Takdir perjalanan sejarah yang berlaku pada mahluk di semesta ini, dari mahluk paling kecil hingga paling besar, dari melata hingga manusia, dari waktu hingga ruang, secara pasti melewati satu rangkaian dari deretan perjalanan itu suatu ‘masa’ yang disebut, ‘transisi’. Jika melihat kategori utama perjalanan sejarah mahluk hidup; sejak periode kelahiran, pertumbuhan atau perkembangan hingga ketika periode akhir kehidupannya, maka masa transisi menjadi selingang ‘kecil’ dari serangkaian periode-periode tersebut. Disebut selingan kecil karena kehadiran masa transisi ini kadang luput dari kesadaran dan seringkali lewat begitu saja tanpa tahu bahwa waktunya telah berlalu.
Jika merujuk arti kata ‘transisi’ dalam kamus, yang menunjuk pada ‘peralihan dari keadaan’, maka makna transisi ini ingin memperlihatkan ‘kejadian atau peristiwa’ suatu tertentu. Baik ketika ‘transisi’ disematkan dalam konteks ruang maupun waktu, maknanya selalu menujuk pada ‘peralihan keadaan sesuatu’ itu. Dengan demikian ‘transisi’ adalah kondisi yang mengarah pada ‘keadaan yang akan berubah’. Kita dapat menyebut, transisi ini sebagai ‘keadaan antara’; antara suatu keadaan dengan keadaan ‘lain’ yang dikehendaki ataupun keadaan yang terjadi alami.
Istilah atau kata transisi banyak dipakai dalam ragam pengetahuan. Mislanya kita mengenal istilah transisi demografi, transisi epidemiologi, transisi politik, transisi sejarah, transisi demokrasi, transisi ruang, transisi waktu, …. Namun popularitasnya sangat menonjol dalam bidang politik praktis. Terutama ketika terjadi pergantian pimpinan Negara pasca pemilu, reformasi, revolusi, atau pasca kudeta. Karena seluruh masyarakat akan merasakan masa transisi ini, khsususnya pemain-pemain politik yang ‘berebut’ kekuasaan. Sehingga menjadi topik membicaraan yang selalu hangat, tetapi hanya sepanjang masa transisi itu saja.
Urgensi Transisi
‘Keadaan antara’ itu selalu penting. Masa ini adalah masa ‘jedah’ dari sebuah hiruk pikuk menuju pada kemungkinan hiruk pikuk yang lain. Atau jedah dari dari kondisi chaos ke stabil, atau sebaliknya. Atau ‘antara’ keadaan apa saja beralih pada keadaan apa saja. Tergantung dalam konteks atau fenomena apa transisi ini ditemukan atau dialamai. Misalnya kalau dalam peristiwa politik kenegaraan pasca pemilu, maka antara ‘pemerintahan lama’ dengan ‘pemerintahan baru’. Kalau dalam demografi, berarti antara ‘penduduk tumbuh pesat’ dengan ‘penduduk tumbuh rendah’. Atau dalam bidang kesehatan misalnya, antara ‘kompleknya penyakit penyebab kematian’ dengan ‘sederhananya penyakit penyebab kematian’. Peralihan dari waktu siang ke malam, dari terang ke gelap, dari bayi ke anak, remaja ke dewasa, dan dari duniawi ke ukhrawi, seluruhnya memiliki masa transisi.
Mengapa masa transisi itu penting? Pertama, masa ini menjadi penentu awal dari ‘nilai’ kondisi yang akan terjadi, dan yang kedua, karena masa ‘menentukan’ ini hanya berlangsung ‘singkat’. Arti penting transisi terkait langsung dengan ‘kehidupan selanjutnya’ yang dinginkan atau dikehendaki oleh seseorang atau sebuah masyarakat. Karena permulaan untuk menentukan kehidupan yang diinginkan dimasa depan, ditentukan pada periode ‘transisi’ ini. Individu yang terlena atau masyarakat yang khilaf, perhatiannya akan luput dari masa-masa kritis ini, sehingga periode itu berlalu dan tidak ada persiapan memadai memasuki kondisi yang kemudian terjadi selanjutnya.
Dunia ‘transisi’ menjadi sangat penting, baik dalam arti maupun maknanya, adalah dalam kehidupan manusia. Khususnya berkenaan dengan bagaimana ‘penentuan arah keadaan yang dikehendaki’. Dikehendaki dalam hal ini selalu menurut ‘apa yang baik’ yang diinginkan manusia. Arinya lebih jauh adalah, bahwa nilai-nilai kebaikan yang dimiliki, yang dipahami atau yang diketahui oleh manusia, menjadi modal dasar penentuan cita-cita keadaan kehidupan yang dimauinya. Nilai-nilai kebaikan juga tentu beragam, apakah kebaikan itu bersumber dari murni pikirannya sendiri (logika, sains) atau sumbernya dari kitab suci. Maka dengan modalitas nilai-nilai itulah kemudian manusia menentukan nilai rencananya dalam fase transisi menuju keadaan yang diinginkannya ‘pasca’ transisi.
Momen transisi ini boleh juga disebut ‘keadaan kosong’. Ibarat sebuah ‘kebun kosong’ yang bebas ditanami dengan tumbuhan atau tanaman apa saja oleh si pemilik kebun. Tanaman yang tumbuh hingga musim panenan tiba dan menikmati hasil, adalah keadaan yang dibayangkan pemilik kebun ketika mulai menanam di awal masa tanam. Sekali lagi, momen transisi menjadi penting jika manusia menyadari perubahan apa yang sedang mereka rencanakan dan upayakan, arah masa depan seperti apa yang sedang kita kehendaki diwaktu yang akan datang.
Transisi-transisi Besar
Dalam kehidupan kita, terdapat tiga momen penting perubahan yang paling menentukan nilai kemanusiaan kita sebagai individu dan masyarakat. Pertama perubahan peradaban, kedua perubahan usia dan ketiga perubahan kehidupan. Dalam tiga jenis perubahan ini, nilai manusia adalah ‘pusat’ perubahan, artinya mutu kemanusiaan adalah pertaruhan utama perubahan. Ke dalam tiga ragam perubahan inilah transisi menjadi sedemikian penting, melebihi momen apapun. Kegagalan mengelola transisi pada momen perubahan itu akan beralamat fatal bagi ‘nilai manusia’ di masa depan. Disinilah transisi-transisi besar itu terjadi.
Dalam perjalanan kehidupan manusia, terdapat lombatan-lompatan perubahan besar dari masa ke masa. Bahkan sejak awal peradaban manusia telah terjadi lompatan perubahan itu, anggaplah seperti yang dikemukakan ahli-ahli sejarah mengenai masa pra sejarah yang kemudian berubah ‘masuk’ pada fase kehidupan sejarah sejarah. Dari sejarah peradaban klasik tradisional lalu mengalami modernisasi dan menjadi peradaban modern. Proses transisinya bukanlah sesuatu yang sederhana, bukan hanya dari segi waktu seringkali memakan waktu sangat panjang dan melelahkan, menelan berbagai pergantian generasi, meminta korban bukan hanya materi tetapi juga jiwa. Hingga baru kemudian masuk pada awal peradaban yang mereka cita-citakan itu diawal masa transisi.
Dalam sejarah manusia, dari kelahiran hingga kematiannya, juga terdapat masa-masa urgen transisi dalam proses perubahan usia manusia. Setiap masa transisi itu akan menjadi penentu kematangan usia kemanusiaan manusia dalam kehidupan. Kita mengenal istilah manusia baik dan manusia buruk, manusia suci dan manusia berlumur dosa, dan manusia pintar atau manusia bodoh. Istilah-istilah ini menunjukkan mutu dari individu manusia tersebut, dimana setiap orang berbeda-beda dalam memprosesi diri menuju cita-cita kehidupannya pada setiap masa transisi usianya.
Dalam kehidupan, juga terjadi perubahan yang sesungguhnya, yakni peralihan dari kehidupan duniawi kepada kehidupan akhirat. Pada jenis perubahan inilah perubahan yang sejati berlangsung. Hakekat perubahan kehidupan manusia terjadi pada peralihan darikehidupan fana me jadi kehidupan abadi. Hal ini tidak sederhana untuk dijelaskan, karena telah menyangkut ‘pertanggungjawaban amanah’ pada kehidupan sebelumnya kepada Pemilik kehidupan itu. Hanya bahwa transisi disini menjadi sangat berbeda dengan masa-masa transisi yang lainnya dalam kehidupan manusia. Sebab masa transisi disini terjadi dalam ‘periode kuburan’ ketika jasad kita telah ditinggalkan oleh rohnya, dan jasad itu harus dibenamkan ke dalam tanah sebagai tempatnya bersemayam menunggu hingga masa berbangkit tiba sebagai pertanda dimulainya awal kehidupan akhirat.
Anak adam yang dikuburkan oleh saudara kandungnya itu juga, sedang dalam masa transisi. Masa menunggu dari sejak kematiannya hingga sekarang diakhir zaman. Ini adalah masa transisi yang tiada pengetahuan atasnya, dan akan tetap menjadi rahasia dari Sang Pemilik kehidupan itu. Menurut para ahli agama, masa ini adalah masa kita hidup di ‘teras’ akhirat. Karena akhirat hanya ‘dua kapling zona’ surga-neraka, maka setiap kita akan merasakan ‘hawa masa depan’ kita di masa transisi ini; apakah kita akan merasakan semilir angin dari surga, atau percikan-percikan dari gemuruh api neraka. Masa transisi disini bukanlah masa ‘berkebun’, tetapi masa bayang-bayang masa depan ukhrawi telah hadir dipelupuk mata.
Defenisi ‘normal’ transisi tidak berlaku disini. Masa kehidupan duniawi inilah masa manusia mementukan, merancang, menetapkan dan membangun masa depannya di waktu akhirat. Jadi masa menunggu di alam kehidupan ‘kubur’, adalah ‘tansisi’ memasuki alam akhirat, tanpa bisa lagi kita ‘mempengaruhi’ kehidupan itu.
Hanya dalam kehidupan  fana ini, masa transisi bisa digunakan untuk tujuan apa saja. Tetapi tujuan yang sejati adalah tujuan yang sebenarnya. Lalu kearahmanaakah tansisi dalam kehidupan kita gunakan? Disinilah transisi kebun kosong terjadi. Masa menanam pada ‘kebon kosong’ itu, menjadi kerja fundamental manusia dalam fase transisi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H