Mohon tunggu...
Shafna Siti Fatimah Rochiman
Shafna Siti Fatimah Rochiman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di Jawa Barat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bahasa Isyarat dalam Kacamata Semiotika

23 November 2023   21:30 Diperbarui: 23 November 2023   21:38 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Isyarat kini mengalami lonjakan minat yang cukup besar dari kalangan muda setelah viralnya serial drama dari negeri ginseng Korea yang berjudul Twinkling Watermelon. Serial ini menarik banyak perhatian dari para penggemar drama Korea karena dianggap mengangkat hal yang menarik yaitu bahasa Isyarat. Drama ini mengisahkan keluarga dengan keterbatasan dengar atau yang akrab disebut dengan tunarungu dan anak kedua dengar hingga perjalanan waktu yang dilakukannya. Penggunaan bahasa isyarat yang ditunjukkan dalam skenario dan dialog adegannya lah yang menjadi pusat perhatian para penonton. Banyak penonton yang menganggap bahwa gerakan tangan dari bahasa isyarat yang digunakan terlihat indah.

Bahasa sendiri merupakan alat untuk berkomunikasi. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak dapat menggunakan bahasa lisan maupun memiliki keterbatasan untuk menangkap bahasa lisan seperti orang dengan keterbatasan dengar. Maka dihadirkan lah bahasa isyarat untuk orang dengan keterbatasan tersebut agar tetap dapat berkomunikasi. Isyarat sendiri menurut KBBI merupakan segala sesuatu (gerakan tangan, anggukan kepala, dan sebagainya) yang dipakai sebagai tanda atau alamat. Maka dari itu bahasa isyarat adalah bahasa yang tidak menggunakan bunyi atau tulisan dalam sistem perlambangannya, mudahnya dapat diartikan sebagai bahasa yang menggunakan isyarat atau gerakan yang khusus diciptakan untuk tunarungu, tunawicara, dan sebagainya.

Bahasa isyarat sendiri tidak serta merta dibuat secara asal. Pembuatan isyarat harus melewati proses pembuatan tanda beserta maknanya. Pada kajian semiotik sendiri tanda atau lambang dan makna ini menjadi fokus kajian utamanya. Suatu tanda hingga mencapai pemaknaan dan penggunaan secara konvensional melalui tahap yang jika menurut Umberto Eco yang mengembangkan teori Peirce, dalam pembentukannya hingga mencapai suatu penemuan melewati empat tahap. Tahap-tahap disini diantaranya adalah kerja fisik, pengenalan, penampilan, dan replika hingga akhirnya menjadi suatu penemuan. 

Begitu pula dengan bahasa isyarat, dalam pembentukannya melalui tahapan kerja fisik atau upaya pembuatan tanda dengan sengaja. Sengaja disini dimaksudkan karena peruntukan bahasa isyarat ini yaitu membantu orang dengan keterbatasan dengar maupun wicara sehingga pada pembuatannya dilakukan dengan sengaja. Melalui alasan inilah kemudian masuk ke dalam tahap pengenalan atau melihat sesuatu sebagai ungkapan yang mengandung makna. Pada tahapan ini sudah mulai dicari makna dari tanda yang telah dengan sengaja dibuat. Pengenalan makna ini juga dibantu dengan penampilan atau tampilan yang menunjukkan suatu jenis objek atau tindakan. Maksudnya adalah dalam menunjukkan suatu objek, mulai dari proses pembuatan dengan sengaja hingga pemaknaan diharuskan adanya suatu pengenalan secara tampilan atau replika yang memaknai atau mewakilkan hal tersebut dengan tanda yang mirip hingga berkorelasi dengan objek dalam hal ini adalah isyarat.

Bahasa isyarat di seluruh dunia tidaklah memiliki isyarat yang sama karena pada dasarnya pembentukan tanda sendiri harus dekat dengan penggunanya agar mencapai konvensional atau disepakati bersama sesuai dengan aturan yang berlaku pada masyarakat bahasa. Maka dari itu, bahasa isyarat antar negara tidak sama. Di Indonesia sendiri bahasa isyarat terbagi menjadi dua yaitu SIBI dan BISINDO. SIBI atau Sistem Isyarat Bahasa Indonesia diresmikan oleh pemerintah dan dibentuk oleh orang dengar yang mengadopsi ASL (American sign language) atau bahasa isyarat Amerika yang memiliki isyarat per kosa kata bukan dengan struktur kalimat. Isyarat dalam SIBI juga disampaikan hanya dengan satu tangan sehingga dengan alasan tersebut SIBI dianggap lebih sulit. BISINDO atau Bahasa Isyarat Indonesia berbeda dengan SIBI, pada penggunaannya BISINDO menggunakan kedua tangan untuk menyampaikan isyaratnya dan langsung menggunakan struktur kalimat. Jadi BISINDO dalam penyampaiannya tidak per kosa kata. Perbedaan paling besar antara kedua sistem ini adalah dalam proses pembentukannya karena BISINDO dibentuk oleh teman tuli sehingga muncul secara natural melalui pengamatan satu sama lain. Oleh karena hal tersebut juga, BISINDO memiliki yang disebut dengan dialek jika pada bahasa lisan yang membedakan antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Maka dari itu, jika tertarik untuk mempelajari bahasa isyarat dapat memilih sesuai kebutuhan. Jika untuk mengajar di SLB maka dapat mempelajari SIBI karena sistem ini digunakan untuk pembelajaran di SLB. Namun jika tujuan mempelajari bahasa isyarat ini untuk berkomunikasi dengan teman tuli, lebih dianjurkan untuk mempelajari BISINDO di komunitas yang ada di daerah masing-masing karena BISINDO lebih sering digunakan oleh teman tuli dalam komunikasi sehari-hari. Tidak ada ketentuan mana yang bisa dipelajari terlebih dahulu asalkan dapat menyampaikan makna yang dimaksud dalam isyarat atau tanda yang sama-sama dimengerti oleh penyampai dan penerima sehingga komunikasi dan pemaknaan dapat dilakukan dengan tepat sasaran.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun