Mohon tunggu...
Shafira Qurrota
Shafira Qurrota Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Televisi dan Film

Topik konten yang saya sukai berkaitan dengan Analisis Film dan juga Kesehatan Mental. Membaca merupakan hobi saya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bagaimana Masyarakat Jember Menanggapi dan Menyikapi Kebudayaan Pandalungan?

5 Juni 2024   02:40 Diperbarui: 5 Juni 2024   03:03 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pandalungan sendiri merupakan percampuran antara dua kebudayaan yaitu kebudayaan Madura dan kebudayaan Jawa. Pandalungan gabungan dari sisi budaya dan komunitas antara budaya Jawa dan Madura. Dari sisi geografis tidak hanya di Jember, jadi ada peta budaya namanya Tapal Kuda kecuali Banyuwangi, karena Banyuwangi punya kebudayaan sendiri yaitu Using. 

Terhadap percampuran budaya dari sudut pandang sejarah, dahulu Jember merupakan perhutanan sebelum adanya pemerintahan. Dimana dahulu pada masa penjajahan Belanda banyak mendatangkan orang Madura untuk bekerja buruh perkebunan di Jember. Dimana setelah banyaknya buruh yang bekerja, maka terjadi yang namanya percampuran atau Pandalungan dengan budaya Jawa. 

Dan setelah lama akhirnya muncul bahasa baru khas Pandalungan, dimana contohnya kata “jek”, “abeh” dan “ awake aku”. Suku Jawa di Jember banyak Ponorogo di Jember Selatan, orang Madura menurut peta budaya ada di Jember Utara. Banyaknya terobosan Pandalungan akhirnya menciptakan persilangan melalui perkawinan dan melahirkan Pandalungan khususnya di Jember. Yang mana kebudayaan yang paling kuat adalah Pandalungan, karena dulu banyaknya buruh Madura di Jember. Hasil budaya Pandalungan di Jawa ada “tari jandrung” dan “legrek”, serta di Madura ada “tari topeng”. 

Namun sayangnya seniman Jember tidak melestarikannya, lalu ada tari khas versi perkebunan yaitu ada “tari labako” karena Jember merupakan daerah perkebunan tembakau. Sayangnya orang Jember khususnya DKJ (Dewan Kesenian Jember) mulai melupakan jejak kebudayaan karena tergerus oleh zaman. Lalu ada “tarian can macanan kaduk”, yang mana itu mewakili seekor harimau, yang mana disitu terdapat mistisnya juga. Sayangnya juga menjadi langka karena tidak ada keturunan dan tidak dilestarikan, dan juga dari Pemerintahan Kabupaten tidak memperhatikan kebudayaan khas asli Jember. 

Tetapi tidak usah khawatir masih ada segelintir orang yang masih melestarikan kebudayaan Pandalungan ini, salah satunya dosen kita yang sering dipanggil “Cak Ilham” merupakan dosen sastra di Universitas Jember. Regenerasi komunitas budaya meragukan akan masih adakah budaya pendalungan ini atau akan menjadi legenda semata. Pengamatan narasumber yang pernah mencoba untuk menggali kebudayaan Pandalungan mengatakan bahwa kebudayaan ini jarang ada yang memperhatikan, dari pemerintah dan warganya. 

Dimana ada beberapa tokoh masyarakat yang masih mempertahankan kebudayaan Pandalungan, dari anak muda jember yang masih melakukan kegiatan kesenian yang mana terdapat di komunitas DKJ tidak ada yang memperhatikan kebudayaan Pandalungan, contohnya dari seni lukis nya tidak ada lukisan yang mencerminkan Pandalungan. Namun anehnya Jember sering disebut dengan kota Pandalungan.

Apakah akan menciptakan kebudayaan baru atau tetap mempertahankan kebudayaan Pandalungan, yang mana orang jember masih ragu-ragu menyebut mereka Pandalungan.  Rasa kepemilikan mengenai kebudayaan Pandalungan belum terasa di masyarakat Jember, yang mana belum menjadi ciri khas orang Jember. Sekarang yang terkenal  JFC yang mana sangat jauh dengan kebudayaan Pendalungan itu sendiri.

Narasumber kita memiliki harapan terhadap kebudayaan Pandalungan, dimana kita harus menyatukan antara masyarakat dan pemerintah untuk membahas tentang apakah kita memiliki identitas, kalau tidak kita mengikuti saja perkembangan zaman. 

Jika kita yakin dengan Pandalungan maka mulai dilakukan gerakan untuk menggali kebudayaan Jawa dan Madura, dan mulai diperkenalkan untuk menjadi identitas asli Jember. Kita harus membuat kamus besar bahasa Pandalungan dari kebudayaannya contohnya “labako” dan mulai mencari yang menjadi penerus tarian tersebut, jika ada yang bisa maka kita harus melestarikannya. 

Pemerintah juga harus bisa menyisihkan dana untuk melakukan kegiatan untuk memperkenalkan kebudayaan Pandalungan. Dimana ada kajian sejarah seperti tembang “Macapat Pandalungan” dimana ada bahasa Madura dan Jawa yang mana sudah mulai menghilang. Jika masyarakat dan pemerintahan Jember tidak ingin menggali identitasnya mengenai kebudayaan Pandalungan, maka Jember sendiri akan menjadi komunitas budaya masyarakat sesuai perkembangan zaman yang mana memiliki tumpuan IT, dan yang kedua jember termakan globalisasi.

Secara teori ada 3 hal yang menjadikan perubahan pada kebudayaan di Jember, yaitu food, fashion dan style of life. Dalam masyarakat Jember, yang notabenya banyak pusat belanja, mereka lebih memilih ke mall daripada ke acara kebudayaan atau kesenian. Dimana masa depan Pandalungan masih terlihat suram karena tidak ada terlihat perkembangannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun