Mohon tunggu...
Shabina F
Shabina F Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Copy of My Mind

20-something living in the +621

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Membicarakan Cinta

26 April 2021   15:31 Diperbarui: 26 April 2021   15:50 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama 25 tahun hidup di dunia, ada satu pertanyaan yang selalu berada di benak saya: "is there such a thing as a perfect romantic relationship?" 

Kenapa orang yang saling cinta lalu bisa berpisah begitu saja bahkan kadang berakhir dengan benci, tanya saya. Saya tahu kesempurnaan hanya milik Tuhan --tetapi dengan segala fantasi tentang percintaan yang dituangkan dalam buku ataupun film, apakah di kehidupan nyata cinta abadi benar adanya? 

Ibu saya pernah mengatakan, kalau mau ngerti tentang cinta, kamu harus sering jatuh dan patah hati. Jika dibandingkan dengan teman-teman sebaya, saya sendiri termasuk telat dalam menjalani hubungan percintaan yang berkomitmen. 

Hubungan yang sedang saya jalani sejak 4 tahun yang lalu hingga kini merupakan yang pertama untuk saya. Jadi dapat dikatakan, saya begitu awam dan cenderung naif dengan konsep hubungan percintaan itu sendiri. 

Sekitar setahun yang lalu, saya mengikuti kelas perkuliahan tatap muka bersama salah satu dosen favorit saya, Miss Feby. Beliau mengungkapkan satu fakta yang cukup membuat saya berpikir: tingkat perceraian di Jakarta terus meningkat pesat ketika perkembangan teknologi justru semakin mempermudah proses komunikasi. 

Padahal, jika kita membaca artikel atau buku mengenai tips menjalani hubungan percintaan, kerap disebutkan bahwa "communication is the key". Komunikasi adalah kunci dalam hubungan. Jika begitu, mengapa kini di saat komunikasi semakin mudah untuk dilakukan, tetapi kasus perceraian dan perpisahan semakin banyak dan lumrah terjadi? 

Berangkat dari rasa penasaran saya itu, dalam tulisan ini saya akan sedikit menelisik lebih dalam tentang hubungan percintaan dan konflik yang terjadi di dalamnya berdasarkan ilmu komunikasi interpersonal.

Julia T. Wood dalam bukunya "Interpersonal Communiacation: Everyday Encounters" (2010) mendefinisikan hubungan romantis yang berkomitmen sebagai hubungan antar individu yang menganggap bahwa mereka akan menjadi bagian utama dan berkelanjutan dari kehidupan satu sama lain, diciptakan dan dipertahankan oleh seseorang yang tidak dapat digantikan, melibatkan perasaan romantis dan seksual - yang tentunya bukan bagian dari hubungan dengan rekan kerja, teman, tetangga, dan anggota keluarga. Hubungan ini biasanya berkembang melalui tiga kategori fase, yaitu growth, navigation, dan deterioration (Mongeau & Henningsen, 2008). 

Kategori pertama adalah growth, menandakan enam tahap yang menandai keintiman progresif. Tahap ini awalnya dimulai dari invitational communication hingga pada akhirnya timbul komitmen antar kedua pasangan. 

Selanjutnya adalah navigation yang merupakan proses berkelanjutan untuk tetap berkomitmen dan menjalani hidup bersama meskipun ada pasang surut, dan "kejutan" yang menyenangkan maupun tidak. Pasangan terus-menerus menyesuaikan diri, mengatasi masalah baru, meninjau kembali masalah lama, dan mengakomodasi perubahan dalam kehidupan individu dan relasional mereka. 

Terakhir adalah deterioration atau kemundurungan hubungan --fase yang tentu tidak diharapkan semua pasangan, the make or break moment of a relationship. Di sinilah ketika hubungan menjadi semakin buruk, bahkan pilihan untuk mengakhiri hubungan seolah menjadi opsi yang paling memungkinkan. 

Steve Duck (2007) menggambarkan fase ini terjadi melalui rangkaian lima tahap. Berawal dari intraphysic process dimana salah satu atau kedua pasangan mulai merasa tidak puas dengan hubungan mereka dan berfokus pada masalah atau hambatan yang ada. Contohnya jika disaat kita tidak puas karena pasangan tidak perhatian, kemudian munculah pikiran "duh kalo cowok lain pasti treat aku lebih baik!". 

Jika rasa ketidakpuasan itu terus ada dan semakin kuat, maka kemudian hubungan akan berlanjut ke tahap berikutnya yaitu dyadic process. Di sinilah segala perasaan negatif yang ada kemudian terpancar lewat tindakan kita -kebiasaan yang biasa dilakukan dalam hubungan mulai dilupakan, mengabaikan hal-hal kecil yang mengikat mereka. 

Selanjutnya adalah tahap social support, tahap dimana kedua pasangan berlari ke teman dan keluarga untuk mendapatkan simpati, support ataupun sekedar validasi dari mereka. 

Tahap ini diakhiri dengan grave-dressing processes dan resurrection processes, tahap dimana seseorang mulai "mengubur" perasaan dan memori yang ada, berkontemplasi dan menerima bahwa ini adalah akhir dari hubungan. Hingga akhirnya munculah kemampuan untuk sepenuhnya "move on"-keduanya saling melanjutkan kehidupan tanpa hadirnya masing-masing sebagai partner yang intim. It is indeed a long process, and surely won't be an easy ride if the case is a serious, committed relationship.

---

"interpersonal communication develop and dustaining relationship". Salah satu prinsip komunikasi interpersonal ini menunjukan bahwa komunikasi mampu untuk membangun atau bahkan menjauhkan suatu hubungan. 

"Communication is not a pansea", komunikasi bukanlah obat mujarab yang menyelesaikan masalah dengan instan. Namun, kenyataannya komunikasi memainkan peran penting dalam mengurangi kesalahpahaman dan pada akhirnya memperkuat ikatan antar individu. 

Jika kita kembali ke pada fase deteriotation, tahap dyadid process mungkin juga melibatkan diskusi tentang masalah dan ketidakpuasan yang dirasakan oleh keduanya. Hal ini tidak selalu terjadi, karena banyak juga yang cenderung menghindari pembicaraan tentang masalah yang ada. 

Meskipun menyakitkan, menghindar tidak akan menyelesaikan masalah dan justru akan memperburuk keadaan. Hasil dari dyadid process akhirnya bergantung pada seberapa besar komitmen dan keterampilan komunikasi dari masing-masing pihak. 

Jika keduanya tidak memiliki daya untuk mencoba memperbaiki dan mengembalikan keintiman hubungan, maka terjadilah perpisahan. Tidak berhenti sampai di situ, mereka juga harus memikirkan bagaimana menyampaikan hal tersebut pada orang-orang disekitar mereka tentang akhirnya hubungan (Wood, 2010). It's always about communication all along.

Julia T. Wood (2010) membagikan beberapa tips untuk dapat membuat komunikasi yang baik dalam suatu hubungan. Kita harus bisa memposisikan diri untuk melihat dari dua perspektif yaitu memahami perspektif diri sendiri serta persepktif, pikiran, perasaan dan kebutuhan pasangan. 

Kemampuan untuk mengadopsi perspektif orang lain adalah inti dari kompetensi komunikasi antarpribadi. Selanjutnya adalah kemampuan untuk mengelola konflik secara konstruktif. 

Mengelola konflik bukan hanya penting dalam hubungan romantis, namun juga segala hubungan seperti keluarga dan pertemanan. Ikatan cinta, khususnya yang berkomitmen secara serius, menyatukan dua kepala yang berbeda dengan emotional intellegence yang berbeda juga. 

Konflik kerap muncul dari emosi, oleh karena itu kita harus mengerti cara untuk mengelola konflik dengan tepat, serta meresponnya dengan benar dan menyampaikannya secara hati-hati. Perlu diingat bahwa komunikasi interpersonal tidak dapat ditarik kembali dan dihapus dari memori orang yang sudah mendengarnya.  

Tidak ada benar dan salah yang mutlak dalam suatu hubungan antara dua orang yang saling berkomitmen (tentunya kecuali kekerasan baik fisik, mental maupun perbuatan melanggar hukum lainnya). Karena pada dasarnya, setiap orang merupakan individu yang berbeda dengan pemikiran, persepsi dan approach yang tentunya juga berbeda. 

Dengan memahami hubungan romantis dari sudut ilmu komunikasi interpersonal, kita dapat mengerti bagaimana pentingnya berkomunikasi dalam menjalankan suatu hubungan. Terlepas dari adanya kemudahan dari kemajuan teknologi yang ada, kita juga harus mengerti bagaimana berkomunikasi --bukan hanya dalam menyampiakan pesan, namun juga mendengarkan secara efektif. Kembali lagi pada prinsip komunikasi interpersonal bahwa komunikasi interpersonal yang efektif dapat dipelajari. 

Salah satu tahap yang dapat dilakukan adalah mengetahui kepribadian masing-masing, contohya melalui test kepribadian Myers-Briggs dan tes bahasa cinta atau 5 Love Language. Dengan itu, kita dapat memahami bagaimana cara berkomunikasi yang tepat dengan pasangan dan meminimalisir kesalahpahaman. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun