Jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 diramalkan akan mencapai 8.3 milyar jiwa. Sementara untuk Indonesia saja, akan mencapai 300 juta jiwa berdasarkan data Bappenas tahun 2013. Sekian banyak tubuh yang perlu diberikan nutrisi dan dicukupkan kebutuhan kalorinya, belum lagi jika ingin memenuhi keinginan makan dengan kriteria tertentu.Â
Belum lagi kebutuhan sandang, papan, dan energi yang juga meningkat. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, apakah sumberdaya yang ada sanggup memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut? Apakah setiap orang di Indonesia akan kebagian makan beras di masa yang akan datang?
 Prediksi dan pertanyaan-pertanyaan yang serupa dengan dua pertanyaan di atas mau tidak mau membuat para pemangku kepentingan di seluruh dunia beramai-ramai mencari solusi, bagaimana meningkatkan jumlah sumberdaya, khususnya sumberdaya pertanian untuk memenuhi kebutuhan tersebut.Â
Bagi negara-negara yang kaya, impor bisa menjadi solusi, tetapi bukan pilihan yang memiliki prospek yang baik bagi negara-negara berkembang maupun terbelakang.
Di negara kita, Indonesia, terdapat satu program yaitu program cetak sawah yang digadang-gadang mampu menghasilkan 300.000 ha sawah baru dalam 5 tahun sejak dimulai. Akan tetapi kenyataannya tidak selalu demikian.Â
Pengalaman pribadi penulis mengamati salah satu lokasi program cetak sawah di Desa Beririjarak, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur, NTB, sawah hasil program cetak sawah justru tidak produktif karena lokasinya tidak cocok untuk persawahan. Selain itu, luas lahan yang dapat dicetak sebagai lahan pertanian baru juga semakin terbatas.Â
Sementara itu, pandemi COVID-19 mengisyaratkan bahwa mengubah hutan menjadi penggunaan lain bukan hal yang bijak karena mendekatkan manusia ke virus-virus yang dapat berpindah dari hewan ke manusia atau zoonotik.Â
Kesulitan penambahan lahan juga diikuti dengan perubahan fungsi lahan pertanian, kebanyakan menjadi perumahan untuk mengakomodasi pertambahan jumlah penduduk yang juga membutuhkan ruang tinggal yang semakin besar.
Persoalan lain yang tidak kalah penting selain persoalan lahan tempat tumbuh yaitu produktivitas hasil yang menurun akibat semakin berkurangnya nutrisi tanah, perubahan iklim, serta hama dan penyakit yang makin sulit untuk diberantas. Perubahan iklim adalah salah satu faktor yang diprediksi berpengaruh sangat besar di masa yang akan datang karena dapat memengaruhi banyak faktor lain secara sekaligus.Â
Perubahan iklim dapat mendorong terjadinya pengurangan lahan yang dapat diolah akibat naiknya muka air, perubahan musim tanam dan panen, serta munculnya jenis hama dan penyakit baru. Persoalan-persoalan tersebut tentu tidak dapat dihadapi dengan cara-cara yang biasa, tetapi perlu pendekatan yang luar biasa yang mungkin jarang terdengar bagi masyarakat umum.
Salah satu pendekatan yang dapat digunakan yaitu dengan seleksi dan pemuliaan tanaman. Sejak dulu, manusia sudah menyeleksi bahan makanan yang ada, khususnya komoditas pertanian, menjadi sesuai keinginannya.Â
Hasil-hasil pertanian yang kita lihat dan nikmati saat ini sesungguhnya merupakan hasil seleksi beribu tahun lamanya, beberapa bentuk aslinya masih dapat ditemui saat ini seperti pisang dengan biji yang besar dan banyak.Â
Hasil seleksi oleh manusia bahkan dapat menyebabkan satu jenis tanaman memiliki banyak bentuk, yaitu tanaman Brassica oleraceae yang dapat ditemui sebagai brokoli, kembang kol, kubis, kale, cuciwis, kailan, dan lainnya yang kurang populer di Indonesia.Â
Bukan tidak mungkin tanaman-tanaman pertanian yang ada saat ini dapat diseleksi untuk memenuhi keinginan untuk memiliki produktivitas tinggi dan tahan akan ancaman-ancaman di masa yang akan datang. Â
Akan tetapi, dengan tantangan yang efeknya sangat cepat seperti saat ini, dibutuhkan upaya yang lebih dari sekadar metode seleksi yang dilakukan nenek moyang kita.
Perkembangan teknologi yang sangat pesat semenjak Gregor Mendel mengumumkan penemuannya pada tahun 1865 bahwa sifat-sifat tertentu pada tanaman ercis dapat diturunkan membawa angin segar dalam pemuliaan tanaman, khususnya komoditas pertanian.Â
Penemuan tersebut ditambah dengan penemuan material genetik berupa DNA tahun 1869 oleh Friedrich Miescher; dan strukturnya oleh James Watson, Rosalin Franklin, dan Francis Crick, telah mengantarkan kita pada era bioteknologi saat ini. Sejak tahun 1973, rekayasa genetik telah dilakukan diawali dengan mentransfer gen resisten antibiotik dari satu bakteri ke bakteri lain.Â
Sementara pada tanaman, rekayasa genetik pertama dimulai tahun 1983 pada tanaman tembakau yang disisipi gen dari Agrobacterium. Tanaman-tanaman yang direkayasa dengan mentransfer gen dari satu organisme ke organisme lain ini kemudian disebut dengan tanaman transgenik. Tanaman transgenik inilah yang populer dengan istilah genetically modified organism atau GMO.
Pengembangan GMO sampai saat ini masih menemui pro dan kontra. Kebanyakan penentang GMO memiliki alasan bahwa dampak dari penanaman tanaman GMO terhadap lingkungan dan organisme non-GMO belum banyak diteliti.Â
Sementara itu, dengan regulasi yang ketat, hasil dari tanaman GMO telah dikonsumsi oleh manusia selama beberapa tahun tanpa adanya laporan kasus-kasus penyakit akibat konsumsi GMO, contohnya kedelai impor Indonesia yang mayoritasnya adalah GMO.Â
Tidak adanya laporan efek samping konsumsi tanaman GMO tentu saja karena sebelum dikembangkan secara luas, tanaman-tanaman tersebut telah melalui uji yang sangat panjang.Â
Meskipun demikian, hingga saat ini masih banyak pihak yang menolak GMO. Lantas, dengan cara apa lagi kita dapat mengembangkan komoditas yang dapat memenuhi kebutuhan kita di masa yang akan datang secara cepat?
Untungnya, transfer gen bukan satu-satunya metode yang dapat digunakan untuk memunculkan sifat unggul pada organisme. Sejak tahun 1936, telah dihasilkan tembakau varian Chlorina yang merupakan hasil mutasi menggunakan sinar X-ray di Indonesia pada saat masih di bawah penjajahan Belanda.Â
Program mutagenesis dan bioteknologi yang terkait pada tanaman untuk keamanan pangan juga didukung penuh oleh FAO sejak tahun 1964, baik mutasi menggunakan radiasi maupun bahan kimia.Â
Sementara itu, terobosan terbaru sejak tahun 2012 yaitu teknologi CRISPR-Cas9 yaitu pengeditan gen menggunakan kompleks protein yang dipandu oleh utas nukleotida pengenal situs yang akan diedit (biasanya berupa utas RNA spesifik) dan memanfaatkan mekanisme self-repairing oleh DNA.Â
Teknologi yang semakin spesifik tersebut dapat memudahkan dan mempercepat manusia untuk mengembangkan sifat-sifat yang diinginkan pada komoditas target. Kedua teknologi tersebut tentu tidak lepas dari seleksi secara fisik dan molekuler.Â
Seleksi fisik lazimnya dilakukan untuk mengamati produktivitas maupun sifat yang tampak, sementara seleksi menggunakan penanda molekuler biasanya dilakukan untuk melihat potensi sifat tertentu, terutama pada komoditas yang butuh waktu lama hingga panen.
Saat ini, berkat perkembangan bioteknologi, kita dapat menyaksikan peningkatan produktivitas sawit di Malaysia menggunakan bibit sawit hasil pemuliaan berdasarkan seleksi berbasis penanda molekuler dengan gen yang mengkode buah penghasil minyak tinggi.Â
Kita juga menyaksikan hasil seleksi padi IR64 yang memiliki gen Sub1 memiliki produktivitas yang baik dan mencegah rusak totalnya tanaman padi akibat genangan yang berkepanjangan.Â
Bukan tidak mungkin di masa yang akan datang akan lebih banyak komoditas pertanian unggul yang dihasilkan karena perkembangan bioteknologi yang sangat pesat. Meskipun bukan GMO, komoditas-komoditas yang dihasilkan tentu saja tetap perlu melewati tahapan-tahapan yang diperlukan sebelum dilepaskan ke masyarakat luas.
 Selain perkembangan bioteknologi yang sangat membantu dalam peningkatan produksi komoditas pertanian, hal lain yang perlu dilakukan adalah bagaimana mempersiapkan masyarakat untuk menerima produk bioteknologi.Â
Di era transfer informasi yang sangat pesat ini, tidak jarang kabar yang tidak disampaikan secara utuh dan bahasa yang kurang ramah terhadap masyarakat awam menyebabkan disinformasi yang akan berdampak kurang baik.Â
Oleh karena itu, selain mematangkan teknologi, saintis dan pemerintah hendaknya juga mematangkan bagaimana mengkomunikasikan temuan atau produk yang dihasilkan kepada masyarakat untuk mengurangi penolakan akibat informasi yang tidak tepat.Â
Jangan sampai produk yang dihasilkan sudah merupakan produk terbaik, tetapi karena masih disangka GMO akibat informasi yang tidak tepat, akhirnya masyarakat menjadi tidak dapat merasakan manfaat dari bioteknologi itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H