Mohon tunggu...
Shafira Ainurrafa
Shafira Ainurrafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Biasa

Setelah kuliah di Jurnalistik, ketertarikan pada menulis mulai berkurang. Namun, saya tidak punya pilihan selain menggeluti bidang ini karena menulis adalah dasar dari Jurnalistik itu sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Emosi dan Perasaan Itu Bukan Hanya Milik Perempuan

4 Januari 2023   13:23 Diperbarui: 4 Januari 2023   13:30 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Francisco Gonzalez on Unsplash   

Menurut penelitian yang ada, jumlah tangisan yang dikeluarkan oleh perempuan lebih banyak dibandingkan oleh lelaki. Perempuan memiliki kecenderungan untuk mudah mengekspresikan perasaan mereka, salah satunya dengan menangis. Menangis seringkali dikaitkan dengan karakteristik feminin. Dengan begitu, sulit bagi lelaki untuk mengespresikan perasaan atau emosi mereka, contohnya menangis.

Ucapan "laki-laki gak boleh nangis" menjadi awal suatu pemahaman bagi seorang anak laki-laki bahwa diri mereka harus kuat karena mereka tidak diperbolehkan untuk merasakan dan meresapi emosi sedih tersebut. Pemahaman tersebut tumbuh dan hingga akhirnya di usia dewasa, lelaki akan memiliki kecenderungan untuk terlihat kuat akibat dari pemahaman toxic masculinity sejak dini. 

Menurut Moller-Leimkuhler (2002), steoreotip maskulin tidak memperbolehkan pria untuk mencari bantuan, bahkan ketika bantu tersebut dibutuhkan dan mungkin ada. Hal tersebut dilihat sebagai "pelanggaran" dalam ekspektasi peran tradisional seorang lelaki. 

Menurut Cashdan (1998) dalam Moller-Leimkuhler (2002), lelaki memiliki rasa kompetitif yang kuat dibandingkan perempuan sehingga dengan menunjukkan perasaan mereka akan depresi atau kebutuhan atas bantuan akan memberikan keberuntungan bagi lawan, dalam hal ini perempuan. Dari hal tersebut, lelaki memiliki dominasi yang tinggi dan keinginan untuk selalu terlihat kuat.

Apakah dengan begitu lelaki itu tidak boleh menangis?

Boleh. Semua manusia berhak mengekspresikan perasaan dan emosi mereka dan menangis adalah salah satu bentuk ekspresi tersebut. Jangan jadikan peran gender menjadi penghalang bagi lelaki untuk mengekspresikan perasaan dan emosi mereka di depan siapapun. Menangis bukan berarti seseorang lemah. Menurut Psikolog Georgia Ray di nypost.com, pria menangis kurang dari perempuan oleh karena alasan yang berkaitan dengan dua hal, yaitu karena memang sudah alamiah dan karena pola asuh atau didikan.

Secara fisiologisnya, ada perbedaan hormon antara pria dan wanita juga sehingga itu mungkin menjadi alasan dibalik mengapa menurut angka, wanita lebih sering menangis dibandingkan pria. Namun, tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada faktor sosial dan budaya. Stereotip dan ekspektasi masyarakat terhadap pria mematahkan kemampuan pria untuk mengekspresikan emosinya. Kesimpulannya adalah pria memiliki kemungkinan kecil untuk menangis akibat hormon, tetapi ketika mereka menunjukkan kesedihan mereka, masyarakat terkesan tidak bisa menerima hal tersebut.

Masalah perihal toxic masculinity tidak berhenti pada bagaimana pria diharapkan dapat menunjukkan sisi maskulin mereka, yaitu contohnya kuat, berani, dan percaya diri, namun terletak juga pada dampak yang mungkin ditimbulkan dari stereotip yang membuat para pria seperti ini. Mungkin terlihat sederhana, tetapi sebenarnya cukup kompleks karena emosi dan perasaan yang dipendam tanpa memiliki kesadaran untuk dikeluarkan dapat memberikan pengaruh buruk kepada orang tersebut. 

Dengan begitu, stereotip dan ekspektasi masyarakat agar lelaki selalu menunjukkan sisi kuat mereka dan tidak menunjukkan sisi lemah mereka atau tidak memvalidasi emosi dan perasaan mereka, dapat berakibat fatal bagi keberlangsungan hidup lelaki tersebut.

Menurut Husaini, Moore, & Cain (1994) dalam Addis & Mahalik (2003), pria memiliki kemungkinan lebih kecil dari wanita untuk mencari bantuan dalam masalah yang bervariasi, seperti depresi, penyalahgunaan obat-obatan, disabilitas fisik, dan peristiwa hidup yang stres. Hal tersebut menghadirkan pertanyaan penting bagi para psikolog dan peneliti sosial perihal mengapa pria memiliki kesulitan untuk mencari bantuan, bagaimana norma maskulinitas, stereotip, dan ideologi memiliki keterkaitan dengan perilaku ingin mencari bantuan, dan bagaimana tenaga profesional dapat mengintegrasikan pemahaman tentang norma sosial dan ideologi tentang maskulinitas menjadi analisis perihal kegunaan layanan kesehatan bagi pria. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun