Sebuah partai politik sudah barang tentu membutuhkan kader-kader politik yang politisi, politisi bukanlah propesi seperti dokter, guru, seniman, budayawan, dan lain sebagainya. Politisi adalah orang-rang yang bergerak dalam bidang politik, terutama sebagai aktifis partai politik. Dia seorang pemikir politik, perencana politik dan arsitek politik, bukan hanya sekedar pelaksana atau hanya sebagai pekerja politik.
Seorang politisi kehadirannya atas panggilan pengabdian kepada rakyat bukan untuk memperkaya diri. Ada orang yang mengaku dirinya politisi padahal hanya sebagai figuran alias politisi-artifisial (bukan wujud sebenarnya) yang memandang partai sebagai “bisnis besar” tidak saja protektif terhadap aktifitas bisnisnya tetapi juga partai sebagai kapal keruk kapital yang efektif. Tatkala logika untung-rugi ala bisnis telah merambah ke wilayah politik, partai menjadi identik dengan perusahaan yang berorientasi pada profit.
Negosiasi politik direduksi menjadi sekedar jual-beli. Kalau sudah demikian siapa dan dimana ditemukan aktor politik yang benar-benar politisi, bukan sekedar figuran alias pilitisi-artifisial.
Terlalu banyak orang yang menjadikan partai menjadi tempat numpang lewat dan lebih jauh partai menjadi sarang tempat berkumpulnya oportunis, yang tidak memiliki jiwa doktrin yang kuat terhadap ruh kehidupan partai sebagai tempat berjuang, mengabdi sambil berbuat untuk sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Ketika partai ingin memperbesar dan memperluas jaringan dan dukungan partisan masyarakat menjadi konsituen partinya tak jarang tidak memiliki magnit politik kalaupun ada hanya bersifat sesaat. Yang akhirnya tidak sedikit pula konstituen yang menyalurkan aspirasi politiknya menarik diri dalam waktu yang singkat karena partai politik tidak ditopang oleh para kator otentik (tidak jelas) kiprahnya dalam gerak aktifitas untuk kepentingan organisasi dan seluruh anggotanya.
Ketidakhadiran aktor politik (politisi) didalam partai politik bagaikan kolam tanpa ikan, karena ikan telah terdesak oleh kodok dan ular dan sebangsa hewan bukan penunggu kolam sebenarnya. Sebangsa kodok dan ular dan sejenis lainnya hanya hendak “bancakan kekuasaan”. Ikan dalam kolam habitatnya terdesak seperti politisi terlempar dari kegiatan politiknya. keseimbangan ekosistem politik akan mandul, kualitas politikus minus karena tatanan politik sering dilangkahi. Dengan tidak lagi mengenal politik orang berpolitik akan kelaur dari hakekat arti politik sebenarnya. Padahal seorang praktisi politik yang berhasil menjadi politisi diukur dari bagaimana cara melakukan aktifitas-aktifitas politiknya dengan kemampuan yang dimiliki dalam memilah dan memilih mana kebajikan, mana hak dan kewajiban, mana yang menjadi keharusan, mana yang baik dan mana yang buruk. Tidak mempertahankan semboyan lama yang sudah usang yang tidak sesuai lagi dengan sistem perpolitikan modernyaitu“Politik bukan bicara benar dan salah yang penting menang atau kalah”.
Sudah saatnya para praktisi politik sekarang untuk menyelamatkan hakikat politik dari tangan-tangan kotor yang menghalalkan segala cara dengan kata lain tidak ada lagi yang diharamkan oleh politik. Dengan tidak menjunjung etika dalam berpolitik menuntun kita pada penanaman prinsip-prinsip kompetisi etis, dimana penanaman prinsip etika politik dalam memilih tindakan politik dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pedoman perilaku berpolitik dalam konteks hubungan persepsi dan perilaku politik.
Untuk memiliki kompetensi dalam menjalankan aktifitas yang beretika, induk organisasi (partai politik) para politisi segera melakukan modernisasi organisasi (manajamen). Modernisasi merupakan sebah pilihan perubahan yang tepat bagi negara dalam tarap perkembangan. Modernisasi adalah proses dimana perkembangan diatur, disusun dan diselenggarakan menurut suatu pemikiran dengan menggunakan alat-alat yang tersedia, ilmu pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tujuan seefesien mungkin. Salah satu prasayarat utama untuk modernisasi dalam masyarakat yang tradisional diperlukan perubahan sistem nilai. Berbagai norma dan nilai lama yang tidak lagi relevan dan menghambat perkembangan harus ditinggalkan perubahan nilai-nilai ini bersifat menyeluruh (Ali Murtopo).
Pandangan tentang modernisasi menyeluruh hubungannya dengan politik sangat jelas, karena hakikat fakta politik yaitu pengaturan urusan rakyat dimulai dari meraih dukungan rakyat, diangkat menjadi penguasa, memiliki kekuasaan, membuat kebijakan (memerintah atau melarang), didalam dan diluar negeri, melaksanakan kebijakan dengan kekuasaan yang dimandatkan, dikoreksi dan ditaati oleh rakyat. Sedangkan persepsi politik yang harus terpatri dalam diri politisi yang yakini dan menjadi dasar dalam tindakan, dimana persepsi politik akan tergantung pada keyakinan dan idiologi seseorang. Keyakinan yang salah akan melahirkan perilaku yang salah, keyakinan yang benar akan melahirkan perilaku politik yang benar.
Belajar kecerdasan berpolitik “political quotient” adalah menjadi keharusan bukan hanya para aktifis politik, kecerdasan politik penting bagi seluruh warga masyarakat tidak terkecuali sebagai mana dikatakan Aristoteles “ bahwa manusia pada hakekatnya Zoon Politicon (mahluk berpolitik) dan ilmu politik sebagai master of science yang berarti dipelajari siapapun".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H