Apakah pembicaraan mengenai kehidupan seksual memanglah tabu sejak dulu? Dalam buku Dari Privat ke Publik (Kehidupan Seksual di Jawa Awal Abad ke-20), kehidupan seksual masyarakat Jawa dikupas habis.Â
Tidak hanya masyarakat kecil, bahkan Gayung Kasuma, penulis dari buku ini, berusaha pula untuk menggapai elit-elit yang duduk dalam kursi tertinggi piramida sosial.Â
Etnis-etnis yang hidup di lingkungan Jawa pun tidak luput dari kajian. Â Buku ini terdiri dari beberapa bagian, dengan daftar istilah, pengantar penerbit dan penulis, pendahuluan, empat bab utama, kesimpulan, daftar pustaka, dan lampiran berupa foto-foto di akhir buku.
Pada awal buku, Gayung memaparkan data-data tentang komposisi penduduk dan keadaan di Jawa pada awal abad ke-20. Dilanjutkan dengan munculnya kebijakan ekonomi liberal yang berhasil mendorong orang-orang Jawa, baik elit maupun rakyat biasa, untuk membentuk mentalitas baru yang cenderung terbuka dan mengikuti gaya Barat.Â
Pemikiran-pemikiran tradisional dianggap konservatif dan kuno sehingga lebih baik bila ditinggalkan saja. Daripada segera bercerita tentang kehidupan seksual di Jawa, bab pertama pada awalnya bercerita tentang alasan-alasan yang mendesak merebaknya aktivitas seksual di pulau yang saat itu juga menjadi pusat industrialisasi.
Faktor-faktor ini terbagi dalam sub-bab yang menjabarkan mereka secara cukup terperinci. Pada dua sub-bab terakhir, barulah kita akan diberi penjelasan mengenai hubungan faktor-faktor ini dengan kehidupan seksual di Jawa.
Adanya industrialisasi dan pembangunan rel-rel kereta api memunculkan sebuah kelompok baru di pinggiran kota, yang mana mereka diisi oleh orang-orang pekerja bawahan dan kebanyakan dari mereka kekurangan uang maupun hiburan.
Di dekat rel-rel ini kemudian dibangun rumah-rumah bordil yang menjual seks sebagai jasa. Tempat-tempat ini menyediakan wanita-wanita penghibur untuk memuaskan hasrat seksual para pekerja.Â
Alasan mengapa mereka turut datang ke tempat ini pun dijelaskan, seperti karena terpisah dari istri yang ada di tempat asal. Sedangkan alasan mengapa para pekerja bersedia menjual tubuhnya, antara lain adalah karena minimnya upah yang didapat dari pekerjaan semula mereka, terutama untuk perempuan.Â
Meskipun didominasi oleh orang-orang asli Indonesia yang beberapa di antaranya juga merupakan pendatang dari tempat lain yang datang untuk mencari pekerjaan, tetapi rumah-rumah bordil yang menyediakan perempuan-perempuan etnis lain seperti Cina maupun Eropa pun tidak dapat disangkal keberadaannya.Â
Bahkan, dijelaskan pula bahwa ada beberapa jenis rumah bordil. Komersialisasi seks tidak hanya ada dalam tempat-tempat ini, tapi juga dalam bentuk titel seperti nyai atau gundik.Â