Namun, tidak hanya sampai disitu Indonesia menghadapi ujian kemanusiaan lain. Banyak 'manusia perahu' dari negara lain yang berusaha untuk menuju perairan Indonesia. Ribuan 'manusia perahu' terombang-ambing di Laut China Selatan dengan banyaknya ancaman perdagangan manusia dan kekerasan lain dalam setiap perjalanannya.
Perang Vietnam tidak menjadi satu-satunya kisah krisis 'manusia perahu' di Asia Tenggara.Â
Adapun ribuang pengungsi dari Myanmar dan Bangladesh yang berupaya melarikan diri dari berbagai ancaman di negara asalnya. Namun, dengan berlayar di lautan tidak membuat mereka lepas dari ancaman kematian, mereka mengalami kelaparan selama terombang-ambing di lautan. Pengungsi dari Myanmar merupakan pengungsi Muslim Rohingya yang berusaha mencari kehidupan yang lebih layak di negara lain setelah tidak diakui di negaranya sendiri.
Para pencari suaka yang menggunakan perahu tersebut--Manusia perahu bertahan hidup menggunakan perahu yang tidak layak berlayar terlebih mereka mengarungi lautan lepas dengan rentang waktu yang tidak ditentukan. Kaburnya arah dan tujuan, menjadikan banyak dari 'manusia perahu' yang mengalami ancaman kematian. Dengan menggantungkan hidup kepada alam, terutama gelombang laut dan cuaca mereka berusaha untuk mencapai wilayah perairan negara lain. Namun, tak sedikit dari mereka yang mengalami kecelakaan akibat dari ketidaklayakan perahu yang ditumpangi.Â
Dalam tulisan Adam (2012) diceritakan bahwa manusia perahu mengandalkan matahari, sinar bulan, dan bintang selatan sebagai pedoman arah. Dari kisah perjalanan 'manusia perahu' tersebut dapat ditarik terminasi bahwa perjuangan hidup mereka untuk mendapat kehidupan yang lebih baik di negara lain sangat menginspirasi dengan berbagai perjuangan dalam setiap perjalanannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H