Mohon tunggu...
Hafshah N Fadeela
Hafshah N Fadeela Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Sebagai mahasiswa S1 Program Sejarah, saya mempunyai ketertarikan yang mendalam terhadap perubahan periodik menuju integrasi yang lebih baik. Dengan pengetahuan sejarah yang saya miliki, saya bertekad untuk merangkul berbagai kompleksitas mulai dari politik, ekonomi, diplomasi, sosiologi, antropologi, seni, budaya, bahasa, pendidikan, hingga isu lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Menulis menjadi bagian dari passion sekaligus tekad saya dalam menerapkan prinsip Levi Strauss, “History is never only history 'of', it is always history 'for'.” sebagai penyemangat bagi saya untuk berkontribusi sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dunia.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Reformasi di Persimpangan Zaman: Refleksi Panggung Perlawanan Mahasiswa dalam Dialog Lintas Generasi

3 Januari 2025   09:25 Diperbarui: 3 Januari 2025   09:30 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar 4. Simposium Kepedulian UI Terhadap Masa Depan Indonesia di Pusat Studi Jepang UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998)

TAHUN 45 KITA MULAI DARI NOL! 65 BALIK KE NOL! 98 BALIK LAGI KE NOL! 2000... MASA KITA TERUS BALIK KE NOL????????????

Yaswin Ibensina

Reformasi 1998: Pertarungan Indonesia yang Tak Pernah Usai

Tahun 1998 menjadi salah satu piala yang terus terpajang megah dalam ingatan kolektif masyarakat Indonesia, berdampingan dengan plakat monumental lain seperti 1945, 1949, dan 1965. Ia menjelma menjadi salah satu babak yang kerap dibolak-balik dalam buku-buku pelajaran sejarah, dihiasi dengan glorifikasi romantis tentang gelora gerakan mahasiswa pada masanya. Namun, di balik euforia itu, ada sesuatu yang sering terlewat: pemahaman mendalam tentang makna sejati "reformasi" - sebagaimana kita seringkali juga luput dalam menyelami hakikat dari sebuah "sejarah."

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, reformasi adalah perubahan drastis yang bertujuan memperbaiki berbagai aspek dalam masyarakat atau negara, baik di bidang sosial, politik, hukum, maupun budaya. Sedarmayanti (2009) menyebut reformasi sebagai upaya sistematis dan terpadu untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Untuk itu, perlu adanya penataan ulang praktik-praktik yang dianggap tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat agar lebih selaras dengan aspirasi publik. Sementara Prasojo (2003) menambahkan, bahwa reformasi sebagai perubahan yang terarah juga membutuhkan kerangka kerja dan pemetaan yang jelas untuk mencapai tujuan dan mengukur keberhasilannya. Menilik kembali definisi-definisi dan tujuan reformasi yang demikian, sudahkah semua itu benar-benar terwujud dalam kehidupan kita hari ini?

Reformasi 1998 sendiri konon lahir dari amarah terhadap 32 tahun kuasa rezim Soeharto. Hangatnya reformasi pada kerusuhan Mei 1998, sering diasosiasikan dengan penembakan empat mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998. Meski demikian, peristiwa tersebut tidak dapat ditelan mentah-mentah sebagai pemicu terbesar, melainkan hanya sebagai salah satu rangkaian kompleks dari dinamika sosial, politik, dan ekonomi (Sirot & Atmaja, 2020). Gerakan reformasi sejak awal mempersoalkan praktik kekuasaan rezim Orde Baru yang ditandai oleh dominasi elite politik, ketimpangan ekonomi, dan maraknya korupsi, kolusi, serta nepotisme. Kebijakan ekonomi yang seharusnya mendorong pertumbuhan justru dimanfaatkan untuk kepentingan sempit melalui monopoli dan rente ekonomi. Dominasi militer dalam pemerintahan juga menjadi sorotan karena dianggap menghambat supremasi sipil dan demokrasi. Krisis ekonomi yang semakin parah, dengan melemahnya nilai rupiah, meningkatnya utang, dan melonjaknya inflasi, memperburuk situasi dan pada akhirnya mendorong keresahan nasional untuk bergerak (Suparno, 2012).

Di tengah tekanan ekonomi dan politik, pemerintah terpaksa menerima intervensi internasional melalui reformasi struktural yang semakin memperlemah legitimasi rezim. Muncul kehendak masyarakat saat itu terhadap pembaharuan tatanan sosial dan ekonomi, mencakup tuntutan akan demokrasi, kebebasan pers, otonomi daerah, penghormatan hak asasi manusia, supremasi hukum, penghapusan Dwi Fungsi ABRI, amandemen UUD 1945 - dan tentunya, hasrat terhadap perbaikan ekonomi dan struktur politik yang telah dicemari kroni-kroni Orde Baru (Samekto, 2020). Ketidakpuasan masyarakat, gerakan mahasiswa, dan kerusuhan sosial menjadi katalis yang akhirnya meruntuhkan kekuasaan Orde Baru. Meski awalnya dipandang sebagai tatanan baru yang menjanjikan stabilitas dan pembangunan, rezim ini runtuh karena gagal menjawab tantangan perubahan serta tekanan dari berbagai elemen masyarakat.

Namun, setelah lebih dari satu dekade, sama halnya seperti Orde Baru, reformasi yang semula dielu-elukan sebagai pintu perubahan menuju tata kelola yang lebih baik, kini masih menyisakan tanda tanya besar. Banyak yang menilai reformasi berjalan di tempat, bahkan mandek sebelum mencapai tujuan utamanya. Masyarakat menjadi bingung membedakan siapa tokoh yang benar-benar menghendaki perbaikan sejati dan siapa yang hanya memanfaatkan momentum politik di tahun itu untuk kepentingan pribadi. Media turut mempertegas kebingungan ini dengan narasi bahwa reformasi telah kehilangan arah dan berjalan tanpa konsep yang jelas. Sebagai sebuah gerakan yang bertujuan memperbaiki praktik politik, sosial, dan ekonomi, reformasi awalnya menjadi simbol perlawanan terhadap sentralisme kekuasaan, maraknya korupsi, kolusi, nepotisme, serta pengabaian hak asasi manusia. Namun, realitas pasca-reformasi justru menunjukkan persoalan yang tak kunjung selesai. Alih-alih membawa perubahan mendasar, reformasi kerap hanya dipahami sebagai rangkaian tuntutan tanpa refleksi mendalam akan makna sejatinya (Suparno, 2012).

Sama halnya seperti kita sering gagal menyelami hakikat sejarah sebagai pionir masa depan, reformasi pun kehilangan esensinya di tengah euforia perubahan yang hanya bersifat permukaan. Karena itu, kita perlu merenungkan kembali nasib reformasi yang teronggok sebagai bagian dari sejarah statis atau hanya sebagai alat legitimasi oknum-oknum tertentu. Sebagai generasi berikutnya, sebagai bagian dari elemen "golongan intelektual" yang dikehendaki mendorong perubahan struktural negara sebagaimana tokoh-tokoh di tahun 1908, 1928, 1966, dan 1998, tentunya kita membutuhkan referensi untuk mampu meluruskan kembali demokrasi dan situasi negara yang semakin coreng-moreng beberapa tahun terakhir. Itulah yang seharusnya menjadi motivasi dilakukannya wawancara dengan sejumlah "mantan aktivis mahasiswa" dan alasan utama penulisan penelitian sejarah ini.

Jejak Perlawanan 1998: Mengapa

Setiap peristiwa sejarah tentunya didorong oleh serangkaian faktor penyebab, baik berupa kondisi sosial, politik, ekonomi, atau alam. Begitu pula dengan para pelaku sejarah. Setiap individu atau kelompok yang terlibat dalam sebuah peristiwa sejarah memiliki motivasi yang mendorong mereka untuk bertindak. Motivasi ini bisa berupa ambisi pribadi, keyakinan ideologis, atau bahkan tekanan dari keadaan sosial yang menuntut perubahan. Dengan demikian, peristiwa sejarah merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor-faktor eksternal dan motivasi internal para pelakunya.

Telah dijabarkan sebelumnya beberapa analisis yang melatarbelakangi reformasi 1998. Pelaku sejarah yang kerap disinggung adalah para mahasiswa, dengan beberapa momen krusial seperti pendudukan gedung DPR/MPR, insiden Trisakti, dan Semanggi. Motivasi para mahasiswa yang terlibat dalam gerakan reformasi tersebut dapat saja dianalisis secara kolektif, namun beberapa sumber lisan dapat membantu memperdalam dan memperluas hasil analisanya.

Kami beruntung karena tahun 1998 masih berada dalam rentang waktu kurang dari tiga dekade yang lalu. Narasumber yang kami cari hanya terpisah satu generasi, dan mayoritas orang di sekitar melalui masa-masa tersebut sebagai mahasiswa. Namun, yang kami cari adalah mereka yang dekat dengan gerakan reformasi itu sendiri demi menggali sudut pandang yang lebih kaya. Salah satu langkah yang kami lakukan adalah pergi ke Aksi Kamisan di depan Istana Merdeka pada 5 Desember 2024. Pikir kami: mereka yang mengalir darah "mahasiswa aktivis sejati" tentu akan menyempatkan diri untuk hadir menggugat hitamnya negara meski tak lagi berusia muda. Beruntungnya, moderator hari itu adalah Mas Daniel Tangkilisan, alumni Sastra Belanda UI angkatan 91, yang beberapa tempo lalu kasus kriminalisasinya sebagai seorang aktivis lingkungan di Karimunjawa ramai diberitakan media. Ragu-ragu, kami mencoba memberanikan menghampiri beliau. Nasib baik, meski beliau mengaku kurang mumpuni dengan topik yang ingin kami urai, namun dengan baik hati memberi beberapa kontak mahasiswa yang cukup aktif di masa kuliah dan akrab dengan peristiwa tersebut. Kami pun berpamitan dan berterima kasih banyak: atas bantuannya secara pribadi, dan perjuangannya di Karimunjawa sebagai warga negara.

Dari salah satu kontak yang didapat, kami lagi-lagi beruntung mendapat nomor Mas Yaswin Ibensina, yang kami ingat sebagai mantan Ketua Senat Sastra UI (sekarang BEM FIB UI) tahun 1995-1996. Keputusan yang tepat menghubungi beliau karena ia termasuk salah satu yang masih "berjiwa mahasiswa" hingga hari ini. Beliau menyambut permintaan kami untuk wawancara secara daring pada Sabtu, 7 Desember 2024, karena posisi yang sedang tidak berada di wilayah Jabodetabek. Mas Yaswin menjadi narasumber keempat kami setelah sebelumnya secara berturut-turut mewawancarai Pak Hera Hendrasana, alumni IPB angkatan 94, yang saat itu juga turut demo di gedung DPR sejak hari pertama sebagai mahasiswa tingkat akhir; Pak Farid Fadli, alumni Sejarah UI angkatan 96, yang turut berada di garis depan UI bersama mantan Ketua Senat UI, Rama Pratama; dan, Mas Agus Setiawan, dosen kami, yang saat itu merupakan mahasiswa Sejarah UI sekaligus meliput lokasi kejadian sebagai reporter TPI.

Dari keempat narasumber, kami mendapat sudut pandang yang berbeda-beda dari gerakan tersebut: seorang alumni UI, seorang mahasiswa UI yang sedang aktif-aktifnya, seorang mahasiswa UI yang tengah cenderung pada dunia akademis dan karir di tahun terakhirnya, dan seorang mahasiswa non-UI tingkat akhir yang bergerak di luar ring ibukota. Untuk pertama kalinya, kami benar-benar mendapat pengalaman menciptakan sumber kami sendiri sekaligus melakukan kritik segar dan crosscheck terhadap keterangan yang didapat dari sumber-sumber tersebut. Dengan latar belakang yang cukup berbeda-beda, kami menemukan corak motivasi yang berbeda pula, namun juga beberapa keresahan yang sama.

Cukup sulit untuk mengulik dorongan pribadi Pak Hera dalam gerakan mahasiswa selama reformasi. Atau mungkin, hasil analisis kami dari wawancara secara daring pula pada Minggu, 1 Desember 2024, beliau merupakan salah satu mahasiswa yang terbawa arus situasi politik dan ekonomi di masa itu, sehingga lebih banyak menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia, mahasiswa, dan kampus - khususnya IPB - pada tahun-tahun tersebut.

Saat itu, saya adalah mahasiswa tingkat akhir Kehutanan IPB, angkatan 94, tingkat 4, semester 8. Saat itu sudah tidak ada kuliah, dan sudah lepas jabatan Ketua Himpro. Selama setahun belakangan (1997) memang gejolak politik dan gerakan mahasiswa di kampus sudah memanas. Tahun itu sedang masa pemilu untuk lembaga legislatif. Masalahnya, saat itu, presidennya masih dipilih oleh MPR, yang separuhnya terdiri dari anggota DPR. Alhasil, di kampus-kampus mulai tercium gejolak protes akademisi. Saat masih menjabat sebagai sebagai Ketua Himpro, sempat ikut beberapa pertemuan yang mulai membahas isu dan keresahan nasional. Sejak Soeharto terpilih kembali, mulai banyak demo-demo kecil. Banyak isu KKN yang mulai menonjol, kroni-kroni, bahkan anaknya sendiri diangkat jadi menteri (Mba Tutut, Siti Hadiarti Rukmana). Ditambah, pasca pemilu, Indonesia langsung mengalami krisis moneter, kan. Otomatis demo-demo semakin berani. Demo-demo tersebut diinisiasi oleh organisasi ekstra dan intra kampus, tapi pionir utamanya memang organisasi mahasiswa ekstra (HMI, GMNI, KAMMI, dll).

(Perihal pertemuan-pertemuan yang diikuti mahasiswa saat itu untuk membahas isu nasional, dan demo, bukankah ada pembatasan pers dan ruang gerak masyarakat di masa Orde Baru? Bagaimana mahasiswa menginisiasinya? Bagaimana isi forum pertemuan mahasiswa saat itu?)

Pada tahun 1997, masyarakat itu sudah lebih berani dibanding beberapa tahun sebelumnya. Dibandingkan tahun 1994, waktu saya baru masuk kuliah, yang ketika mau mengaji bersama pun banyak yang menyembunyikan sepatunya. Sifat otoriter dan legitimasi pemerintah bisa dibilang mulai menurun, bersamaan dengan datangnya krisis ekonomi. Banyak tokoh besar dan akademisi (dosen) yang juga mulai vokal bersuara. Tokoh-tokoh seperti Amien Rais, Faisal Bachri, Hatta Rajasa, Bintang Pamungkas, Taufik Ismail, banyak yang mengiringi mahasiswa dan masyarakat demo, juga diundang datang langsung ke kampus untuk mengisi forum-forum dan mimbar bebas. Saya sendiri sering datang ke forum-forum tersebut bila sempat. Kebanyakan forum diselenggarakan secara informal, tetapi tentu ada yang mengkoordinir forumnya, dan seringnya dalam bentuknya diskusi. Forum-forum tersebut biasanya diselenggarakan di pelataran Graha WW IPB, di malam hari.

(Apa dorongan Anda bergabung dengan gerakan mahasiswa? Apakah Anda terbayang bahwa itu akan menjadi gerakan reformasi? Atau sekadar ingin melawan? Atau ada motivasi pribadi lain?)

Dengan krisis ekonomi dan KKN yang melanda negeri, tentunya timbul dorongan dan keinginan untuk suksesi kepemimpinan. Mayoritas mahasiswa "greget", meskipun ya, tidak semuanya, tapi mayoritas sadar situasi politik saat itu. Saya sendiri selalu update dan suka mendengar radio, berhubung di tahun 1998, eskalasi demo terus meningkat. Saat itu saya sudah tidak ada jadwal kuliah, dan sudah diterima magang, tinggal menunggu waktu berangkat. Ketika kerusuhan Mei di tanggal 12, saya tahu dari radio (Elshinta). Lalu ada mahasiswa Trisakti yang meninggal 14 Mei, dan berujung pada demo mahasiswa besar-besaran di DPR.

Gambar 2. Pemakaman Henriawan, salah satu mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 13 Mei 998).
Gambar 2. Pemakaman Henriawan, salah satu mahasiswa Trisakti yang menjadi korban penembakan. (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 13 Mei 998).

Saat itu saya dengar dari radio kalau DPR berhasil diterobos. Tetapi, posisinya sebenarnya mahasiswa IPB dilarang ikut demo oleh rektor kami. Namun, ada panggilan bawah sadar yang akhirnya mendorong saya untuk berangkat demo ke DPR, bersama kedua teman saya. Kami naik kereta dari Bogor. Sesampainya di DPR, karena masih hari pertama, jadi masih sangat sepi. Banyak, tapi paling hanya ratusan - tidak sebanyak yang di foto-foto terkenal itu. Saya bermalam tiga hari di DPR, bersama mahasiswa dari UI, ITB, dan lain-lain. Sementara IPB, yang dilarang ikut, setidaknya masih ada meski kurang dari 20 orang. Di hari terakhir baru membludak.

Berdasarkan hasil wawancara, Pak Hera, bisa dibilang, merupakan gambaran mahasiswa pada umumnya. Ia belum bisa menjelaskan apa yang ia rasakan, namun lebih memberikan bayangan mengenai situasi nasional secara keseluruhan yang akhirnya mendorongnya untuk memiliki keresahan yang sama. Dorongannya untuk bergabung dalam demo adalah akal sehat yang dimiliki oleh mahasiswa-mahasiswa secara umum. Ia tidak memiliki ambisi dan pemikiran struktural dalam reformasi, semata-mata terdorong untuk mendengar, hadir, dan peduli. Alhasil, setelah Soeharto turun dari jabatannya, ia mengambil peran sebagai rakyat biasa, "melepas" tugas menggugat dan mengawal pemerintahan pada generasi selanjutnya.

Lain halnya dengan Mas Yaswin. Ia bisa digamblangkan sebagai sosok idealis, pemikirannya adalah pemikiran aktivis. Selain mengulas apa yang ia alami, ia juga mampu menganalisis keresahan dan perasaannya sendiri, bukan hanya pada pemerintah, tapi pada lingkungannya.

Saya itu kebetulan, ya. Kebetulan sekali, posisinya waktu itu baru lulus dua bulan dari UI, tepatnya pada tahun 1997. Masa kuliah saya sudah benar-benar selesai. Ketika peristiwa besar pada Mei 1998 meletus, saya sudah lulus sekitar dua atau tiga bulan. Namun, jika ditanya sebelumnya saya apa, ya, pada tahun 1998 saya adalah komandan lapangan dari aksi 25 Februari. Itu aksi yang diinisiasi oleh ILUNI UI. Aksi ini menjadi penting karena saat itu mahasiswa masih takut untuk bergerak. Kekuasaannya sangat kuat dan mencengkeram. Mahasiswa khawatir menghadapi ancaman seperti dikeluarkan (DO) dari kampus. Kami yang baru lulus dan sengaja menunda kelulusan adalah yang pertama berani bergerak. Boleh dibilang, kami nekat. Kami adalah orang-orang yang selamat dari peristiwa 27 Juli 1996, Kuda Tuli, dan terus bergerak sampai 1998.

Pada 25 Februari, saya memimpin perlawanan pertama yang simbolik. Waktu itu kami belum berani melakukan konfrontasi langsung. Kondisinya memang mengerikan. Ada penculikan aktivis yang membuat kami tidak pernah tahu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya. Dalam aksi itu, kami menutup papan reklame besar di gerbang UI yang bertuliskan "Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru." Tulisan itu sudah ada sejak 32 tahun sebelumnya, dibuat oleh Angkatan '66. Kami mengambil inisiatif untuk merobohkan simbol tersebut. Awalnya saya ingin memotong papan itu dengan gergaji, tapi akhirnya, kami hanya menutup tulisan itu.

Aksi ini mungkin terlihat sederhana, tapi bagi kami sangat bermakna. Di bawah kekuasaan Orde Baru yang begitu kuat, perlawanan sekecil apapun adalah sinyal penting. Saya bekerja sama dengan ILUNI UI yang dipimpin oleh tokoh-tokoh besar seperti Profesor Mahar dari Fakultas Kedokteran, yang dulu diberhentikan karena peristiwa Malari, dan Dr. Haryadi Darmawan, dokter terkenal dari Angkatan '66. Mereka mendukung kami, tapi pada akhirnya saya sebagai komandan lapangan yang mengambil keputusan. Perlawanan kami waktu itu lebih bersifat semiotik, sebuah perlawanan budaya. Dengan menumbangkan tulisan itu, kami ingin menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa kekuasaan Orde Baru sudah tidak layak dipertahankan.

Gambar 3. Mahasiswa membungkus papan
Gambar 3. Mahasiswa membungkus papan "Selamat Datang di Kampus Perjuangan Orde Baru" dengan kain putih (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 25 Februa

Kondisi waktu itu sangat berbeda dengan sekarang. Bayangkan, saya sejak lahir hingga usia 25 tahun hanya mengenal satu kekuasaan, yaitu Soeharto dan Orde Baru. Kekuatannya begitu besar hingga mampu menentukan hidup matinya seseorang. Perlawanan ini mulanya perlawanan budaya sifatnya. Ketika tulisan itu ada yang berani menentang, tandanya reformasi mulai dibangun dan coba diwacanakan. Ada yang bilang bahwa salah satu penyebabnya adalah krisis moneter yang datang dari luar (global). Tetapi, Malaysia dan Korea juga sedang mengalami krisis moneter. Jadi tidak ada hubungannya dengan nomenklatur. Orde Baru. Secara umum, 32 tahun itu sudah terjadi kebobrokan-kebobrokan. Jadi, yang kami laksanakan waktu itu adalah memberikan sinyal kepada masyarakat banyak.

Pada saat itu, ketika papan reklame itu ditumbangkan, maka yang terjadi adalah orang menunjuk kepada satu hidung, yaitu Orde Baru dengan Soeharto sebagai pimpinannya. Jadi ketika itu, ketika orang belum berani mendorong, maka UI-lah yang pertama melakukan itu. Dan kemudian kami berpikir bahwa kekuatan bersenjata pasti akan memukul balik kami. Tapi kami tidak tahu di kampus mana, dan kapan, dan siapa yang kena. Ketika saya memimpin aksi pada 25 Februari, kami semua tahu risikonya. Kami khawatir akan ada serangan balik dari aparat. Meski begitu, kami tetap melangkah. Tidak lama setelahnya, perlawanan meluas, dan pada 14 Mei, Tragedi Trisakti menjadi tonggak penting. Kampus-kampus lain, termasuk yang sebelumnya dikenal dengan gaya hidup elite, mulai turun ke jalan. Sebagai komandan, saya selalu memikirkan bagaimana agar perlawanan kami tidak menimbulkan korban jiwa. Menghadapi kekuatan sekonyol Orde Baru, menjadi korban rasanya seperti hal yang sia-sia. Sampai sekarang pun banyak korban yang kasusnya tidak pernah selesai.

(Dari yang kami tangkap, inisiator gerakan mahasiswa adalah ILUNI. Apakah mahasiswa UI saat itu sama sekali belum bergerak, atau sebenarnya hanya belum masif? Bagaimana dengan Ketua BEM di tahun itu, Mas Rama Pratama, yang akhirnya turun ke jalan dan mengepung gedung DPR di bulan Mei 1998? Kira-kira adakah koneksi atau dorongan dari gerakan ILUNI terhadap gerakan dari mahasiswa setelahnya?)

Di masa itu, banyak aktivis mahasiswa yang lebih fokus mengejar emblem dan pengakuan dari kegiatan mereka. Tujuannya adalah untuk menjadi terkenal, mengenal para jenderal, dan membangun karir yang bagus, sering kali berujung pada keanggotaan di Golkar atau organisasi serupa. Namun, saya tidak mengikuti jalur tersebut. Dari kecil, saya sudah familiar dengan lingkungan seperti itu, sehingga saya memahami dengan baik dinamika lingkaran-lingkaran sosial di Jakarta.

Ketika saya menjabat sebagai Ketua Senat, saya banyak memimpin di tingkat universitas. Namun, waktu yang terbatas memaksa saya keluar lebih cepat. Kalau saja saat itu ada kelonggaran untuk menyelesaikan pendidikan dalam waktu delapan hingga sembilan tahun, mungkin saya masih menjadi mahasiswa. Ada perbedaan besar antara posisi saya sebagai mahasiswa dan ketika saya menjadi alumni. Tapi hanya dalam dua bulan setelah lulus, kami memulai gerakan besar. Itu adalah titik perlawanan sipil yang masif di Indonesia, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Gerakan sipil itu kemudian diakomodasi oleh berbagai pihak.

Perlu diingat, kami hanya berjarak dua tahun dari peristiwa Kuda Tuli, dan sekitar lima bulan dari penculikan 14 aktivis yang hingga kini masih hilang. Pada masa itu, tidak ada yang berani bergerak. Tetapi kami berani, karena kami punya sejarah panjang sebagai bagian dari Universitas Indonesia, yang mewakili semangat rakyat. Universitas ini menggunakan nama negara tanpa embel-embel apa pun, sehingga kami merasa bertanggung jawab kepada rakyat yang mensubsidi pendidikan kami. Sebagai mahasiswa, saya hanya membayar uang kuliah sebesar 200 ribu rupiah, sebuah privilese besar yang mengingatkan saya untuk selalu memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Pada saat itu, apa yang kami lakukan berhasil menyatukan berbagai elemen masyarakat. Kami tidak terpecah di tingkat horizontal, melainkan bersatu melawan negara yang pada waktu itu identik dengan Orde Baru dan Soeharto. Seharusnya negara berbeda dari presidennya, tetapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan ketika saya terlibat dalam gerakan ILUNI, mahasiswa saat itu masih belum bergerak secara masif. Ketua BEM waktu itu, Rama Pratama, baru turun ke jalan untuk menduduki gedung DPR pada Mei 1998. Ada koneksi antara gerakan ILUNI dengan gerakan mahasiswa berikutnya, meskipun pada awalnya mahasiswa belum berani turun.

Karakter mahasiswa saat itu lebih banyak mencari aman dan fokus membangun CV. Mereka terlalu dekat dengan patron senior yang tidak independen. Akibatnya, reformasi 25 tahun kemudian tidak membawa perubahan signifikan. Kelompok-kelompok ini terus saling mempengaruhi, dari generasi ke generasi, masuk ke partai politik, dan akhirnya menjadi bagian dari sistem yang sama. Mahasiswa pada masa itu tidak sepenuhnya independen dalam berpikir. Tidak semua akademisi adalah intelektual, dan banyak dari mereka tidak memiliki keberanian untuk mengambil risiko. Saya ingat, pada masa itu, risiko bergerak sangat besar. Kalau tidak mati, kamu bisa gila karena penyiksaan yang luar biasa kejam. Kami mendengar kisah teman-teman yang diperlakukan dengan keji, sehingga tidak banyak yang berani melawan.

Saya ingat mendatangi Pusgiwa sehari sebelum 25 Februari. Mereka sibuk berdiskusi hingga malam, tetapi tidak berani memutuskan apakah akan turun bersama kami. Saya kesal dan mengatakan bahwa saya akan memotong tiang-tiang mereka jika perlu. Bahkan ILUNI pun tidak kami gunakan sepenuhnya karena ada keberatan dari berbagai pihak. Akhirnya, kami membentuk ILUNI Jakarta. Ketika mahasiswa belum berani turun, kami sudah bergerak lebih dahulu. Ada elemen-elemen tertentu yang memang hanya fokus pada popularitas dan pencitraan. Contohnya, Rama Pratama. Dia menarik massa UI yang besar untuk pulang saat mahasiswa menduduki gedung parlemen, sebuah momen bersejarah. Setelah itu, dia justru menjadi bagian dari politik praktis. Banyak orang yang mengklaim dirinya sebagai bagian dari gerakan 98, tetapi kontribusi mereka tidak selalu nyata. Saya sendiri lebih banyak bergerak di bawah tanah, dengan cara-cara yang tidak diketahui publik.

Pada masa itu, kami percaya bahwa keberhasilan gerakan tidak seharusnya membuat kami populer atau mengambil keuntungan pribadi. Sebaliknya, kami memilih untuk menjadi orang biasa. Jika ingin, saya bisa saja memanfaatkan momentum 98 untuk keuntungan pribadi. Tapi itu bukan tujuan saya. Kamu tidak bisa menyamaratakan antara orang-orang yang di atas dengan orang-orang yang di bawah tanah. Saya ini lebih klandestin. Saya ini di bawah tanah. Walaupun saya ada juga di luar dengan posisi saya sebagai mantan ketua senat dan pimpinan berbagai komando di sana, tapi gerakan seperti itu seharusnya jangan dimanfaatkan. Jadi orang seperti Rama itu tidak pernah masuk hitungan. Itu orang-orang yang ada di atas panggung tapi tidak pernah membangun panggung. Anda boleh catat pernyataan saya.

Dari wawancara dengan Mas Yaswin, kami dapat meraba kemarahan dan semangatnya yang menggebu-gebu pada tahun 1998. "Dendam" yang masih mengikatnya untuk mengabdi gamblang hingga kini di tengah masyarakat. Ada motivasi besar: ekspektasi, harapan-harapan, namun juga pemahaman dan prediksi akan rapuhnya konsep reformasi saat itu. Keterangan kedua narasumber yang bertolak belakang tersebut seakan dilengkapi oleh wawancara dengan Mas Agus pada Senin, 2 Desember 2024. Sebagai seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang juga menjalani masa-masa reformasi sebagai seorang reporter, ia berhasil memberikan sebuah gambaran objektif yang menyeluruh pada kondisi di tahun tersebut.

Pada masa-masa menjelang lulus sebagai mahasiswa Sejarah, saya sudah menyaksikan kehidupan bangsa dengan segala plus minusnya. Namun, pada tahun 1998, berbagai permasalahan tampak semakin memuncak. Salah satu pemicunya adalah krisis moneter. Krisis ini, pada dasarnya, terkait dengan macetnya kredit perusahaan-perusahaan besar. Sementara itu, UMKM tidak terlalu terpengaruh. Dampak yang lebih besar justru dirasakan pada harga barang-barang yang terkait ekspor-impor.

Sebagai mahasiswa, kami merasa terpanggil untuk bersikap. Ini tidak terlepas dari akumulasi permasalahan, termasuk soal kualitas kepemimpinan. Kala itu, Pak Harto memiliki banyak kroni dan anak-anaknya yang turut mengendalikan ekonomi secara terpusat. Saya, sebagai mahasiswa tahun terakhir, merasa perlu adanya regenerasi kepemimpinan nasional. Namun, mahasiswa sendiri memiliki berbagai pandangan dan pendekatan terhadap reformasi. Misalnya, mahasiswa dari UI, ITB, UGM, hingga daerah-daerah lainnya memiliki agenda dan caranya masing-masing.

Saya terlibat dalam demonstrasi besar di Gedung DPR-MPR, meskipun pada peristiwa 12 Mei saya masih berada di Gatot Subroto. Saat itu, suasana sangat panas. Saya melihat perlunya perubahan, terutama demi mendapatkan kembali kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Sebab, tanpa perubahan, ekonomi kita tidak akan membaik. Memang benar bahwa di masa itu ada kemajuan pembangunan, tetapi itu saja tidak cukup. Banyak orang merasa muak dengan kroniisme dan dominasi bisnis keluarga Pak Harto. Gedung DPR-MPR dipenuhi mahasiswa dari berbagai daerah. Mereka berkumpul mendengarkan orasi dari tokoh-tokoh seperti Pak Amin Rais dan Pak Buyung Nasution. Orasi-orasi itu bertujuan menekan DPR-MPR untuk memberhentikan Pak Harto. Namun, ironisnya, Harmoko sebagai Ketua MPR yang setahun sebelumnya mendukung Pak Harto, justru menyampaikan bahwa masyarakat menginginkan pergantian kepemimpinan.

Mengapa saya terlibat? Sebagai mahasiswa, saya terpengaruh oleh suasana di kampus yang sering mengadakan seminar menjelang reformasi. Seminar-seminar itu mengundang tokoh-tokoh politik dan ahli dari berbagai bidang, termasuk peneliti LIPI. Mereka memberikan pandangan akademis tentang situasi terakhir, baik dari sisi ekonomi maupun politik. Pandangan-pandangan ini tidak secara langsung mengajak mahasiswa untuk turun ke jalan, tetapi cukup membangkitkan kesadaran kami tentang perlunya pergantian kepemimpinan.

Gambar 4. Simposium Kepedulian UI Terhadap Masa Depan Indonesia di Pusat Studi Jepang UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998)
Gambar 4. Simposium Kepedulian UI Terhadap Masa Depan Indonesia di Pusat Studi Jepang UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 30 Maret-1 April 1998)

Menariknya, saat itu saya juga bekerja sebagai reporter di TPI, yang justru bertugas mengumpulkan data untuk sebuah buku tentang kepemimpinan Pak Harto. Ini situasi yang ironis bagi saya. Sementara saya ikut terlibat dalam gelombang reformasi, saya justru mendapat data positif tentang Pak Harto. Tugas ini mengharuskan saya menemui berbagai narasumber, seperti menteri-menteri dan tokoh-tokoh agama, termasuk Ketua MUI waktu itu, Pak Hasan Basri. Sebagian besar narasumber memberikan pandangan yang positif tentang Pak Harto. Jadi, bisa dibilang data yang saya kumpulkan untuk buku itu sebagian besar berisi pujian terhadap kepemimpinan beliau.

Teman-teman mahasiswa hari ini tidak bisa membayangkan betapa ramainya suasana di Gedung DPR-MPR saat itu. Semua berkumpul dengan agenda masing-masing, tetapi memiliki satu tujuan utama: perubahan. Saya membawa jaket kuning kemana-mana, meskipun di sisi lain saya masih harus menyelesaikan tugas sebagai reporter. Akhirnya, situasi di gedung DPR-MPR menjadi salah satu momen paling bersejarah dalam hidup saya, di mana tuntutan reformasi menggema begitu kuat di tengah perlawanan terhadap status quo.

Pada akhirnya, "mengapa" dalam pertanyaan kita mengenai latar belakang reformasi 1998 dari tiap individu memiliki jawaban yang berbeda-beda sekaligus sama. Letak perbedaan besar terdapat pada ekspektasi masing-masing terhadap reformasi itu sendiri. Saat itu, yang menyatukan pikiran dan prioritas mahasiswa dan masyarakat sipil adalah satu: menggulingkan rezim dan mengoyak keresahan yang memuncak. Bagaimana, dan hasilnya, belum jadi pertimbangan masak-masak seluruh pihak.

Jejak Perlawanan 1998: Bagaimana

Gerakan massa pada tahun tersebut adalah sebuah prestasi besar bangsa. Bagaimana tidak? Benar seperti ujar Mas Yaswin, bahwa Orde Baru telah mencekal Indonesia selama paling tidak separuh rata-rata hidup seseorang. Kita bisa membayangkan seberkuasa apa rezim otoriter tersebut - dan tentu mencurigakan apabila "sebatas" gerakan massa saja dapat menggulingkannya. Tentu ada yang bermain di belakangnya, tapi mari kita geser hipotesis tersebut. Yang dapat kami ulas dan peroleh dari narasumber kami adalah bagaimana dan seperti apa pergerakan mahasiswa saat itu diorganisir hingga dapat membentuk sebuah gerakan nasional yang masif dan raksasa.

Padahal, teknologi komunikasi dan informasi belum secanggih abad ke-21. Kita memiliki "kliktivisme" hari ini, dimana kampanye informasi dan keresahan politik dapat merebak cepat dan diakses semua orang hanya dengan satu klik di media sosial - seperti halnya peristiwa "Peringatan Darurat" di tahun 2024 ini. Namun, anehnya, pergerakan mahasiswa dan masyarakat sipil hari ini masih tertinggal jauh dan tertatih-tatih dibandingkan gerakan massa puluhan tahun lalu. Bahkan belum berhasil menyentuh skala di tahun 1966. Mungkinkah gerakan sipil hari ini yang buntung, ataukah karena zaman ini tidak ada oposisi yang cukup kuat pula di panggung politik yang lebih tinggi? Bagaimanapun, berdasarkan pengalaman pribadi kami, banyak yang perlu dipertanyakan saat mengikuti sebuah demo hari ini. Kami cenderung teronggok di satu titik bersama ratusan hingga ribuan massa, berdesak-desakan, dan berujung pergi meninggalkan sampah. Tidak terdapat linearisasi antara ide dan isu yang diangkat dengan kondisi serta manajemen lapangan maupun pengelolaan massa selama demonstrasi. Hasilnya? Tidak ada. Atau mungkin ada, tapi entahlah.

Menjawab pertanyaan tersebut, narasumber kami, Pak Hera, hanya mampu memberikan gambaran mengenai sudut pandang gamblangnya berdasarkan pengalaman pribadi selama mengikuti pergerakan hari itu.

Pada tahun-tahun itu, demonstrasi mahasiswa biasanya diorganisir secara terdesentralisasi oleh elemen-elemen tertentu di daerah masing-masing, dengan organisasi masing-masing. Komunikasi dilakukan melalui berbagai cara sederhana seperti telepon, obrolan antar kos-kosan, penyebaran informasi dari mulut ke mulut, pengumuman di tempat umum, hingga pemasangan poster-poster. Sebelum aksi berlangsung, biasanya diadakan briefing terlebih dahulu.

Saya sendiri sempat mengikuti demonstrasi sebanyak dua hingga tiga kali, terutama yang diselenggarakan oleh Senat Mahasiswa IPB dan KAMMI. Perlu diketahui, KAMMI sendiri pertama kali dibentuk menjelang tahun 1998, dengan Fahri Hamzah sebagai ketua pertama untuk seluruh Indonesia. Jadi dengan organisasi yang sudah punya struktur, jaringan, dan format gerakan sendiri, demonstrasi itu bisa lebih terorganisir.

Demonstrasi di Bogor biasanya dilakukan di lokasi strategis seperti Lapangan Sempur agar dekat dengan Istana Bogor, atau di Tugu Kujang dan Baranangsiang. Pada masa itu, mendengarkan orasi merupakan pengalaman yang menarik dan istimewa. Berbeda dengan sekarang, orang-orang yang berorasi dianggap luar biasa karena orasi publik belum terlalu sering dilakukan. Tentunya akibat sebelumnya ada pembatasan ruang ekspresi publik. Sehingga, orang-orang jauh lebih tertarik mendengarkan tokoh-tokoh pembicara tersebut dibanding zaman sekarang.

Selanjutnya, puncak aksi demonstrasi pada bulan Mei 1998 juga menjadi momentum. Kami, mahasiswa, bermalam-malam di gedung DPR. Dukungan dari masyarakat luar biasa besar. Makanan dan minuman terus berdatangan, bahkan kami bisa memilih makanan terbaik. Mahasiswa benar-benar menjadi tumpuan harapan masyarakat. Saat itu, masyarakat yang menyaksikan sering bertanya, "Mau makan apa, Dek?" Kami benar-benar merasa didukung penuh, bahkan kenyang tanpa kekurangan.

Pada malam 21 Mei, jumlah mahasiswa yang berada di DPR belum sebanyak setelah Soeharto resmi mengundurkan diri. Sore sebelum tanggal 21, mahasiswa sempat dievakuasi dari gedung DPR karena adanya isu pertempuran antara dua kubu TNI, yaitu Prabowo dan Wiranto. Demi keselamatan, Rama Pratama memberikan arahan agar kami mengamankan diri. Malam itu, saya berlindung di rumah seorang teman di Jombongan, yang kebetulan dekat dengan kediaman Habib Rizieq. Keesokan paginya, saya kembali ke DPR.

Gambar 5. Mahasiswa membawa 'keranda jenazah' Suharto saat menduduki Gedung MPR/DPR (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 21 Mei 1998)
Gambar 5. Mahasiswa membawa 'keranda jenazah' Suharto saat menduduki Gedung MPR/DPR (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 21 Mei 1998)

Setelah Soeharto lengser, gedung DPR penuh sesak oleh mahasiswa yang datang dari berbagai daerah. Perlu dicatat, aksi-aksi besar pada tahun 1998 banyak melibatkan angkatan mahasiswa 1993-1995. Angkatan 1996-1997 masih terlalu baru untuk terlibat secara penuh. Selama tiga hari penuh, kami mendengarkan orasi dari tokoh-tokoh besar seperti Amien Rais dan Rizal Ramli. Malam sebelum tanggal 21, ada konser Slank yang membuat suasana semakin hidup. Setelah mahasiswa membubarkan diri, saya pun ikut pulang, tetapi paginya kembali untuk bergabung dalam perayaan. Kami mendirikan panggung kecil untuk merayakan momen bersejarah tersebut.

Yang menarik, pengamanan selama pengepungan DPR itu dilakukan oleh marinir TNI Angkatan Laut. Mereka mendapat simpati besar dari kami karena tidak berperilaku konfrontatif. Mereka hanya menjaga situasi tetap aman, bukan untuk menghadapi mahasiswa. Hal ini sebenarnya menciptakan suasana yang lebih damai selama pengepungan, dibandingkan bentrokan di waktu-waktu sebelumnya.

Gambar 6. Pasukan ABRI berjaga di daerah Gambir (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 20 Mei 1998)
Gambar 6. Pasukan ABRI berjaga di daerah Gambir (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 20 Mei 1998)

Setidaknya, berdasarkan narasi tersebut, kita mendapat gambaran akan situasi aktual pada masa itu. Meskipun terdapat beberapa kemiripan dengan demonstrasi yang dilakukan mahasiswa saat ini, terdapat kesenjangan signifikan dalam konteks zaman dan upaya perjuangan gerakan. Menariknya, hambatan-hambatan eksternal yang dihadapi gerakan reformasi justru berperan sebagai katalis dan bahan bakar yang memperkuat semangat perjuangan masyarakat sipil. Gerakan pada masa itu diwarnai dinamika yang lebih radikal dan intens, sebagaimana digambarkan oleh narasumber kami, Pak Farid, dalam wawancara yang dilakukan pada Kamis, 5 Desember 2024. Beliau adalah seorang mahasiswa Ilmu Sejarah yang kerap berada di barisan terdepan dalam demonstrasi mahasiswa UI, biasa menjadi Koordinator Lapangan yang melakukan orasi, dan secara langsung menyaksikan berbagai bentrokan yang terjadi. Ia pernah hadir di Gedung DPR, sebagai perwakilan dari keluarga KB UI bersama tiga orang lainnya: Rama Pratama, David Hepp, dan seorang lagi. Dari ilustrasinya, gerakan pada masa itu tidak semata-mata bersih dari dinamika-dinamika yang saling bergesekan.

Kerusuhan Mei 1998, seperti yang saya saksikan dan alami, terjadi setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti. Setelah mereka dimakamkan, situasi mulai memanas, dan kerusuhan pecah di berbagai wilayah. Awalnya, di Jalan Daan Mogot, lalu menyebar ke tempat-tempat lain. Saya melihat sendiri bahwa pembakaran dan penjarahan yang terjadi bukanlah sesuatu yang spontan. Berdasarkan literasi dan investigasi jurnalistik yang saya baca, semuanya tampak seperti direncanakan. Ada kelompok-kelompok tertentu yang sengaja menghasut masyarakat untuk membuat kekacauan, bahkan konon membayar orang-orang untuk memicu kerusuhan. Di Jakarta Selatan, tempat saya tinggal, saya sempat menyaksikan pembakaran supermarket seperti Ramayana dan Robinson di Pasar Minggu, serta Goro Kalibata. Saat itu, saya kebetulan sedang dalam perjalanan pulang dari pertemuan mahasiswa di Salemba. Untungnya, saya naik kereta sehingga tidak terjebak dalam kemacetan atau terjebak di tengah kerusuhan.

Gambar 7. Massa perusuh membakar mobil Jalan Matraman (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)
Gambar 7. Massa perusuh membakar mobil Jalan Matraman (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)

Bagi saya, faktor utama yang memicu kerusuhan ini adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap kondisi ekonomi di bawah Orde Baru. Krisis ekonomi yang melanda semakin memperburuk keadaan, membuat orang-orang tertekan dan mudah tersulut oleh hasutan. Ketika peluang untuk menjarah muncul, banyak orang yang bergerak spontan karena tekanan hidup dan kemiskinan. Namun, saya menolak anggapan bahwa kerusuhan ini adalah bagian dari demonstrasi mahasiswa. Kerusuhan ini sengaja diciptakan oleh pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan situasi untuk kepentingan mereka sendiri. Demonstrasi mahasiswa pada dasarnya mungkin berakhir dengan bentrokan, tetapi tidak sampai menciptakan chaos besar seperti ini.

Gambar 8. Penjarahan dan kerusuhan (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)
Gambar 8. Penjarahan dan kerusuhan (Sumber: Dr. Rully Kesuma, 14 Mei 1998)

Saya juga menyaksikan bagaimana kerusuhan ini merugikan banyak pihak, terutama etnis Tionghoa, yang menjadi sasaran amuk massa. Fenomena ini, menurut saya, bukanlah hal baru. Dalam sejarah Indonesia, bahkan sejak zaman VOC, etnis Tionghoa kerap dijadikan target dengan berbagai alasan, termasuk persaingan ekonomi. Namun, tidak semua masyarakat ikut-ikutan. Di daerah saya, ada warga yang justru melindungi toko milik etnis Tionghoa dari upaya pembakaran. Sayangnya, banyak juga yang terhasut dan ikut menjarah atau melakukan kekerasan. Saya merasa prihatin karena isu kerusuhan etnis ini akhirnya menutupi tujuan utama gerakan Reformasi, yaitu menuntut lengsernya Soeharto. Kerusuhan ini seolah-olah dirancang agar perhatian masyarakat teralihkan dari isu utama. Di tengah kekacauan, pelaku-pelaku kriminal memanfaatkan situasi ini untuk melakukan penjarahan, kekerasan, hingga pelecehan seksual. Kasus-kasus seperti ini terutama terjadi di wilayah Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara.

Dampaknya tentu dirasakan oleh semua lapisan masyarakat, baik etnis Tionghoa maupun non-Tionghoa. Banyak warga yang menjadi korban amuk massa, sementara lumpuhnya ekonomi dan kenaikan harga barang semakin memperparah situasi. Saya juga menyaksikan bagaimana aparat keamanan saat itu tidak dapat berbuat banyak. Polisi bahkan takut mengenakan seragam mereka karena sering menjadi sasaran amukan massa. Mobil-mobil polisi yang lewat dilempari atau dibakar. Situasi benar-benar di luar kendali.

Saya pribadi merasa bahwa yang paling dirugikan dalam peristiwa ini adalah seluruh masyarakat Indonesia. Bukan hanya satu kelompok atau etnis tertentu. Kita semua dirugikan oleh pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun, dengan pembangunan yang tidak merata, korupsi, kolusi, nepotisme, dan utang luar negeri yang terus menumpuk. Kerusuhan Mei 1998 adalah akumulasi dari kemarahan yang telah lama terpendam, namun sayangnya dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan mereka sendiri. Bagi saya, peristiwa ini adalah cerminan dari krisis sosial, ekonomi, dan politik yang menghancurkan harapan masyarakat Indonesia di akhir masa Orde Baru.

Menggugat Negara Kemarin, Hari Ini, dan Esok

Akan ada kevakuuman besar pasca ini. Bayangkan sebuah tatanan yang mendominasi 32 tahun runtuh, dan tidak ada persiapan apa-apa untuk berjalan ke depan (Mas Yaswin).

"Reformasi" 1998, jika masih bisa disebut sebagai sebuah reformasi, menghasilkan banyak sudut pandang. Beberapa girang karena kepentingannya tercapai. Beberapa lega karena momentum reformasi berhasil mengantarkan mereka pada posisi dan prestasi tertentu. Beberapa lainnya menelan pil pahit kekecewaan. Dan beberapa semata mengenang. Sebagaimana yang dijelaskan Suparno (2012), bahwa gerakan mahasiswa sering dipandang sebagai gerakan moral dibandingkan gerakan politik praktis. Perguruan tinggi memiliki tiga fungsi utama: memastikan lulusan memiliki kualifikasi minimal di bidangnya, mentransmisikan serta mengembangkan tradisi kultural, dan membentuk kesadaran politik mahasiswa. Dalam konteks tersebut, mahasiswa melihat diri mereka sebagai calon elite bangsa sekaligus agen perubahan sosial. Mereka kerap terlibat dalam aktivitas politik seperti demonstrasi, deklarasi, atau mendatangi simbol-simbol kekuasaan. Namun, peran ini sering terbatas karena perubahan sebenarnya cenderung didorong oleh elite politik yang memiliki sumber daya lebih besar. Setelah aksi selesai, mahasiswa sering dipaksa mundur, baik dalam situasi kemenangan semu maupun kekalahan. Meskipun aksi mereka memberikan tekanan pada pemerintah yang dinilai otoriter, peran mahasiswa umumnya berhenti di titik tersebut.

Reformasi 1998 merupakan peristiwa yang dipandang berbeda oleh setiap orang, karena belum ada konsep reformasi yang benar-benar disepakati bersama. Tidak ada rencana yang matang maupun tujuan akhir yang jelas mengenai reformasi itu sendiri. Apa sebenarnya yang ingin dicapai? Seperti apa Indonesia yang kita harapkan? Dan sampai kapan upaya untuk mewujudkannya akan terus berjalan?

Dua narasumber kami, Mas Agus dan Mas Yaswin sama-sama setuju bahwa meskipun Reformasi 1998 tidak membawa perubahan signifikan, kita tidak bisa menutup mata bahwa ada sesuatu yang berubah. Kebebasan berbicara mulai terbuka, pemilu lebih kompetitif dengan partai-partai yang lebih beragam, meski tidak sempurna. Namun, Mas Agus sendiri menekankan bahwa demokratisasi dan reformasi yang dikehendaki berusaha dijalankan, bukan berarti kondisi di bidang lain secara otomatis menjadi lebih baik. Ada proses yang harus dilalui, dan perubahannya tidak bisa terjadi secara instan seperti membalikkan telapak tangan. Dulu, banyak orang, termasuk mahasiswa, berpikir bahwa perubahan harus dimulai dari politik terlebih dahulu. Harapannya, jika kondisi politik di tingkat atas sudah benar, maka perubahan ekonomi dan struktur di tingkat bawah akan mengikuti dengan sendirinya. Namun, kenyataannya tidak semudah itu.

Mas Agus menyoroti bahwa setelah terjadi pergantian kepemimpinan nasional, ada ekspektasi besar bahwa pemerintahan yang baru, yang dipilih secara demokratis, akan membawa perbaikan di semua lini. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Setelah reformasi, muncul banyak kelompok yang dulunya memusuhi Orde Baru tetapi kemudian berebut posisi dan kekuasaan. Hal ini justru menimbulkan masalah baru. Selaras dengan Mas Yaswin yang berpandangan bahwa, hanya kekuasaan formal Soeharto yang jatuh pada 1998. Tetap ada yang laten - struktur kekuasaan lama yang masih bercokol. Uang tetap berperan besar di parlemen, dan wajah-wajah lama hanya diganti oleh orang-orang baru yang membawa pola pikir sama. Jadi, apa yang disebut Reformasi 1998 itu sebenarnya tidak meruntuhkan struktur kekuasaan sepenuhnya.

Kita bisa melihat buktinya: setelah Soeharto turun, partai-partai politik tetap berjalan. Pemilu diadakan, tetapi perilaku politisi tetap sama. Reformasi memang membawa perubahan, tapi perubahan itu hanya sedikit. Yang berubah adalah ruang kebebasan berbicara - orang bisa lebih bersuara - tetapi struktur kekuasaannya tetap sama. Hegemoni Orde Baru hanya bergeser bentuknya. Dulu kita mengenal monarki - kekuasaan yang terpusat di satu orang. Tapi setelah Reformasi, monarki itu berubah menjadi "oli" atau oligarki. Para baron baru muncul dan menguasai semua lini, dari pusat hingga pulau-pulau terjauh. Kekayaan negara ini sudah "dikapling-kapling" oleh mereka. Struktur kekuasaan yang lama tetap hidup. Berbeda dengan Jerman yang memperlakukan Nazi setelah Perang Dunia II - atau bahkan Soeharto sendiri dalam memanfaatkan PKI sendiri sebagai legitimasi rezimnya: partainya dibubarkan. Sementara di Indonesia, mesin politik lama tetap berjalan. Itulah yang membuat perubahan menjadi sangat kecil.

Mas Yaswin berpendapat jika ingin benar-benar merombak sistem yang dituntut selama reformasi, harus ada pemotongan satu generasi. Teori "potong generasi" tersebut menurutnya penting, karena apabila generasi itu tidak di-"cut off", maka yang kita dapatkan hanya pergantian sementara saja. Namun, di sisi lain, Pak Farid justru mengungkapkan penyesalan mendalamnya terhadap rekan-rekan mahasiswanya dulu pada tahun 1998 yang justru "mengkhianati" perjuangan reformasi hari ini. Dalam politik, pertemanan abadi adalah dongeng yang menyisakan pragmatisme. Jika bisa mengulang waktu dan tahu masa depan Indonesia sekarang, ia dulu akan lebih memilih untuk tidak turun demonstrasi ke jalan. Ia tidak menyesal menurunkan Soeharto, namun menyesal bahwa reformasi berujung seperti hari ini.

Gambar 9. Rapat Akbar di Parkiran Balairung UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 12 Maret 1998)
Gambar 9. Rapat Akbar di Parkiran Balairung UI (Sumber: Arsip Universitas Indonesia, 12 Maret 1998)

Namun, sebagai mahasiswa sejarah, Mas Yaswin meminta kami untuk melihat pola sejarah bukan sebatas belajar tentang masa lalu, tetapi juga untuk memahami bagaimana masa depan terbentuk. Sejarah bergerak dalam rangkaian yang berkesinambungan. Peristiwa Reformasi 1998, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari tahun 1966. Lalu, kejadian 1966 pun berkaitan dengan masa kemerdekaan 1945, dan kemerdekaan 1945 pun memiliki akarnya di Sumpah Pemuda 1928. Semua itu saling berhubungan dengan pendekatan yang menarik: dari masa kontemporer lalu mundur ke belakang. Pendekatan ini dilakukan sejarawan seperti Anthony J. Reid. Alih-alih memulai dari sejarah prasejarah atau masa-masa awal Indonesia - Megalitikum, masa Hindu-Buddha, masa Islam - kita bisa memulai dari masa kontemporer terlebih dahulu, seperti 1998, lalu mundur ke 1966, 1945, hingga 1928. Menurut Mas Yaswin, pendekatan ini memberi gambaran sejarah yang lebih jelas dan lebih runtut.

Tak dapat dipungkiri bahwa banyak yang berubah dan bergeser hari ini. Gerakan mahasiswa sekarang tidak dapat dianalisis dan didorong serupa dahulu, namun setidaknya perlu ruang-ruang dialog untuk melakukan refleksi. Refleksi tersebut nantinya harus dimanfaatkan untuk memetakan arah gerak yang lebih relevan dengan perkembangan zaman, sekaligus menambal kekosongan-kekosongan perjuangan yang diusung mahasiswa dan masyarakat sipil dulu. Kami susah payah menarik kesimpulan, bahwa sejarah berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya. Ia adalah ilmu tentang manusia dan waktu.

Kita, sebagai komponen pelaku sejarah, perlu memahami bahwa waktu masih berjalan. Waktu menunggu untuk dimanfaatkan oleh rakyat sendiri karena pemerintah masih terus mengulangi kesalahan-kesalahan penguasa. Sejarah bukanlah suatu entitas statis yang kaku. Ia dinamis dan menunggu untuk ditulis.

Referensi

Aliansi Jurnalis Independen (AJI). (2018). Dokumentasi peristiwa reformasi 1998 oleh Dr. Rully Kesuma. Aliansi Jurnalis Independen.

Prasojo, E. (2003). Agenda politik dan pemerintahan di Indonesia: Desentralisasi politik, reformasi birokrasi, dan good governance. Jurnal Bisnis dan Birokrasi, 11(1).

Samekto, F. X. A. (2020). Kebangsaan pasca reformasi dalam pusaran kapitalisme dan radikalisme. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia.

Sedarmayanti. (2009). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. CV Mandar Maju.

Sirot, I. & Atmaja, H. T. (2020). Reformasi tahun 1998: Peranan dan dampaknya bagi Kota Solo. Journal of Indonesian History, 9(2). https://doi.org/10.15294/jih.v9i2.45435

Suparno, B. A. (2012). Reformasi dan jatuhnya Soeharto. Kompas Media Nusantara.

Universitas Indonesia, & Maulana, I. (2023, December 12). UI dalam Reformasi 1998. Arsip Universitas Indonesia. https://arsip.ui.ac.id/blog/ui-dalam-reformasi-1998 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun