Mohon tunggu...
Shabrina Ws
Shabrina Ws Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Menyukai pagi dan puisi. Novel yang sudah terbit diantaranya: Always Be in Your Heart, Betang, Lesus, Ping, Pelari Cilik, Rahasia Pelangi, Karena Hidup Hanyalah Sebuah Persinggahan, Sauh, dan Kisah dari Padang Rumput.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[MPK] Peristiwa Pagi Gerimis

10 Juni 2011   14:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:39 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bismillahirrahmanirrahim

Peristiwa Pagi Gerimis

Lulu

Jika ada yang bertanya padaku, peristiwa apa yang tidak akan pernah kulupakan dalam hidupku? Maka, dengan hati yang seperti diiris-iris dan air mata yang tak bisa kutahan akan aku jawab.Peristiwa di pagi gerimis.

Sungguh, aku tak pernah melupakan peristiwa pagi gerimis itu. Pagi di saat aku dan ibu mencari makan. Saat aku mencoba bergelayut pada ranting pohon yang lain. Saat ibu baru saja bilang padaku, “Hati-hati, nak!” dan saat aku belum sempat menjawab, “ya,” karena bunyi DOR! Telah mendahuluiku, membuat aku menahan nafas sejenak, membuat tubuhku gemetar dan tanganku mencengkeram kuat ranting pohon.

Hanya suara ‘dor’, dan ibu menjerit dengan bersimbah darah bahkan isi perut yang terburai. Lalu ibu terjatuh ke tanah, bergerak sebentar kemudian diam. “Ibuuuu…” tiba-tiba ketakutanku hilang. Aku berlari memeluk tubuh ibu yang berlumur darah. “Ibu, bangun! Ibu lihat aku. Ayo kita lari bu!” “Hoiii! Pengecut, lu! Beraninya cuma sama binatang doang!” Aku masih memeluk ibu saat seorang pembawa senapan yang mendakati kami tiba-tiba berbalik dan lari ketika mendengar seorang pemuda berteriak.

“Jangan lari pengecut!” pemuda itu masih berteriak. Tapi lelaki pembawa senapan itu telah lenyap di kejauhan.

“Monyet yang malang…” ucap pemuda itu. Kemudian dia berjongkok di dekatku dan memegang tubuh ibu.

“Mati…” begitulah ucapnya lirih. Kemudian dia mengelus kepalaku. Saat itulah airmataku tak bisa kutahan lagi. Dan aku hanya pasrah saat pemuda itu mengubur ibuku lalu membawaku pergi. Pulang ke rumahnya. Dan saat itu aku tahu kehidupanku mulai berbeda.

Indra

“Mas, kok...bawa monyet?” Aku sudah menduga kalau istriku pasti akan terkejut.

“Iya. Ini anak monyet yang telah kutemukan di hutan tadi siang, kasihan, ibunya tewas ditembak pemburu. Dan aku pikir, lebih baik dia kita pelihara. Sekalian untuk menemani si kecil. Kau setuju?”

“Oh, anak monyet yang malang. Tentu saja aku setuju. Lucu juga dia. Ismail anak kita pasti senang sekali.” Kata istriku dengan mata berbinar.

“Syukurlah kalau kamu setuju. Bagaimanapun juga aku tak bisa membiarkan dia menjadi mangsa para pemburu. Makin meraja lela saja perdagangan binatang. Aku dengar-dengar monyet-monyet sudah berkurang jumlahnya akibat pemburuan liar. Kebanyakan dijual dan juga disewakan untuk topeng monyet. Sementara kita tampung sampai dia bisa dilepas kembali ke habitatnya.” Ucapku sambil meletakkan monyet itu di depan kami. Aku mengelus kepalanya dengan lembut.

“Dia pasti lapar, Mas. Sini biar kusuapi. Tadi aku beli pisang.” Kata istriku sambil mengupas pisang, mencuilnya dengan tangan lalu mendekatkan ke mulut monyet kecil itu.

“Oh ya, mas dia sebaiknya punya nama.”

“Kau punya usul?” tanyaku sambil melihat monyet yang mulai mengunyah pisang pelan-pelan.

“Gimana kalau kita panggil Lulu. Singkatan dari lucu dan lugu.”

“Itu nama yang keren.”

Dan begitulah mulai hari itu, keluarga kami diramaikan dengan anggota baru. Lulu. Tentu saja yang paling senang adalah Ismail anak kami. Meski awalnya dia takut namun lama-lama Lulu dan Ismail seperti dua sahabat dekat.

Lulu adalah monyet yang pintar dan lucu. Dia sering membantuku memetik kelapa dan sesekali ikut berdagang. Beberapa kali ada yang menawar ingin membeli dengan harga yang lumayan. Tapi tentu saja aku tak akan menjualnya. Lulu tetap menjadi bagian dari keluarga kami dan kami terus menjaganya hingga dia bisa mandiri.

Seminggu sekali aku membawanya ke kebun. Melatihnya sebisaku. Entahlah apa yang aku lakukan benar atau salah, tapi itulah yang bisa kulakukan untuk mempersiapkan masa depannya.

***

Rasanya baru kemarin peristiwa pagi gerimis saat aku menemukan Lulu. Kini, hari yang kurencanakan itu telah tiba. Aku tak menyangka akan seberat ini. kupikir semua akan dengan mudah. Aku melihat mata istriku berkaca-kaca sambil membujuk Ismail yang sesekali berteriak “Nggak mauuuuu. Nggak boleeeh!”

“Tapi Lulu harus kembali ke hutan, Sayang.” Ucapku istriku.

“Ya, Ismail. Lulu punya rumah yang sebenarnya. Seperti Ismail yang punya rumah di sini. Keluarga Lulu ada di hutan. Dan Lulu pasti akan bahagia jika bertemu keluarganya lagi.” Aku mencoba memberi pengertian.

“Tapi, Ismail sayang Lulu.” Ucap Ismail diantara isaknya sambil memeluk Lulu.

“Kalau Ismail sayang Lulu, berarti Ismail harus ikhlas ya, kalau Lulu kembali ke hutan. Lulu punya rumah sayang, dan dia sudah saatnya pulang.” Kata istriku sambil memeluk ismail dan Lulu.

Maka setelah berbagai bujukan dan kata-kata yang bisa dimengerti Ismail, kami berempat pergi ke hutan.

Pagi gerimis. Ini persis seperti saat aku menemukan Lulu dulu. Jujur, aku pun berat berpisah dengannya. Tapi aku tahu ini yang terbaik buat Lulu.

“Selamat berpisah lulu.” Kata istriku mencium Lulu.

“Jangan lupakan aku ya, Lulu?” kali ini Ismail dan Lulu berpelukan erat.

“Baik-baik di hutan ya? Hati-hati dengan pemburu.” Kataku sambil menggendong Lulu. Lalu aku berjalan agak masuk hutan dan menaruh Lulu pada batang pohon yang tumbang.

Dan pagi gerimis itu, kami meninggalkan hutan dengan mata yang basah.

Lulu

Indra pergi setelah berbicara padaku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku melihat istri Indra memeluk Ismail yang terisak. Mereka melambaikan tangan kepadaku dan aku membalasnya. Saat itu aku tahu, kalau lambaian tangan itu berarti perpisahan.

Matahari masih sembunyi di balik awan. Dan gerimis masih membasahi badanku. Masih kuingat dengan jelas peristiwa gerimis waktu aku kahilangan ibu. Saat itu yang aku tahu, manusia adalah mahkluk paling rakus di bumi ini. Karena selain mereka mengambil hutan-hutan kami, mereka juga sering menangkap teman-teman kami. Tapi Indra dan keluarganya merubah pandanganku. Mereka membuatku merasa nyaman dan merasa punya keluarga yang penuh cinta.

Dan kini di pagi dengan gerimis yang sama, aku hanya bisa memandang Indra, istrinya dan Ismail yang semakin menjauh. Ya, setelah aku kehilang ibu, aku juga kehilang mereka. Tapi aku tahu, atas nama cinta mereka telah mengembalikan aku ke habitatku. Hutan. Dan wajah mereka, senyum mereka, belaian sayang mereka, semua hal tentang mereka akan tetap di hatiku. Selamanya.

***

Gambar dari google

Penulis: Shabrina ws + Choirul Huda (40)

Untuk membaca hasil karya para peserta Malam Prosa Kolaborasi yang lain maka dipersilahkan berkunjung ke sini : Hasil Karya Malam Kolaborasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun