Dalam proses pengamatan terhadap dinamika nasional hari ini, terlebih khusus isu KPK yang menarik perhatian publik, dimulai dari kritik terhahap pimpinan KPK terpilih, RUU KPK dan tuntutan Perpu KPK. Setidaknya perlu dibaca dari perspektif komunikasi politik, untuk membongkar perseteruan dibalik layar yang sebagian besar publik tidak ketahui.
Ada dua hal yang menarik untuk disoroti terkait RUU KPK. Pertama, Jika dibaca dari perspektif tubuh politik yang ada dalam elit KPK, sepertinya ada darah yang mengalir dalam lembaga tersebut, yang punya kendali untuk mendesain atau memetakan lawan politik. pertanyaannya adalah apa warna darah dalam deyut nadi KPK?Â
Perseteruan ini memaksa sebagian  orang untuk membuka arena pertarungan yang selama ini ditutupi, apakah pertarungan ini sipil versus partai politik atau konglemerat dan sipil versus partai politik dan seterusnya. Untuk memahami ini, kita perlu membuka jejak history penangkapan yang dilakukan KPK ke sejumlah elit yang terlibat dalam kasus korupsi.
Kekuasaan tunggal yg menguasai KPK, ini meresahkan bagi lawan-lawan politik berbaju merah, kuning, hijau, dan lainnya. Bagaimana tidak, setiap mementum pemilu kepada daerah dan anggota dewan menjadi targetan di partai-partai tertentu. Bahasa tubuh yang hari ini dibaca dalam lembaga  anti rasuah tersebut, adanya pasar jual beli kasus dalam pemberantasan korupsi.
Saya memandang kerja-kerja KPK bukan lagi tentang seberapa besar dan kecilnya kasus korupsinya, bukan lagi berorientasi pada moral dan nilai. Akan tetapi berbicara mengenai kepentingan untuk melakukan operasi politik dalam menekan lawannya, rekayasa dan konspirasi yang begitu terstruktur menggunakan OTT.Â
Faktanya, KPK sampai saat ini belum berani menindaklanjuti kasus-kasus korupsi yang dianggap begitu besar merugikan negara, misalkan Kasus Century kini menjadi misteri, kasus E-KTP menjadi sepi, kasus hambalang yang belum tuntas dan tanpa solusi.
Apakah pola-pola kerja dan strategi KPK dalam menyelesaikan masalah korupsi dengan cara bottom up yang memberantas tikus-tikus skala kecil atau melalui proses Top-down yang membabat habis para pembesar koruptor?Â
Ada satu pertanyaan yang menjadi instrumen analisa mendasar terhadap KPK, kemana para pengembang atau konglemerat disaat ada temuan korupsi dibeberapa proyek seperti Reklamasi dan Meikarta. Apakah tikus kecil lebih berbahaya dibanding tikus besar dan apakah konglemerat lebih suci dari politisi?
Kedua, Pembaharuan. Lembaga yang berpotensi besar untuk melakukan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), maka RUU KPK dianggap sebagai jalan untuk membenahi Lembaga KPK, Â sejumlah kalangan yang mengerti betul jejak perjalanan dan internal KPK saat ini, maka perlu untuk dilakukan pembenahan, bahkan para pakar dan guru besar seperti Prof Romli Atmasasmita dan Prof. Andi Hamzah menyetujui revisi undang-undang KPK.
Kemudian, dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK sering kali tidak memenuhi mekanisme atau prosedur yang ada, mulai dari sistem penyadapan dan penyidikan. Dampak kinerja KPK yang tidak kredibel dan tidak memenuhi SOP dalam penyidikan membuat KPK beberapa kalah dalam sidang praperadilan.
Dalam situasi ini, lawan-lawan politik atau partai politik membaca mementum revisi undang-undang KPK sebagai perlawanan, seperti apakah bentuk perlawanan tersebut?Â