Cuti bersama selalu menjadi saat yang dinanti, tapi tidak ketika cuti jatuh pad akhir bulan. Suami yang bekerja di sebuah perusahaan Bank BUMN pasti tidak akan bisa merasakan nikmatnya long weekend. Kami pun juga tidak akan nyaman karena pasti banyak orang yang berlibur. Long weekend banyak kami manfaatkan untuk mengunjungi nenek kakeknya anak-anak.Â
Meski tidak jauh dari rumah, tapi waktu kesana sekarang cukup sulit karena naik motor dengan dua anak cukup merepotkan bagi saya sekarang. Membawa barang bawaan yang tidak mungkin sedikit dan si bungsu yang sudah mulai ngeyel tidak mau masuk di gendongan membuat jadi makin repot.
Dulu saat masih punya satu anak, saya sering menginap di rumah mertua bersama si sulung kalau kadang suami dinas luar kota. Kebetulan Ayahnya anak-anak sering ditempatkan di Lombok Timur yang berjarak sekitar satu jam dengan kendaraan bermotor.Â
Pernah juga dinas di Sembalun, lembah Rinjani yang tidak memungkinkan untuk pulang pergi setiap hari, jadi seminggu sekali. Mertua yang tinggal satu kota dengan kami, tapi beda kecamatan meminta kami untuk sering kesana karena kesepian hanya berdua saja. Saya masih sering kesana, tapi sejak hamil, apalagi punya bayi, agak lama saya tidak bisa kesana sendiri dan harus menunggu suami.Â
Ibu saya yang tinggalnya dekat dengan tempat kerja suami di Lombok Timur, sering kami kunjungi berbarengan dengan suami berangkat ke kantor. Meski tidak terlalu dekat, tapi kantor melewati rumah Ibu, jadi lebih sering kesana saat weekday apalagi masa pandemi ini yang membuat si Sulung masih PJJ. Tinggal di lingkungan yang berbeda, anak-anak bisa belajar banyak dengan berkunjung ke rumah neneknya.Â
Nenek dari Ayahnya, tinggal di kompleks. Berasal dari keluarga perantau yang bekerja yang tinggal di kompleks. Kompleks tempat tinggal Eyangnya lebih sepi karena kebanyakan yang tinggal di sana adalah mereka yang sudah lanjut usia. Anak-anak sudah memiliki tempat tinggal sendiri setelah menikah yang memilih mandiri.Â
Meski sering berkunjung dan menitipkan anak-anaknya di rumah orang tuanya, tapi tetap tidak tinggal disana seingga tidak banyak teman saat dirumah Eyangnya. Bosan? tentu saja, apalagi mereka sedang dalam masa suka bermain.Â
Eyangnya anak-anak sedang sakit, kami lebih sering mengadakan acara makan untuk beberapa acara ulang tahun di rumah saja agar beliau bisa ikut melihat keramaian. Mohon doanya untuk kesembuhan Eyangnya anak-anak yang terkena stroke sampai saat ini lebih banyak rebahan di kamar saja.Â
Saat berkumpul seperti ini jarang bisa terjadi kalau tidak ada satu acara karena rumah kami pun tidak berdekatan. Apalagi saudara Eyangnya anak-anak yang orang asli Jawa, ada beberapa yang di pulau ini, ada pula yang di pulau lain saling berjauhan. Berkumpul keluarga menjadi moment yang tidak bisa sering dilakukan apalagi di masa pandemi seperti ini.
Berbeda dengan tempat tinggal orang tuaku yang berada di desa. Sudah terbayang kan bagaimana serunya tinggal di desa. Berdekatan, empati, saling berbagi, bergotong royong dan saling menyayangi. Kebetulan orang tuaku tinggal di lingkungan yang tetangganya adalah keluarganya.
Rasanya sangat menyenangkan dan menenangkan. Saling mendukung, saling membantu, satu untuk bersama, sedikit sama dibagi, banyak sama memberi. Beribadah bersama, mengingatkan dalam kebaikan, bersama mencari pahala, bersama berbuat baik dan tak pernah saling menjatuhkan.Â
Tinggal disana sangat baik untuk memperbaiki hati. Sangat baik untuk merecovery hati yang sedang tidak baik dan belajar menjadi baik dan belajar dari kesederhanaan untu bersyukur dan tidak mengeluh.Â
Sering sekali saat jam makan terutama sarapan, kami membuat sambal dengan bahan yang ada di kulkas seperti tempe, tahu, telur dengan sambal atau sayur kelor yang ada pohonnya di depan rumah, lalu dimakan bersama dengan keluarga yang lain. Ada yang membawa nasi, ada yang membawa lauk.Â
Apa yang ada dikumpulkan, dimakan bersama di teras rumah tengah dari jejeran rumah tetangga yang juga keluarga. Rasanya sangat nikmat. MasyaaAllah. Sayur kelor kaya manfaat ini sejak di Lombok baru saya kenal sebab saat masih tinggal di Ambarawa tidak pernah mengenal sayur ini.Â
Membuat gelembung berisi air dari balon tiup murah dengan botol yang dilubangi. Kami banyak belajar karena di kota ternyata tidak ada mainan receh yang juga membuat anak-anak belajar untuk belajar memanfaatkan apa yang ada di sekitar. Tidak perlu mahal untuk belajar, tidak perku beli untuk bermain dengan menyenangkan dan bersyukur adalah salah satu pondasi untuk bahagia dengan apa yang kita miliki.Â
Anak-anak belajar untuk bisa beradaptasi dengan banyak orang dari lingkunagan dan latar belakang yang berbeda-beda. Mulai dari kalangan berada hingga kalangan biasa. Mulai dari suku Jawa hingga suku sasak.Â
Anak-anak belajar untuk tetap bersyukur atas apapun yang mereka miliki. Meski terkadang kalau ngobrol dengan teman-temannya di kompleks kami tinggal beberapa anak menceritakan punya kendaran banyak, rumah lebihd ari satu yang membuat si Gendhuk bertanya, tapi dia mengerti kalau bersyukur adalah bagian penting untuk bahagia, bukan dari harta dan kekayaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H