Pesisir barat Indonesia kembali memanas. Klaim pemerintah seberang mengenai nine-dash line di wilayah Laut China Selatan yang telah menjadi sengketa sejak tahun 1947 bukannya semakin mereda, melainkan meluas.
Pertengahan 2023 lalu, tepatnya pada 28 Agustus, Kementerian Sumber Daya Alam China resmi merilis peta standar China edisi 2023. Sembilan garis putus-putus kini bertambah menjadi sepuluh garis (ten-dash line) dengan masuknya kawasan laut bagian timur Taiwan dan perluasan klaim atas wilayah laut yang berbatasan dengan Filipina. Dengan kata lain, China telah mengklaim 90 persen dari Laut China Selatan sebagai hak maritim historisnya.[1]
Indonesia memang tidak memiliki klaim wilayah di Laut Cina Selatan dan bisa saja terhindar dari konflik antara China dengan negara ASEAN lainnya (Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam) yang klaim wilayah teritorial lautnya saling tumpang tindih. Namun, konflik laut mulai "menyeret" Indonesia sejak tahun 2010, karena pada setiap versi peta yang dibuat China, salah satu dari garis putus-putus tersebut selalu saling beririsan dengan wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Natuna Utara.
Klaim sepihak China atas perairan Natuna mengantarkan Indonesia pada situasi waspada. Sepanjang 14 tahun belakangan, tercatat sejumlah kapal-kapal nelayan China berlayar memasuki wilayah ZEE Indonesia dengan berani dan melakukan sejumlah kegiatan illegal, unreported, and unregulated fishing (IUU fishing). Akibat kapal-kapal nelayan yang terlibat senantiasa didampingi oleh coast guard China, maka bukan hanya sekali dua kali terjadi bentrok antara kapal patroli Indonesia dengan pihak seberang. Misalnya, pada Juni 2010, ketika kapal nelayan China yang diduga telah mencuri ikan di dekat pulau Natuna ditangkap, kapal coast guard China bernama Yuzheng 311 turun tangan memaksa kapal patroli Indonesia untuk melepaskan kapal nelayan yang ditahan tersebut dengan mengarahkan senapan mesin kaliber besar. Kejadian serupa terjadi pada Maret 2013, 105 kilometer dari timur laut Pulau Natuna. Saat itu, kapal Hiu Macan 001 dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia dipaksa oleh Yuzheng 310 yang dilengkapi dengan persenjataan lengkap untuk membebaskan kapal-kapal nelayan China yang ditahan akibat illegal fishing. Hal serupa lagi-lagi terjadi pada bulan yang sama di tahun 2016, ketika kapal coast guard China menabrak kapal Indonesia yang sedang menarik kapal nelayan China.[2]
Mengapa Natuna?
Sudah bukan rahasia negara bahwa Kepulauan Natuna dan lautnya menyimpan kekayaan melimpah.
Menyandang gelar sebagai wilayah dengan cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Blok East Natuna memiliki kandungan potensi minyak mencapai 36 juta barel minyak dan volume gas alam di tempat (Initial Gas in Place/IGIP) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf), serta cadangan gas alam sebesar 46 tcf. Namun, yang menjadi dalih China untuk menggapai Laut Natuna Utara dan wilayah Laut China Selatan lain ke dalam ten-dash line adalah potensi perikanannya.
Meskipun berjarak 2.000 kilometer jauhnya dari teritorial daratan, pemerintah China menggunakan landasan historis bahwa cakupan wilayah Laut China Selatan yang diklaim termasuk ke dalam traditional fishing ground negaranya sejak zaman Dinasti Zhou Timur dan Han Timur pada abad ke-2 SM. Kedaulatan China berdasar pada okupasi nelayan-nelayan tradisional mereka yang telah berlayar, mengarungi, dan menangkap ikan di wilayah Laut China Selatan sejak berabad-abad lamanya.[3] Sementara Indonesia dan negara ASEAN lainnya, cenderung melawan klaim tersebut dengan landasan yang berpatok pada pasal-pasal UNCLOS 1982.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!