" Berhenti merasa kamu begitu kecil. Kamu adalah alam semesta yang bergembira." - Jalaluddin Rumi
Kasus cyberbullying tidak dapat dianggap remeh. UNICEF mencatat lebih dari 70 persen remaja di dunia menjadi korban kekerasan online, penindasan dunia maya serta pelecehan digital.
Penggunaan internet seperti sebuah kebutuhan pada zaman sekarang ini. Namun, beragam media sosialnya yang hadir menjadi suatu sarana untuk melancarkan cyberbullying. Cyberbullying pada dasarnya membuat korban merasa tertindas sehingga akan menghancurkannya secara tidak langsung. Mental dan psikis korban akan hancur yang mengakibatkan timbulnya perasaan insecure berlebihan dan minder. Sehingga, dia tidak dapat melakukan produktivitas aktif yang berdampak buruk pada masa depannya kelak.
Motif dari cyberbullying sangatlah beragam. Mulai dari faktor "hanya iseng", "kebencian" atau ternyata dia adalah fans berat kita. Sering kita saksikan pada  live media sosial yang diisi oleh selebriti medsos para penonton mengutarakan hal yang tidak senonoh. Setelah di cek beberapa akunnya ternyata merupakan second akun dan fake akun.Â
Penggunaan internet secara positif hanya bisa dikembalikan kepada kesadaran individu sendiri. Berdasarkan data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyatakan 79,5 persen dari 30 juta anak - anak dan remaja di Indonesia menjadi pengguna aktif media sosial.
Banyaknya pengguna internet yang beragam akan membuat kita sulit untuk menelusuri akun asli pengguna. Bisa saja satu platform media sosial memiliki pengguna yang lebih dari satu akun. Sehingga sering kita jumpai banyak platform yang menggunakan verifikasi KYC.
Proses verifikasi KYC bisa dikatakan sebagai suatu sistem keamanan pada platform untuk memverifikasi secara akurat data pengguna. Namun, disisi lain sistem verifikasi ini akan membuat pengguna lebih sulit dalam membuat akun. Sehingga, tidak jarang kita temukan platform yang ditinggalkan karena tidak memberikan keuntungan dan berseberangan dengan pengalaman pengguna (user experience).
Proses ini memang dapat mempermudah dalam melihat keaslian akun. Namun, kurang cocok untuk diterapkan pada media sosial karena konsep dari media sosial itu sendiri merupakan sebuah sarana interaksi secara online. Sehingga semakin banyak pengguna aktif maka akan semakin baik.
Interaksi online melalui media sosial dapat membantu kita untuk mempermudah komunikasi yang terbatas dengan jarak dan membuka jaringan pertemanan yang baru dengan orang lain. Namun, disisi lain pengguna remaja adalah pengguna yang rentan.
Pada usia remaja merupakan proses untuk mencari jati diri, mengembangkan bakat, mencari minat, serta mengejar cita - cita. Hadirnya media sosial dapat menjadi sarana mempromosikan diri kepada publik atau khalayak umum. Â
Fitur kolom komentar pada media sosial sering kali dijadikan sarana pujian, kritik, saran, bahkan cacian. Pada dasarnya pujian yang diberikan kepada remaja mampu meningkatkan rasa percaya diri. Kritik dan saran yang baik dapat dijadikan masukkan supaya menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Namun, terkadang kita salah dalam mengartikan kritik dan saran.
Ketidakmampuan dan ketidaksiapan dalam menangkap kritik dan saran yang diberikan dapat membuat mental kita menjadi terjatuh. Karena tidak sesuai dengan implementasi awal yang diinginkan. Belum lagi cacian dari seseorang yang tidak bertanggung jawab akan berdampak menambah jatuhnya mental kita.
Ketika kita sadar kesehatan jiwa kita sedang terganggu. Maka, perlu penanaman mental block untuk mengatasi masalah ini. Mental block merupakan kondisi otak manusia dalam menolak sebuah pemikiran yang berasal dari orang lain.Â
Penggunaan mental block yang salah malah akan menghancurkan diri sendiri. Ketidakpercayaan pada lingkungan dan orang lain yang terlalu berlebihan dapat membuat diri kita mengalami kesepian sehingga dapat menjadi sedih dan insecure.
Namun, berbeda halnya apabila mental block itu diterapkan pada saat yang tepat. Kita mampu membuat memblokir setiap komentar yang tidak sesuai dengan keinginan kita tanpa memblokir akun mereka.
Cukup abaikan saja komentar buruk karena sebagian dari mereka hanya menganggapnya sebagai sebuah gurauan saja. Maka akan lebih bijak apabila kita bisa  dapat membalasnya dengan sebuah gurauan atau lelucon. Namun, point pentingnya adalah mengatasi mental yang sudah terlanjur hancur karena cyberbullying.Â
Mental yang hancur dan mental block yang tercipta menjadi penghalang yang kuat untuk memberi masukkan kepadanya. Sehingga hanya individu dan keputusan sendiri yang mampu dijadikan landasan dalam mengambil langkah berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H