Mohon tunggu...
Syafruddin Muhtamar
Syafruddin Muhtamar Mohon Tunggu... Penulis - Mengajar dan Menulis

Berbagi pikir berbagi hati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengembalikan Puisi ke Pangkuan Tradisi

8 Desember 2017   16:27 Diperbarui: 8 Desember 2017   16:41 578
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada banyak kalangan yang meresahkan dunia sastra, sejak lama hingga belakangan ini, ditanah air. Terutama mereka yang bergelut langsung dengan dunia tersebut; para sastrawan, penyair ataupun penulis. Juga termasuk orang-orang kampus yang berada dalam lingkup pendidikan sastra dan kebudayaan pada umumnya.

Mungkin jika dibuat list, akan panjang jumlah keresahan itu dalam daftar. Tetapi jika dipetakan, keresahan itu bisa nampak dalam beberapa hal, misalnya tentang problem menumbuhkembangkan minat sastra bagi generasi muda, kecilnya porsi pelajaran sastra disekolah-sekolah dan perguruan tinggi. 

Secara internal, tersumbatnya saluran regenerasi bagi pemula menembus 'singgasana' sebagai sastrawan; generasi tua terlalu nikmat menduduki singasana kemapanannya hingga lupa membentang kabel transmisi bagi generasi dibelakangnya. Sisi lain problem komunikasi karya, yang memunculkan sosok baru bernama 'sastra selfi', dimana karya-karya itu menemukan ruang asyiknya sendiri di dunia cyber.

Akhirnya karena problem-problem itu, dunia sastra jadi melempem, mengkerut dan mungkin saja suatu saat, masyarakat akan kehilangannya. Namun keresahan banyak kalangan ini, juga adalah bukti bahwa sastra secara fitrawi selalu di rindu, terutama ketika ia mengalami nasib tragis karena sempitnya ruang nafas untuknya. 

Para sastrawan, ahli-ahli, publik yang bersimpati dan juga para penikmat sastra, para pengagung sasta sesungguhnya juga ada banyak ide untuk keluar dari ruang sesak dunia sastra saat ini, agar dunia itu kembali menemukan keudukannya yang layak dalam kehidupan masyarakat manusia, masyarakat nusantara, sebagai pembentuk peradaban.

Namun jika dicermati secara seksama, hampir ide-ide solutif itu juga menenumi jalan buntu. Ide brillian itu gugur satu persatu membentur tembok. Dunia sastra tetap saja diratapi hingga kini. Mengapa dunia sastra masih tetap saja berada dititik nadir ditengah dunia yang sedemikian cerdas, makin sejahtera, mandiri dan makin maju dewasa ini? Kemungkinan besar jawabnya adalah, karena peradaban kini adalah peradaban yang mengutamakan watak kebendaan.

Melawan Arus Besar Modernisme

Kemajuan kehidupan manusia mutakhir adalah kemajuan yang ditopang dengan sains ilmiah dan tehnologi yang terderivasi darinya. Sebagai negara yang baru berusia belum seabad dari kelahirannya di tahun 1945, juga tidak akan pernah sanggup mengangkat derajat dunia sastra ke taraf yang dihehendaki oleh pikiran-pikiran para penggiat, penggelut dan penikmat sastra itu. Kehadiran negara juga bagian dari gelombang modernisme, yang pada subtansinya sudah membajak peran-peran institusi kebangsaan, dimana dunia sastra sudah menjadi 'pemain utama' di dalamnya.

Jika dibayangkan, sebenarnya kemajuan tehnologi, kamakmuran dan keamanan relatif yang kita nikmati sekarang ini, dunia sastra seharusnya tidak seperihatin ini. Seharusnya ada banyak kemudahan bagi terwujudnya komunikasi karya-karya sastra anak-anak negeri ini. Keberadaan penerbit dari yang media cetak hingga elektronik, seharunya tidak lagi menjadi 'penghalang' bagi tumbuh suburnya dunia sastra tanah air.

Kemajuan dan pesatnya pertumbuhan orang-orang terdidik juga seharusnya tidak jadi 'penghalang' bagi terciptanya saluran regenerasi sistematik sastrawan dari segi kualitas dan kuantitasnya. Demikian pula makin matangnya implemenasi demokrasi politik kenegaraan kita seharusnya juga tidak menjadi 'penghalang' bagi bidang sastra untuk masuk dalam kerangka perencanaan pembangunan nasional pemerintah, baik dalam jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Termasuk dalam hal ini, makin cerdasnya publik akan hak-hak konstitusinya dan keberbangsaanya, sehurusnya juga menjadi jalan mulus bagi tersalurnya aspirasi dunia sastra secara keseluruhan.

Namun pada keyataannya kemajuan modernitas dari kehidupan masyarakat negara ini tidak tidak mengikutkan kemajuan dunia sastra di dalamnya. Malahan menjadi yang tersisi di tengah gemuruh gemerlapnya kemajuan materi yang dirasakan masyarakat. Menjadi dunia asing bagi sebagian besar penduduk bumi nusantara, bahkan mungkin tidak mengenali wajahnya sepotongpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun