Mohon tunggu...
Shafa Adila
Shafa Adila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Komunikasi Lintas Budaya dalam Pembelajaran BIPA

27 Maret 2023   23:11 Diperbarui: 31 Maret 2023   17:16 1474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasa Indonesia dalam perkembangannya banyak diminati penutur asing, dengan berbagai motif, seperti pendidikan, politik, dan budaya. Untuk mendukung pesatnya perkembangan bahasa Indonesia, negara memberikan dukungan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing atau disingkat BIPA. Pengembangan pembelajaran bahasa Indonesia dapat menjadi sarana diplomasi yang mengangkat citra positif bangsa Indonesia (Maharani & Astuti, 2018).

Perkembangan tersebut terlihat dari data yang disampaikan pada tahun 2020 oleh Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia bahwa Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing telah diajarkan di 135 negara dengan 420 lembaga yang tersebar di Asia, Amerika, Australia, Eropa, dan Afrika (Solikhah & Budiharso, 2020: 217). Dengan data perkembangan BIPA ini, komunikasi lintas budaya menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari dalam prosesnya.

Komunikasi lintas budaya adalah proses penyampaian informasi atau pesan dari satu orang ke orang lain, dengan latar belakang budaya yang berbeda. Suatu hal dapat dikatakan sebagai komunikasi lintas budaya jika aspek budaya mempengaruhi proses komunikasi sehingga terdapat perbedaan yang cukup signifikan.

Pembelajaran BIPA bukan hanya program pengajaran bahasa Indonesia kepada penutur asing, tetapi juga menjadi suatu alat diplomasi negara. Pembelajaran BIPA menjadi sarana ideal untuk mempromosikan bahasa dan budaya Indonesia kepada dunia. Oleh karena itu, untuk menjaga citra Indonesia yang baik dan positif, pembelajaran BIPA harus terstruktur dan terprogram dengan baik (Suyitno). Salah satu cara untuk menjaga citra tersebut adalah dengan menjaga komunikasi lintas budaya.

Dalam pembelajaran BIPA tentunya ada pembelajar dan ada pengajar (tutor) sebagaimana pembelajaran di sekolah pada umumnya. Yang membedakan adalah semua aspek pembelajaran berhubungan dengan bahasa Indonesia untuk penutur asing. Pembelajar BIPA adalah orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Setiap pembelajar akan memiliki karakteristik, sikap, dan cara belajar yang berbeda (Kusmiatun, 2016: 42). Hal ini perlu menjadi perhatian para pengajar BIPA, baik dalam pembelajaran maupun komunikasinya.

Menurut Wilbur Schramm, untuk lebih menjelaskan posisi pengajar BIPA dan pembelajar BIPA dalam komunikasi lintas budaya, ia mengemukakan konsepnya yaitu frames of references dan field of experience, yang menyatakan bahwa seorang komunikator harus memiliki referensi dan pengalaman untuk menyampaikan pesan dan komunikan dapat memahami pesan tersebut. Semakin mirip referensi dan pengalaman komunikator dan komunikan, semakin mudah mereka berkomunikasi satu sama lain. Namun, jika mereka memiliki sedikit kesamaan dalam referensi dan pengalaman, maka proses komunikasi akan lebih sulit dan memiliki kemungkinan kesalahpahaman yang tinggi (Mulyana; dalam Teguh, 2017: 160).

Referensi dan pengalaman yang dimaksud dalam pernyataan mengacu pada pengetahuan komunikator dalam aspek budaya, latar belakang sosial, keyakinan, pengalaman, nilai, aturan, dan berbagai aspek yang mempengaruhi pemahaman serta interpretasi komunikan dalam memahami informasi atau pesan. Dalam pembelajaran BIPA, tutor sebagai komunikator dituntut untuk memahami berbagai latar belakang pembelajar BIPA sebagai komunikan. Hal ini dilakukan untuk menjaga sikap dan perilaku dalam melakukan komunikasi yang baik.

Kemudian dalam salah satu tulisan Knoblauch (2017), ia menyatakan bahwa dalam komunikasi lintas budaya terjadi apa yang disebut dengan kontekstualisasi. Kontekstualisasi adalah suatu proses dalam komunikasi di mana komunikator dan komunikan menggunakan tanda-tanda verbal dan nonverbal untuk menunjukkan apa yang mereka lakukan. Simbol-simbol kontekstual yang digunakan dalam komunikasi tidak bersifat universal tetapi tergantung pada konteks lokal.

Artinya, dalam komunikasi biasa setiap simbol yang digunakan dapat memiliki konteks pemahaman yang berbeda-beda, tergantung bagaimana masing-masing individu memahami simbol-simbol tertentu dalam konteks tertentu. Komunikasi lintas budaya adalah komunikasi antara orang-orang dari budaya yang berbeda. Tentu saja konteks pemahaman masing-masing individu akan berbeda untuk sebuah simbol, sesuai dengan bagaimana budaya yang mereka pahami. Oleh karena itu, orang yang berkomunikasi memiliki kontekstualisasi yang berbeda dan harus saling menghormati kode dan gaya yang digunakan dalam komunikasi, agar proses komunikasi berjalan lebih baik.

Permasalahan Komunikasi Lintas Budaya dalam Pembelajaran BIPA

Dalam pembelajaran BIPA, beberapa masalah dan kendala dapat dengan mudah ditemukan. Tentu saja, program pengajaran ini berfokus pada pengajaran bahasa Indonesia kepada penutur asing. Contoh kasus yang sering terjadi adalah persepsi dan kepercayaan penutur asing bahwa orang Indonesia sangat ramah terhadap orang luar. Dalam pembelajaran BIPA, hal ini juga sering terjadi. Namun, persepsi dan keyakinan ini terkadang disalahgunakan oleh penutur asing yang tidak ingin menghadiri kelas atau ingin meminta sesuatu. Dalam persepsi mereka, karena orang Indonesia adalah orang yang ramah, maka mereka akan selalu membantu selama ada 'alasan' bagi mereka untuk tidak mengikuti kelas.

Contoh lainnya adalah sikap beberapa penutur asing, baik yang belajar langsung di Indonesia maupun belajar online dari luar negara. Terkadang ada beberapa mahasiswa BIPA yang bersikap cuek dan masa bodoh terhadap tutor atau rekannya dalam pembelajaran BIPA. Karena ini melibatkan sikap dan perilaku, masih belum jelas apa alasan sebenarnya di balik sikap dan perilaku tersebut. Entah karena merasa nyaman dengan lingkungan Indonesia sehingga lupa tujuan belajar, karena pergaulan yang salah, atau alasan pribadi lainnya.

Masalah lainnya yaitu kurangnya adaptasi lintas budaya, seperti masalah pemahaman bahasa yang berbeda, maka untuk menjelaskan bagaimana budaya di Indonesia bekerja akan sedikit sulit. Jadi sebelum menjelaskan budaya yang ada di Indonesia, mereka harus diajarkan tentang bahasa Indonesia terlebih dahulu. Hal ini tentu saja menghambat proses adaptasi mahasiswa BIPA.

Untuk masalah adaptasi lintas budaya lainnya, ada juga pemikiran pembelajar BIPA dari negara tetangga yang beranggapan bahwa budaya mereka dan budaya Indonesia tidak jauh berbeda, karena masih dalam lingkup wilayah yang sama (ASEAN). Padahal jika dipahami dengan baik, akan ada perbedaan yang signifikan antara budaya mereka dengan budaya Indonesia. Misalnya, ada perbedaan pandangan tentang LGBT, masyarakat di Indonesia masih tabu, tapi di Thailand hal ini sudah umum dan bisa dimaklumi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun