Mohon tunggu...
Shabirin Arga
Shabirin Arga Mohon Tunggu... Konsultan - Penulis, Pengamat Sosial dan Politik

Penulis Muda

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Santri dan Konsistensi

23 Oktober 2019   10:18 Diperbarui: 23 Oktober 2019   10:44 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Santri harus menjadi simbol Akhlak dan Pengetahuan. Pesantrenlah sebagai rahim yang melahirkan santri yang memiliki 2 unsur tersebut. Itu adalah modal untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang muslim dan menjadi warga negara Indonesia yang baik. Kontribusi santri jangan direduksi hanya menjadi seorang ustadz atau kyai, dengan dua modal tadi santri sehaharusnya mampu masuk dan mengisi ke dalam ruang-ruang pendidikan, birokrat, ilmuan, politisi dan seterusnya.

Ada satu titik lemah dari santri yang harus di selesaikan dan dikaji, tentang dunia kebebasan pasca menjadi santri dari sebuah pesantren. Seakan-akan santri menjadi liar karena menikmati kebebasan  yang tertunda. Kalau setiap santri memaknai bahwa dirinya ada dalam penjara pendidikan ibarat burung yang berada dalam sangkar, kuda liar yang baru lepas dari kandangnya. Maka ini yang memicu andrenalin kebebasan tanpa batas. Ada luapan ingin mencoba apa yang belum pernah dicoba.

Komitmen menjadi santri bukanlah dalam kurun waktu tertentu selama 3 sampai 6 tahun. Pada dasarnya 3 sampai 6 tahun bukanlah waktu yang sebentar, merupakan momentum untuk pendalaman karakter bagi santri, agar ia tumbuh menjadi individu kokoh dan kuat dimana pun ia bertarung untuk bertahan. Disinilah letak berhasil atau tidaknya menjadi santri. Pada kenyataannya ada banyak yang hanya bertahan dan survive dalam kandang sendiri, sehingga banyak yang berguguran pasca lulus santri.

Misalkan sholat yang tadi rajin malah ditinggalkan, pakaian syar'i malah dicampakkan, tebar aurat tanpa jilbab malah dibanggakan, akhlak santun menjadi tak sopan, mengerti batasan bergaul malah kebablasan, disiplin waktu menjadi hidup yang buang-buang waktu, dan seterusnya. Dimana kehidupan  yang berbanding balik dengan sebelumnya.

Mirisnya ada sebagian yang masih belum percaya diri menjadi santri, merasa minder dan malu ketika ditanya sekolah atau alumni dari mana? Apakah pesantren itu adalah lambang keterbelakangan dan jauh dari kemajuan modern sehingga indentitas menjadi santri atau alumni santri harus ditutupi. Artinya santri belum memahami seutuhnya tentang nilai dari seorang santri.  Oleh karena itu perlunya pembekalan pasca santri sebelum meninggalkan rumah pesantren, sehingga mampu membaca dunia baru dan bertahan pada nilai dan prinsipnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun