Kehidupan mahasiswa penuh dengan paradoks: semakin sibuk dan "produktif" seseorang, semakin sering mereka mengorbankan tidur. Konsekuensinya terhadap kesehatan mental, fisik, dan akademik seringkali tidak langsung terasa, meskipun tidur dianggap fleksibel dan "bisa dikejar nanti." Konsep ini menunjukkan ketidaktahuan yang luas tentang fakta bahwa tidur adalah kebutuhan biologis dan bukan pilihan. Secara ilmiah, tidur yang cukup sekitar 7 hingga 9 jam per malam untuk mahasiswa pada usia tersebut adalah kebutuhan dasar manusia. Tidur bukan hanya istirahat fisik; itu juga waktu bagi otak untuk memperkuat ingatan, memproses data, dan mempersiapkan diri untuk aktivitas berikutnya. Ironisnya, kita sering mengabaikan keuntungan dari kurang tidur, yang dapat mengurangi daya ingat, konsentrasi, dan kemampuan belajar. Sebagai siswa, kita sering menghadapi tantangan akademik, kewajiban organisasi, dan kehidupan sosial yang ketat. Saat kita berada di tengah-tengah semua aktivitas ini, tidur sering kali menjadi korban pertama yang kita abaikan. Mahasiswa biasanya "lembur" hingga larut malam untuk menyelesaikan tugas atau belajar untuk ujian.Seringkali, lingkungan kampus menyanjung mereka yang menghabiskan banyak waktu untuk menyelesaikan tugas atau belajar untuk ujian, seolah-olah itu menunjukkan komitmen. Apakah, bagaimanapun, itu masuk akal untuk mengorbankan tidur untuk menjadi lebih produktif?
Banyak siswa bangga dengan "kerja keras" mereka, yang seringkali berarti tidur larut malam, di tengah hiruk-pikuk kehidupan kampus. Namun, penelitian menunjukkan bahwa pola hidup seperti ini memiliki efek jangka panjang, seperti peningkatan risiko gangguan kesehatan mental, kelelahan jangka panjang, dan penurunan produktivitas. Tidak hanya jumlah waktu yang dihabiskan untuk bekerja, tetapi juga kualitas hasil yang dihasilkan, yang sangat bergantung pada kesehatan fisik dan mental. Selain itu, kurang tidur memiliki dampak sosial dan individu. Suasana hati yang buruk, mudah tersinggung, dan hubungan interpersonal yang tegang dapat disebabkan oleh kurang tidur. Di kampus, kita melihat pola yang mendorong siklus negatif: siswa yang stres saling memengaruhi, menciptakan lingkungan di mana kelelahan dianggap normal. Bukankah ini sinyal bahwa sistem sedang mengalami masalah? Kita harus mempertanyakan siapa yang benar-benar mendapat manfaat dari pengagungan kesibukan. Mahasiswa sering dipaksa untuk tetap "produktif" karena tuntutan guru, lingkungan sosial, atau bahkan diri mereka sendiri. Namun, siapa yang
 menanggung akibat kesehatan yang buruk, kelelahan, atau penurunan kualitas hidup dalam jangka panjang? Kami, siswa, adalah jawabannya.
Dalam cerita sukses, tidur bukanlah kemewahan; itu adalah bagian penting dari hidup yang sehat. Manajemen yang buruk ditandai dengan mengabaikan waktu tidur.. Solusi bukan hanya manajemen jadwal yang lebih baik; itu juga membawa perubahan fundamental dalam perspektif kita tentang produktivitas, yaitu bahwa produktivitas yang sebenarnya tidak mengurangi kesehatan fisik dan mental. Saatnya bagi siswa untuk bersikap kritis terhadap ekspektasi yang tidak realistis dalam sistem pendidikan yang terus menuntut lebih banyak. Memiliki jumlah tidur yang cukup tidak hanya penting untuk menjaga kesehatan Anda, tetapi juga merupakan cara untuk menentang budaya yang mengagungkan kesibukan dan mengeksploitasi. Dengan memberi otak dan tubuh kita waktu tidur yang baik, kita tidak hanya menjadi orang yang lebih sehat, tetapi juga menjadi aktor dalam menciptakan lingkungan akademik yang lebih manusiawi dan berkelanjutan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H