Dilansir dari Natuna Today, Rabu (20/3/2024), wakil bupati Natuna, Rodhial Huda, menyatakan bahwa ada perbedaan cara melihat Natuna antara pemerintah Indonesia dengan China. China melihat Natuna dari sudut pandang Laut China Selatan sehingga mereka bahkan memaksakan diri menarik ring pangkalannya untuk mencakup Natuna dari jarak ribuan kilometer. Sementara pemerintah pusat senantiasa melihat Natuna dari sudut pandang Jakarta, sehingga pulau ini selalu dianggap sebagai pulau terluar selama 70 tahun lebih, bukan pulau terdepan. Tentunya, negara tidak ingin wilayah ini luput seperti halnya Pulau Sipadan dan Ligitan yang menjadi milik Malaysia berdasarkan keputusan Mahkamah Internasional pada tahun 2002. Ketika kedua pulau tersebut tidak diasuh Indonesia secara optimal, Malaysia justru dianggap mampu mengembangkan keduanya dengan baik.
Memajukan Kepulauan Natuna dan Laut Natuna Utara
Walaupun Natuna selalu dinyatakan sebagai kawasan strategis, tetapi hal tersebut rupanya belum selaras dengan pembangunan dan kesejahteraan wilayah setempat. Sampai saat ini, kabupaten beribukota Ranai ini masih terbatas baik secara pembangunan infrastruktur, khususnya konektivitas jalan, hingga jaringan telekomunikasinya. Padahal, membangun Natuna, baik dalam aspek ideologi, politik, sosial, budaya, ketahanan, dan ekonomi, merupakan salah satu upaya pertahanan dan kedaulatan di Laut China Selatan. Indonesia sepatutnya membangun Natuna seperti Amerika dalam membangun Hawai.
Selain pemerataan pembangunan bagi masyarakat di Natuna, upaya yang dapat dilakukan pemerintah dari sudut pertahanan adalah mempercepat pembangunan pangkalan militer di wilayah tersebut untuk mempertegas kedudukan dan kedaulatan Indonesia. Selanjutnya, perlu adanya peningkatan status pemerintah dan pemekaran Natuna menjadi provinsi agar koordinasi dan distribusi pembangunan juga lebih cepat, di tengah terbatasnya kewenangan kabupaten dalam pengelolaan sumber daya alam di bidang kelautan berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Langkah berikutnya yang perlu diselesaikan secara konkret adalah pengakuan internasional terhadap nama "Laut Natuna Utara". Melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan pada bulan Juli 2017 dan tindakan Badan Informasi Geospasial (BIG), pemerintah Indonesia memang telah mengganti nama bagian dari Laut Cina Selatan menjadi "Laut Natuna Utara" dalam lingkup nasional. Namun, Indonesia perlu secara resmi mempercepat pengajuan perubahan nama tersebut kepada International Hydrographic Organization (IHO), yang bertanggung jawab atas standar penamaan laut dan fitur geografi maritim, dan bekerja sama dengan badan-badan seperti Divisi Hukum Laut (DOALOS) dari Departemen Urusan Kelautan dan Hukum Laut PBB, agar nama "Laut Natuna Utara" bukan hanya sekedar tercantum dalam peta-peta Indonesia. Tidak lupa, pemerintah harus terus berupaya melakukan diplomasi intensif bersama negara-negara Asia Tenggara dengan perangkat ASEAN, yang hampir seluruhnya memiliki kepentingan di wilayah Laut Cina Selatan. Pada akhirnya, dukungan mitra internasional tetap dibutuhkan untuk memperkuat legitimasi dan posisi Indonesia di tengah ancaman sengketa Laut Natuna Utara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H