Feminisme merupakan sebuah gerakan yang memiliki tujuan untuk mencapai kesetaraan gender di berbagai aspek kehidupan, termasuk hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan individu. Feminisme bukanlah sebuah gerakan baru, melainkan merupakan sebuah gerakan yang telah ada berabad-abad lamanya. Namun, meskipun feminisme telah berhasil memperjuangkan banyak hal dan meraih berbagai kemajuan, banyak stereotipe negatif yang beredar di sekeliling feminisme yang seringkali disalahpahami dan bahkan diperdebatkan.
Sejarah terciptanya gerakan feminisme berawal dari gelombang pertamanya di pertengahan abad ke-19 yang berakhir pada tahun 1920, yang dilanjutkan oleh feminisme gelombang kedua dan feminisme gelombang ketiga. Pada saat ini, feminisme telah memasuki gelombangnya yang keempat, dilambangkan dengan feminisme digital yang mengikuti perkembangan zaman dan meneruskan perjuangan gerakan feminisme gelombang sebelumnya, yang sekarang pendukungnya tersebar dari berbagai kalangan dengan latar belakang yang berbeda di seluruh dunia.
Pada abad ke-21 ini, feminisme telah berhasil mencapai banyak kemajuan di berbagai bidang, contohnya perempuan memiliki hak untuk memilih siapa pemimpin maupun wakil rakyat yang dikehendakinya dalam pemilihan, bahkan perempuan berkesempatan untuk mencalonkan diri di pemilihan tersebut, serta memiliki kesempatan untuk mengemban jabatan di posisi yang tinggi, salah satunya seperti yang berhasil dibuktikan oleh mantan Presiden Republik Indonesia kelima, yaitu Ibu Megawati Soekarnoputri.
Terlepas oleh berbagai keberhasilan yang diraih oleh gerakan feminisme dengan bukti berbagai tokoh wanita yang sukses dalam meraih prestasinya, gerakan feminisme tidak serta merta kehilangan urgensinya untuk terus diperjuangkan. Seperti yang dikutip dari buku “The 8th List of Sh*t that Made Me a Feminist” karangan Farida D. yang bila diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berbunyi “Hanya karena kita memiliki hak yang lebih banyak daripada nenek kita, tidak berarti kita akan berjuang lebih sedikit untuk putri kita”. Keberlanjutan gerakan feminisme tidak lantas berhenti dengan berbagai pencapain yang telah diraih, melainkan akan terus berlanjut guna mencapai cita-cita yang belum diraih dan untuk mempertahankan pencapaian yang telah berhasil dicapai sebelumnya.
Menurut Farida D., seseorang tidak menjadi feminis, melainkan tiap orang dilahirkan menjadi seorang feminis. Sebab ia percaya, tidak ada seseorang yang terlahir untuk memercayai bahwa perempuan layak untuk mendapatkan hal yang kurang dari gender yang lain, seperti yang diajarkan oleh paham patriarki terhadap kita. Ia menegaskan bahwa seseorang terlahir sebagai feminis dan akan tetap menjadi feminis atau seseorang itu akan menjadi misoginis yang artinya orang yang membenci wanita (KBBI). Seorang laki-laki dapat dikatakan seorang feminis, apabila ia percaya bahwa perempuan dan laki-laki kedudukannya setara dan memiliki hak yang setara pula, tidak ada yang posisi yang lebih tinggi maupun lebih rendah antara satu dan lainnya.
Semenjak gelombang pertamanya, feminisme berjuang untuk melawan patriarki, perilaku mengutamakan laki-laki daripada perempuan dalam masyarakat atau kelompok sosial tertentu (KBBI); seksisme, penggunaan kata atau frasa yang meremehkan atau menghina berkenaan dengan kelompok, gender, ataupun individual (KBBI), utamanya menargetkan perempuan; dan misogini. Hal tersebut dikarenakan paham-paham tersebut menganggap bahwa salah satu gender kurang kompeten atau lebih rendah dari yang lainnya, di mana hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai yang mendasari terbentuknya feminisme.
Akan tetapi, feminisme kerap disalahpahami oleh karena berbagai stereotipe negatif yang berputar mengelilinginya. Kalangan yang anti terhadap feminis tersebut bukan hanya berasal dari kaum pria, melainkan kaum wanita sendiri tidak jarang menolak paham feminisme tersebut. Umumnya, hal ini terjadi karena mereka tumbuh di lingkungan yang kental akan patriarki dan seksisme, sehingga mereka tumbuh besar dengan mewajarkan berbagai ketidakadilan yang menimpa perempuan serta pemikiran tersebut terlanjur tertanam kokoh di pikiran mereka.
Adapun dua jenis praktik paham seksisme menurut influencer Gita Savitri Devi di saluran YouTube miliknya adalah sebagai berikut:
- Hostile sexism, bertujuan untuk menjaga dominasi laki-laki dan diekspresikan dengan cara yang lebih ekstrim, seperti pelecehan dan kekerasan.
- Benevolent sexism, dilakukan dengan cara yang lebih halus dan kesannya positif, tapi sebenarnya juga berbahaya karena bersifat manipulatif. Misalnya, terkesan peran laki-laki adalah untuk menjaga perempuan, padahal memiliki tujuan yang sama dengan hostile sexism. Praktik seksisme inilah yang sangat lumrah terjadi, sehingga perempuan sendiri tidak menyadari bahwa perlakuan yang diterimanya adalah salah satu perwujudan dari perilaku seksisme.
Beberapa contoh praktik seksisme yang sering dialami oleh perempuan sehari-hari salah satunya adalah catcalling. Hal ini dapat terjadi di berbagai tempat, terutama ruang terbuka umum, seperti di pinggir jalan. Pelaku catcalling sendiri cukup beragam, umumnya dilakukan oleh pria dengan rentang umur yang bervariasi, bahkan anak kecil pun dapat menjadi pelaku catcalling. Perasaan untuk berada aman adalah hak bagi semua orang, tak terkecuali perempuan. Sayangnya, perasaan terganggu dan risih yang dialami oleh perempuan yang mengalami catcalling selalu dikerdilkan dan disepelekan dengan alasan catcalling tersebut adalah pujian yang sepatutnya disambut dengan gembira atau sebatas sapaan ramah yang tidak perlu diambil hati. Mirisnya lagi, pelaku normalisasi catcalling tersebut tidak hanya dari kaum pria, kaum wanita yang dianggap senasib sepenanggungan pun turut mewajarkannya, walau hanya sebagian.
Hal ini juga terkait dengan anggapan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lebih emosional dan sensitif daripada laki-laki yang diklaim lebih logis. Orang-orang dengan pola pikir seksisme cenderung menganggap bahwa perempuan merupakan mahluk yang rapuh, butuh dilindungi, dan butuh dibimbing; makhluk yang dapat didominasi.
Tak hanya itu, masih banyak budaya patriarki yang masih tumbuh subur di masyarakat kita saat ini, di zaman yang katanya perempuan dan laki-laki sudah setara. Budaya tersebut dapat kita temui pada mayoritas kehidupan masyarakat Indonesia kini, seperti “perempuan harus bisa masak” padahal memasak adalah kemampuan dasar seorang individu dalam bertahan hidup terlepas dari gendernya; “perempuan tidak perlu sekolah yang tinggi, karena ujung-ujungnya di rumah”, padahal pendidikan itu penting untuk perempuan itu sendiri, dan bahkan untuk mendidik anak-anaknya kelak; kesuksesan seorang wanita diukur dari status pernikahan dan jumlah anaknya, padahal banyak sekali hal yang dapat menjadi tolak ukur kesuksesan seorang perempuan; perlakuan terhadap anak laki-laki lebih istimewa daripada terhadap anak perempuan; “perempuan kok bangunnya siang”, padahal bangun pagi adalah kebiasaan yang sebaiknya diterapkan baik untuk laki-laki maupun perempuan; serta perempuan yang berkarir dianggap menelantarkan keluarga atau seseorang yang tidak menikah dan memiliki anak dianggap "belum menjadi perempuan seutuhnya", sedangkan laki-laki yang bisa melakukan pekerjaan rumah diberi pujian.