-kota di kawasan timur Indonesia, metode ini dapat dikembangkan. Dimana lahan masih tersedia dan pembangunan fisik sangat diperlukan. Disebagian besar kawasan timur Indonesia, dimana infrastruktur prasarana transportasi belum merata di seluruh daerah. Pembangunan jalan yang menghubungkan antar titik dengan titik yang lain, akses transportasi yang tersedia di daerah-daerah sangat berpengaruh terhadap perkembangan perekonomian daerah tersebut. Kemudahan distribusi hasil panen suatu daerah menjadikan harga-harga kebutuhan pokok stabil sehingga kondisi ekonomi suatu daerah tetap terjaga. Tidak terjadi ketimpangan harga antara di daerah penghasil dan daerah konsumen.

Apakah metode conventional approach bisa diaplikasikan di kota Surabaya ?

Bisa diaplikasikan untuk membuat jalur baru di pinggir kota, untuk memecah konsentrasi pemakai jalan yang selama ini menumpuk di jalan utama tengah kota. Tidak semua pengguna jalan utama kota, jalan A. Yani bertujuan di pusat kota Surabaya, bisa jadi mereka berkantor di daerah ujung Perak Surabaya. Maka jalur lingkar timur dibangun untuk mengakomodasi pengguna jalan dari luar kota ataupun pinggiran Surabaya untuk dapat langsung ke Surabaya utara dan sekitarnya, tanpa harus berjejal di pusat kota.

Bisa juga dibuat jalan layang baru, pada persimpangan-persimpangan yang rawan kemacetan, juga pada perlintasan kereta api yang selama ini menimbulkan potensi kemacetan. Masih ada beberapa titik di Surabaya yang lalu lintasnya terpotong jalur kereta api. Padahal frekuensi lalu lintas kereta api cukup sering.

Bagaimana dengan tol tengah kota ?

Membangun tol tengah kota untuk mengatasi kemacetan, ibarat menyiramkan bensin di atas bara api, semakin memperparah kemacetan. Perilaku bertransportasi masyarakat dipengaruhi oleh prasarana yang tersedia, ketika jalan dibangun maka yang terpikir adalah bagaimana memiliki sarana (mobil atau sepeda motor), dan otomatis ketika jalan tol dibangun maka kenaikan kepemilikan mobil akan semakin tinggi, dan tidak butuh waktu lama untuk macet kembali. Maka jalan tol tengah kota bukanlah kebijakan strategis untuk mengatasi kemacetan.

Kepemilikan sarana transportasi berpengaruh terhadap kebiasaan orang dalam bepergian, seseorang yang mempunyai mobil punya kebiasaan berbeda dalam menghabiskan akhir pekan, bila dibandingkan dengan orang yang punya sepeda motor apalagi yang hanya jalan kaki. Dan inilah efek domino dari jalan tol tengah kota. Jalan tol dibangun, orang berbondong-bondong beli mobil dan akhirnya kemacetan semakin menjadi-jadi.

Apakah jalan tol selalu merugikan? Tentu tidak, jika ada pengelolaan fihak pemerintah dalam mengendalikan jumlah kepemilikan kendaraan pribadi, didukung kebijakan batas usia kendaraan yang boleh melintas. Juga dikenakan pajak yang relatif tinggi terhadap kendaraan pribadi, akan menjadi solusi pengurangan jumlah kendaraan.

Teori kedua yang dipakai adalah Modern Approach: predict and manage, metode yang dipakai adalah dengan menganalisa dan mengidentifikasi sebab-sebab kemacetan, untuk kemudian dikelola dan diatur dalam mengurai tingkat kemacetan. Metode ini banyak diaplikasikan pada kota-kota besar dunia, cara ini paling efektif dalam mengatasi keruwetan transportasi.

Penyediaan transportasi masal menjadi prioritas dalam penyelesaian masalah kemacetan. Busway, KRL, MRT menjadi sarana transportasi masal yang bisa mengurangi kemacetan di kota-kota besar. Sebagai contoh Busway dengan kapasitas penumpang 80 orang, bandingkan dengan mobil yang memenuhi jalan raya pada saat jam kantor, biasanya hanya diisi tiga orang saja. Kita anggap dalam satu mobil ada lima penumpang, maka dalam satu Busway telah mampu mengurangi 16 (enam belas) mobil. Bayangkan, jika sepuluh armada saja yang beroperasi akan mengurangi 160 (seratus enam puluh) mobil di jalan raya. Belum lagi beroperasinya KRL (Kereta Rel Listrik), menurut data KRL yang beroperasi di Jabodetabek, pertahunnya KRL mampu menampung sampai 550 ribu penumpang, bahkan bisa ditingkatkan sampai 700 ribu penumpang pertahun. Jika kita ambil 550 ribu penumpang pertahun atau 1500 penumpang perhari, berarti daya tampungnya sama dengan 300 mobil perhari. Dari data itu dapat dihitung berapa penghematan negara dapat dilakukan jika angkutan masal beroperasi maksimal. Selain kemacetan dapat teratasi, penghematan BBM dapat dilakukan, belum lagi berkurangnya kerusakan jalan akibat beban jalan yang berlebih.

Tentu Ketika sistem transportasi masal tercipta tidak semua permasalahan akan selesai. Perlu dipertimbangkan prasarana pendukung seperti letak halte yang strategis, sehingga setelah turun dari halte penumpang bisa langsung ke tempat kerja ataupun ke pusat perbelanjaan. Fungsi angkutan umum nantinya adalah sebagai angkutan pendukung dari perumahan-perumahan menuju halte yang ada.

Sebenarnya masyarakat siap beralih ke transportasi masal jika prasarana dan sarana mampu memenuhi ekspektasi mereka. Pelayanan akan menjadi prioritas utama tingkat kepuasan masyarakat. Ketepatan waktu, kemudahan akses, aspek keselamatan, kepastian jadwal adalah beberapa hal yang harus dipenuhi. Masyarakat akan apriori jika pelayanan tidak lebih baik dari angkutan umum. Bahkan mereka mau membayar lebih mahal untuk sebuah kenyamanan berkendara. Sekarang siapkah kita beralih ke transportasi masal.?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun