Serabi. Setiap daerah memiliki ciri khas sendiri meski namanya sama, Serabi. Makanan yang dibuat dari tepung beras dan santan ini merupakan makanan tradisional yang banyak diminati. Meski bahan dasarnya sama, tapi setiap daerah tentu memiliki citarasa yang berbeda. Sama seperti Serabi laklak yang banyak dijumpai di Lombok.Â
Lombok Timur menjadi tempat yang banyak bisa dijumpai penjual Serabi Khas Sasak ini. Makanan khas yang Sasak ini sudah jarang penjualnya karena harus dibuat dengan menggunakan tungku kayu agar rasanya tidak berubah. Serabi yang hanya ada dua pilihan rasa yaitu asin dan manis yang diberi campuran air gula aren ini cocok untuk teman minum kopi atau teh bersama keluarga. Disajikan saat hangat rasanya lebih nikmat. Aroma khas yang ditimbulkan oleh bakaran kayu yang memanaskan tanah liat untuk cetakan serabi membuat rasanya begitu nikmat.Â
Makanan tradisional ini sudah tidak banyak yang jual. Salah satunya ada di Desa Masbagik Selatan ini, di Kampung Karang Siswa yang tidak jauh dari tempat tinggal orang tua saya. Biasanya saya beli untuk oleh-oleh dibawa ke Mataram ataupun kalau ada tamu jauh. Harganya terjangkau dan ada pilihan lupis, lapis, cenil yang ditaburi kelapa parut dan gula merah cair. Biasanya satu bungkus serabi lak-lak terdiri dari sepuluh serabi yang dihargai Rp 5.000,-. Begitupula dengan serabi campur lupis yang dihargai Rp. 5.000,-/bungkus, bahkan bisa lebih murah dari itu. Orang kampung banyak yang membeli dengan harga Rp 3.000,-. Namun, bagi kami yang tinggal di kota, harga itu sudah sangat murah karena segala yang dijual di kota pasti lebih mahal.
Murahnya makanan di desa karena tidak perlu sewa tempat, apa yang dibutuhkan pun masih mudah didapatkan bahkan tanpa membeli seperti kayu bakar yang mungkin bisa mereka dapatkan dengan mudah dari kayu sisa tebangan atau kayu tak terpakai. Kelapa pun bisa mereka dapatkan terkadang dari kebun sendiri atau kebun tentangga dengan harga murah.Â
Hari itu saya membeli 6 bungkus serabi untuk seorang Paman yang datang dari sebrang. Seingat saya, dulu hanya seorang yang berjualan, tapi sekarang ada seorang lagi yang membantu karena memang cukup laris. Biasanya, dia berjualan mulai selepas Dzuhur sekitar jam 12 siang hingga habis atau menjelang maghrib dengan menghabiskan satu panci besar adonan santan dan tepung beras di hari biasa dan dua panci besar adonan serabi untuk sabtu dan minggu. Meski tak selalu habis, tapi adonan yang belum dibuat bisa digunakan untuk esok hari, jadi tidak ada yang terbuang.Â
Penjual Serabi laklak ini berada di dalam kampung yang dikelilingi rumah warga yang sederhana dengan kandang ayam yang berderet di dekat tempat berdagang serabi. Benar-benar suasana kampung yang menenangkan.Â
Ada juga penjual serabi laklak di pinggir jalan, tapi kalian takkan menemukan suasana desa seperti penjual serabi ini. Menikmati camilan gurih ini tentu akan lebih nikmat dengan kopi hangat khas masyarakat sasak dengan suasana kampung yang menenangkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H