Mohon tunggu...
Syafruddin Muhtamar
Syafruddin Muhtamar Mohon Tunggu... Penulis - Mengajar dan Menulis

Berbagi pikir berbagi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Puisi ke Pangkuan Tradisi

8 Desember 2017   16:27 Diperbarui: 8 Desember 2017   16:41 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Inilah keprihatinan yang sungguhnya, ketika modernisme berkencerungan pada 'pembunuhan' dunia non material. Dunia sastra adalah dunia spriritual, dunia imaji dan semangat moral dan etis, dan nilai-nilai religius. Sementara jika ditilik secara kritis, akar dari bangunan modernisme adalah penentangan mati-matian atas tradisionalisme. Modernisme ingin menyingkirkan dunia tradisional karena dianggap menghalagi kemajuan manusia, karena sifatnya yang terlalu berbau 'eskatologis', beraroma akhirat yang 'tidak masuk akal'.

Maka renaisance sebagai rahim kelahiran modernisme, juga bermakna, bahwa kehadiran modernisme telah secara nyata meneggelamkan 'yang sakral' dan hanya mau menerima 'yang profan', demi kamajuan material peradaban itu. Maka apa yang kita saksikan sepanjang sejarah modernisme hingga kini, adalah kenestapaan bagi dunia spritual, kemandekan dunia moral dan kejumudan semesta imajinasi manusia.

Dunia non material (dunia sastra termasuk tidak terkecuali dunia agama) hanya dimungkinkan bergabung dalam arus kuat modernisme jika dapat mengikuti jalur gelombang besarnya yaitu, kapitalisasi dan/atau industrialisasi. Pandangan dunia moderen adalah bahwa segala sesuatunya adalah komoditas. Seluruh potensi manusia dan kehidupannya haruslah memiliki daya jual sehigga dapat diberdayakan.

Jadi sastra yang berdaya dalam pengertian peradaban  modern adalah yang 'laku dipasaran'. Pasar telah menjadi majikan sakral dalam putaran roda kehidupan masyarakat moderen. Pasar adalah tolak ukur eksistensi sesuatu. Oleh karena itu segala produk tangan manusia, termasuk karya sastra harus distandarisasi berdasarkan 'kehendak pasar'.

Inilah yang sebanar-benarnya problem fundamental yang dihadapi dunia sastra pada umumnya. Pandangan dasar dari peradaban modern, yang mengedepankan watak, sifat dan karekteristik bendawi/materialisme, padagilirannya memang akan mengeliminir peran-peran dunia non material, baik dunia sastra, termasjuk juga agama. Yang diberi ruang besar adalah logika formal yang mendeskripsikan saintifik, dunia ilmiah yang terkhusus pada jenis-jenis sains yang obyeknya material.    

Demikianlah narasi modernisme menggemah. Narasinya hanya memuat cerita tentang 'lemak dalam tubuh', tentang dunia asesoris yang gemerlap, juga tentang kerlap-kerlip moralitas dan estetika yang membingungkan.

Kembali Ke Jalan Tradisi    

Sekali lagi, problem fundamental dunia sastra (terutama karya -- karya puisi) dalam hubungannya dengan konstalasi kehidupan masyarakat moderen adalah nilai. Nilai itu telah berbenturan satu sama lain. Dan ada nilai yang keluar sebagai pemenang,  kemudian menjadi  hegemonik. Modernisme telah matang dengan nilai yang dibawanya sejak lahir. Demikian pula dunia sastra, telah membawa paradigmanya sendiri dari rahim kelahirannya dalam sejarah. Dan bahwa modernisme telah menghegemoni peradaban manusia kini, sementara dunia sastra mengap-megap dalam lirih kesedihan, bermohon agar tidak ditelan zaman.

Dunia sastra (karya puisi) tidak bisa berharap besar dalam struktur politik modernisme untuk memohon dibangkitkan atau diberdayakan, sehingga sastra dapat berperan dalam mengemban misi sucinya sebagai pembangun peradaban. Modernisme dalam pengertiannya sebagai paham dan operasional memiliki kesadaran dan logikanya sendiri mewujudkan peradaban.

Sehingga penting bagi dunia sastra (khsusnya karya-karya puisi) untuk mereposisi ingatan, logika dan kesadarannya mengenai siapa dirinya? Bahwa sepanjang sejarah abad moderen ini penerimaan modernisme atas dirinya begitu rendah; untuk tidak mengatakan 'tidak diterima'. Tidak ada rumus yang jitu, selain bahwa dunia sastra (karya puisi) harus menemukan jalannya sendiri yang tepat, sebagai pejalan yang sama pada arus sejarah kehidupan manusia ini. Bukan menjadi bagian yang komplementer dari arus besar modernisme. Sehingga eksistensi dunia sastra (karya puisi) dapat menjadi penyeimbang dari banyak ketimpangan yang ditimbulkan dunia moderen atas hidup manusia dan lingkungannya, berkenaan dengan spritualitas, moralitas dan etika.

Dengan demikian dunia sastra (karya puisi) tidak menjadi 'komoditas' tetapi sebuah wadah 'perlawanan' dengan visi sebagai penyeimbang atas retak lantaknya dimensi spritual, moral dan etis dari peradaban modern ini. Jika dunia sastra (karya puisi) masih menyerahkan dirinya pada dunia modern maka, dia akan diperlakukan sebagai wanita yang akan dipekerjakan sebagai pelacur untuk memberikan keuntungan bagi majikan pemilik modal. Inilah ratap nestapa dunia sastra yang tengah menaggung nasib menyedihkan disepanjang jalan sejarah modernisme. Ini mungkin 'bernada sarkasme', tetapi harus diperdengarkan sebagai pengingat.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun