Mohon tunggu...
Shafira Noor Malita
Shafira Noor Malita Mohon Tunggu... Mahasiswa - Hubungan Internasional - Universitas Airlangga

Shafira is an undergraduate International Relations at Airlangga University, Surabaya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kisah 'Manusia Perahu': Ujian Kemanusiaan Akibat Perang Saudara

27 Maret 2023   16:47 Diperbarui: 27 Maret 2023   16:58 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kisah 'Manusia Perahu' menjadi salah satu episode dari sejarah kelam kemanusiaan yang terjadi di dunia. Sebelum menelisik lebih jauh mengenai kisah 'manusia perahu', penulis akan menjelaskan bagaimana asal usul 'manusia perahu'. Mengutip Kuwado (2014) menjelaskan bahwa 'manusia perahu' telah muncul sejak tahun 1970-an di perairan Indonesia. 'Manusia perahu' telah "menjajah" perairan Indonesia terutama di Berau, Kalimantan Timur sejak lama. Muncul pertanyaan mengapa 'manusia perahu' pada zaman dulu dianggap "menjajah" perairan Indonesia. Hal ini karena stigma masyarakat zaman dulu mengenai 'manusia perahu adalah 'pencuri laut'.

 'Manusia Perahu' dianggap sebagai Pencuri Laut

Glynn (2016) dalam Asylum Policy, Boat People and Political Discourse; Boats, Votes and Asylum in Australia and Italy memperkenalkan istilah "manusia perahu" yang mulai sering digunakan pada 1970-an untuk menggambarkan lonjakan pengungsi Indochina yang nekat mencari suaka. Pada tahun 1970-an, 'manusia perahu' dinilai sebagai penjahat karena sering mencuri kapal di tengah laut. Selain itu, 'manusia perahu' dinilai mencuri hasil perairan Indonesia dan dijual ke Malaysia dengan meyamar sebagai nelayan. 

Seiring berjalannya waktu, banyak 'manusia perahu' yang bertransformasi dari perompak menjadi nelayan, sehingga mulai banyak masyarakat setempat yang menerima keberadaan 'manusia perahu'. 'Manusia perahu'  tinggal di sebuah desa dekat Bangau-Bangau, Malaysia, sehingga banyak dari mereka yang menjual ikan yang diambil dari perairan Indonesia dan dijual ke Malaysia.

Hal ini lantas menarik perhatian Kementerian Kelautan dan Perikanan yang menindak 'manusia perahu' tersebut karena dinilai melanggar UUD 1945 Pasal 35A Ayat (1). Data dari Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) dan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebutkan bahwa jumlah 'manusia perahu' yang memasuki wilayah perairan Indonesia mengalami peningkatan sejak sepuluh tahun terakhir.

Ismayati (2013) menerbitkan sebuah buku yang berjudul "Manusia Perahu: Tragedi Kemanusiaan di Kepulauan Galang" yang menceritakan mengenai kisah 'manusia perahu' di Pulau Galang yang merupakan pengungsi dari Vietnam. Penulis berupaya memberikan benang merah dalam kisah tersebut dimana kisah manusia perahu Vietnam menjadi jejak historis kelam dalam sejarah manusia akibat dari pergolakan manuver politik berkepanjangan yang memaksa masyarakat Vietnam bermigrasi untuk mencari tempat aman di luar negaranya.

Para pengungsi Vietnam meninggalkan tanah air mereka dengan berlayar di atas kapal-kapal kayu yang terombang-ambing di Laut China Selatan. Hal ini tentu menjadi sejarah kelam karena tak sedikit dari mereka yang menjadi korban karena kelaparan, penyakit, dan bajak laut yang membunuh, memperkosa, merampok di lautan lepas. Persediaan makanan yang terbatas dengan transportasi yang tidak layak menjadikan banyaknya korban 'manusia perahu' yang berjatuhan. Terlebih ancaman perdagangan manusia dan pembajakan oleh bajak laut atau dari sesama 'manusia perahu' menjadikan kisah 'manusia perahu; sebagai salah satu ujian kemanusiaan.

Kisah 'Manusia Perahu': Ujian Kemanusiaan Akibat Perang Saudara

Akhir tahun 1970-an, Indonesia menerima banyak 'manusia perahu' yang berasal dari Vietnam yang ditempatkan di Kepulauan Galang. Krisis kemanusiaan dan lonjakan pengungsi tersebut merupakan akibat dari adanya perang saudara antara Vietnam Utara dan Vietnam Selatan. Ribuan masyarakat Vietnam mengungsi ke negara lain untuk mencari kehidupan yang lebih baik, salah satunya adalah Indonesia dengan cara berlayar menuju perairan Indonesia. 

Pemerintah Indonesia bersama dengan UNHCR berupaya memberikan bantuan melalui pembangunan fasilitas pemukiman sementara di Pulau Galang setelah banyaknya lonjakan pengungsi Vietnam yang terdampar di Kepulauan Riau.

Adapun 250.000 'manusia perahu' atau pengungsi Vietnam tinggal di Pulau Galang dengan berbagai fasilitas yang disediakan oleh Indonesia dan UNHCR. Berdasarkan data UNHCR, 'manusia perahu' tinggal di Pulau Galang selama 17 tahun sebelum akhirnya dikirim ke berbagai nefara ketiga. Dari kisah 'manusia perahu' tersebut dapat terlihat bahwa Indonesia memiliki sisi humanisme dengan menunjukkan keberhasilan politik luar negeri Indonesia di Asia Tenggara dalam mengelola pengungsi. 

Namun, tidak hanya sampai disitu Indonesia menghadapi ujian kemanusiaan lain. Banyak 'manusia perahu' dari negara lain yang berusaha untuk menuju perairan Indonesia. Ribuan 'manusia perahu' terombang-ambing di Laut China Selatan dengan banyaknya ancaman perdagangan manusia dan kekerasan lain dalam setiap perjalanannya.

Perang Vietnam tidak menjadi satu-satunya kisah krisis 'manusia perahu' di Asia Tenggara. 

Adapun ribuang pengungsi dari Myanmar dan Bangladesh yang berupaya melarikan diri dari berbagai ancaman di negara asalnya. Namun, dengan berlayar di lautan tidak membuat mereka lepas dari ancaman kematian, mereka mengalami kelaparan selama terombang-ambing di lautan. Pengungsi dari Myanmar merupakan pengungsi Muslim Rohingya yang berusaha mencari kehidupan yang lebih layak di negara lain setelah tidak diakui di negaranya sendiri.

Para pencari suaka yang menggunakan perahu tersebut--Manusia perahu bertahan hidup menggunakan perahu yang tidak layak berlayar terlebih mereka mengarungi lautan lepas dengan rentang waktu yang tidak ditentukan. Kaburnya arah dan tujuan, menjadikan banyak dari 'manusia perahu' yang mengalami ancaman kematian. Dengan menggantungkan hidup kepada alam, terutama gelombang laut dan cuaca mereka berusaha untuk mencapai wilayah perairan negara lain. Namun, tak sedikit dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat dari ketidaklayakan perahu yang ditumpangi. 

Dalam tulisan Adam (2012) diceritakan bahwa manusia perahu mengandalkan matahari, sinar bulan, dan bintang selatan sebagai pedoman arah. Dari kisah perjalanan 'manusia perahu' tersebut dapat ditarik terminasi bahwa perjuangan hidup mereka untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di negara lain sangat menginspirasi dengan berbagai perjuangan dalam setiap perjalanannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun