Dari hal ini, pria memiliki kecenderungan untuk menyimpan semua masalahnya sendiri di mana emosi dan perasaan akan menumpuk seiring berjalannya waktu. Masalah perihal menumpuknya perasaan dan emosi ini bukanlah masalah kecil karena akibatnya fatal.
Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, setidaknya ada lebih dari 6 juta pria yang terserang depresi setiap tahunnya. Selain itu, pria juga memiliki kemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar terserang gangguan karena penggunaan obat-obatan dibandingkan wanita. Dalam hal ini, bunuh diri menjadi memimpin sebagai penyebab utama kematian dari pria. Dengan begitu, dapat dilihat bahwa pria membutuhkan akses terhadap dukungan mental yang dapat dimulai dengan masyarakat menerima dan mendukung situasi ketika seorang pria menangis.
Dampak yang mungkin hadir di diri lelaki ketika mereka menahan diri untuk tidak menangis dan menekan emosi juga perasaan mereka adalah mungkin sekali lelaki akan membentuk perilaku yang destruktif yang tengah menunggu waktu untuk pecah. Ketika lelaki tidak bisa mengekspresikan perasaan dan emosi mereka secara bebas, emosi dan perasaan mereka seringkali diekspresikan dengan bentuk agresif dan kekerasan. Steoreotip toxic masculinity ini tidak hanya mengganggu sisi psikologis lelaki, tetapi juga dapat menginisiasi terjadinya kekerasan berbasis gender.
Selain itu, dengan menumpuknya perasaan dan emosi yang dipendam sendiri, depresi akan menghantui lelaki. Mereka akan merasa kebingungan karena tidak tahu dengan siapa harus mengungkapkan emosi dan perasaan mereka. Bahkan menurut penelitian, ketika lelaki mendapatkan bantuan dari tenaga kesehatan profesional, mereka akan tetap berbicara atau bertanya lebih sedikit dibandingkan ketika perempuan yang menemui tenaga kesehatan profesional. Jika terus begini, akibat paling fatal yang mungkin terjadi adalah bunuh diri. Angka bunuh diri bagi pria lebih tinggi dibandingkan perempuan.Â
Meskipun perihal alasannya itu kompleks, tidak bisa dipungkiri bahwa faktor penyebabnya ada pada diri sisi psikologisnya karena masyarakat dan lingkungan mereka menuntut diri mereka agar selalu terlihat kuat karena seperti itulah seorang "lelaki sejati." Padahal, menunjukkan kelemahan bukanlah hal yang salah.
Tidak mudah untuk mengubah sudut pandang seseorang terhadap suatu permasalahan atau suatu isu. Sama halnya dengan mengharapkan bahwa masyarakat bisa lebih peka lagi terhadap permasalahan yang dihadapi oleh pria. Bahwa apapun emosi dan perasaan juga permasalahan yang dimiliki pria itu sama pentingnya dengan apa yang dirasakan oleh wanita. Kepekaan ini diusahakan dapat hadir dengan memahami bahwa pria juga manusia yang memiliki emosi dan perasaan sehingga apapun yang mereka rasakan itu benar apa adanya dan mereka tetap membutuhkan bantuan yang sama seperti orang-orang lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H