Mohon tunggu...
Shabina F
Shabina F Mohon Tunggu... Mahasiswa - A Copy of My Mind

20-something living in the +621

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Blurry Lines of Right and Wrong in The Era of Social Media

5 Maret 2021   12:44 Diperbarui: 5 Maret 2021   13:27 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Dalam beberapa dekade terakhir, seiring dengan kemajuan teknologi yang sangat masif, kekuatan media (baik traditional media maupun new media) juga semakin berpengaruh karena semakin banyak individu yang dapat mengakses informasi secara real time. 

Setiap harinya kita hidup ditengah-tengah arus informasi yang sangat deras, sumber media yang cenderung bias terhadap suatu isu, dan kemudian membuat keputusan berdasarkan informasi yang kita pilih untuk diterima dan diyakini.

Beberapa minggu yang lalu, media sosial khususnya Twitter dihebohkan dengan berita mengenai "Aisha Weddings". 

Aisha Weddings, merupakan Wedding Organizer yang secara terang-terangan mempromosikan poligami dan pernikahan dibawah umur atas nama syariat Islam melalui iklan banner maupun website. 

Kasus ini pun menjadi viral, memancing kritik dari banyak pihak. Namun, setelah ditelisik lebih jauh, ternyata Aisha Weddings ini tidak jelas asal-usulnya. 

Tidak ada pihak dari Aisha Weddings yang dapat dikontak --hal yang aneh mengingat tentunya setiap bisnis beriklan agar dikenal dan menarik konsumen. Banyak pihak akhirnya menyimpulkan bahwa Aisha Weddings hanyalah sebuah "konten fiktif", yang secara sengaja disebarluaskan untuk memancing keributan dan keresahan para netizen. 

Aisha Weddings bukanlah yang pertama. Sebelumnya juga ada kasus narasi "Klepon tidak Islami" yang memiliki pola persebaran yang sama, cenderung menyinggung hal sensitif seperti agama. 

Siapa yang membuat dan apa tujuannya pun tidak ada yang tahu pasti. Tidak sedikit yang mengaitkan hal ini dengan keberadaan buzzer-buzzer politik yang semakin menjamur. Apapun itu, mereka berhasil memprovokasi masyarakat, walaupun hanya untuk waktu yang singkat.

Terlepas dari nuansa politik yang melekat terhadap isu-isu tersebut, saya menyadari satu hal: betapa mudahnya emosi dan perspektif kita dikontrol sedemikian rupa demi mencapai kepentingan pribadi maupun kelompok tertentu. 

Anda mungkin masih ingat dengan kasus bullying Audrey, yang sangat heboh tidak hanya di Indonesia namun juga dunia Internasional. Bullying, bagaimanapun bentuknya tentu tidak dapat dibenarkan. 

Namun, yang ingin saya highlight adalah ketika kemudian terungkapnya beberapa fakta yang tidak sesuai dengan pengakuan Audrey menunjukan betapa misinformsi ataupun disinformasi sangat mudah tersebar dan dipercayai oleh masyarakat.

Saat ini, setiap individu dapat dengan mudah dan bebasnya berbagi informasi maupun pendapat dengan seluruh masyarakat di penjuru dunia. Semua orang tentu berhak untuk mengemukakan pendapat secara bebas. 

Akan tetapi, sampai sejauh mana batas "kebebasan" ini? Saya sendiri melihat kebebasan dalam berbicara dapat diibaratkan sebagai dua mata pisau. Kita tidak dapat menampik bahwa hal ini rentan akan konflik. 

Batas antara benar dan salah menjadi kabur, apalagi pada kasus personal yang saat ini kerap diangkat ke media sosial dan menjadi bahan omongan banyak orang atau "viral". 

Bahkan dengan adanya UU ITE, yang dibuat untuk mencegah dan menindak terjadinya konflik ini justru memancing perdebatan. Satu sisi ada pihak yang merasa undang-undang ini dapat membungkam suara-suara kritis, khususnya terhadap "orang-orang penting". 

Namun di sisi lain, ada juga yang berpendapat UU ITE diperlukan untuk menindak aktivitas online yang dirasa merugikan. Contohnya online bullying, hate comment, dan sebagainya.

Seperti kasus diatas, hal ini dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk kembali lagi, mencapai tujuan individu ataupun kelompoknya sendiri. Maraknya hoaks dan disinformasi memainkan peran penting dalam membentuk polarisasi di tengah-tengah masyarakat. 

Penyebarannya pun sangat cepat. Andaikan satu orang bersuara di media sosial tentang suatu isu yang kebenarannya (hoaks atau disinformasi) dan kemudian dibaca oleh sejumlah audiens. 

Let say, ada tiga orang yang dengan mudahnya percaya dengan apa yang mereka baca dan kemudian menyebarkannya kembali (repost atau retweet). Maka akan semakin banyak audiens yang terpapar dengan hoaks atau disinformarsi tersebut. It's just like a virus, a never-ending cycle.

Media sosial dapat membentuk sikap kita terhadap banyak hal, mulai dari perilaku pembelian, orang yang kita kagumi maupun yang tidak kita sukai, persepsi kita terhadap masalah-masalah yang ada seperti politik maupun sosial. 

Generalisasi, asumsi, dan persepsi semuanya dapat dipengaruhi oleh media. Social media has a very strong influence and control over your mind, it is a fact that we cannot deny. 

Berdasarkan riset oleh HootSuite pada tahun 2020, di Indonesia sendiri waktu yang rata-rata dihabiskan oleh user Internet adalah 9 jam 45 menit dalam sehari. Bayangkan betapa banyaknya kita terpapar oleh berbagai macam informasi dalam sehari saja.

Maka dari itu, sebagai seorang user sekaligus receiver, kita dihadapkan dengan pilihan untuk dapat mengevaluasi dan memilih informasi, opini dan perspektif yang akan kita terima dan yakini. 

Kita dituntut untuk lebih kritis dan waspada -daripada menerima mentah-mentah suatu "kebenaran" versi satu media, individu atau kelompok tertentu. 

Karena pada akhirnya, semua kembali kepada diri kita sendiri. Mari manfaatkan kebebasan yang ada dengan lebih bertanggung jawab. Double check what you've seen, read and share on the internet. Be smart, be wise and be cautious, always!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun