Mohon tunggu...
Shabila Izzaturahma
Shabila Izzaturahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa aktif UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, hobby saya memotret atau mengambil foto, lalu melukis dan menggambar

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Post-Truth Dulu dan Sekarang

20 Mei 2024   16:51 Diperbarui: 20 Mei 2024   17:15 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Syamsul Yakin dan Shabila Izzaturahma, Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kebingungan pengurus sekolah asrama Muslim di Darul Akhyar Parung, Kota Depok

Post-truth tidak benar-benar terjadi akhir-akhir ini. Tidak ketika media online seperti media baru, media sosial, dan jejaring sosial semuanya ada di ujung jari Anda. Post-truth tidak dimulai dari jari, dari dunia digital, dari ruang virtual atau dari apapun yang online, tetapi dimulai dari hati manusia sejak zaman dahulu kala. Kebohongan yang terlihat seperti kebenaran sudah terjadi sejak zaman Nabi SAW. Jadi post-truth adalah perilaku lama dalam kemasan baru. Apa yang dimaksud dengan post-truth dapat diserap dari informasi Nabi SAW berikut ini.

Dari Abu Hurairah, Nabi SAW bersabda: "Akan datang kepada manusia tahun-tahun penipuan . Di era sekarang, pembohong dianggap benar, sedangkan orang jujur malah ditolak. Seorang pengkhianat dapat dipercaya, sedangkan orang yang benar-benar dapat dipercaya dianggap pengkhianat. Ada yang bertanya: "Apa yang dimaksud dengan Ruwaibidhah?" Nabi SAW menjawab: "Orang bodoh mencampuri urusan masyarakat" (HR. Ibnu Majah).

Ketika pembohong dibenarkan sementara orang jujur ditipu, jelas bahwa post-truth sudah ada sejak dahulu kala. Masyarakat tidak bisa lagi berpedoman pada opini dari sumber informasi yang autentik. Mereka percaya hoax berdasarkan emosi dan akal sehat. Jelasnya, post-truth telah lama berhasil mengalahkan nalar. Tentu saja jika tidak dilakukan maka akan mengancam kohesi sosial, laju pembangunan serta keunggulan dan kemandirian bangsa.

Secara psikologis, post-truth muncul sehubungan dengan berlanjutnya rasa takut akan kejujuran dan kejujuran orang lain. takut kehilangan. dalam persaingan, sebagai kelemahan dalam manajemen kepribadian, pengetahuan dan kerja keras. Post-truth adalah potret mereka yang kalah, yang memaksakan diri untuk menang, meski ada konspirasi, hasutan, dan kampanye gelap. Oleh karena itu, pembohong dianggap wajar, sedangkan orang jujur ditipu. Tidak dapat dipungkiri bahwa praktik politik modern telah dipengaruhi oleh post-truth.

Selanjutnya, ketika pengkhianat dipercaya sedangkan orang yang dapat dipercaya dianggap pengkhianat. Hal ini membuktikan bahwa sifat dasar jejaring sosial bukanlah anti humanisme. Artinya, sejarah membuktikan bahwa hoaks, berita palsu, dan ujaran kebencian merupakan hal yang lumrah sebelum munculnya media konvergen. Dengan kata lain, Internet pada dasarnya bersifat humanistik, demokratis, dan pluralistik. Namun sayangnya, di saat terjadi kekacauan, banyak orang yang diserang tanpa mengetahui siapa yang menyerang. Seseorang dikhianati tanpa mengetahui siapa yang mengkhianatinya.

Situasi seperti ini diperparah dengan munculnya Ruwaibidhah, sebuah representasi online dari masyarakat bermoral palsu, anti-sosial dan penjarahan. Ruwaibidhah adalah musuh bangsa, bahkan peradaban. Ruwaibidhah yang sebenarnya tidak memiliki kepribadian sebagai penyerbu, berada di tengah-tengah. Terlebih lagi, berkat kefasihannya, ia mampu mengendalikan keadaan baik secara ekonomi maupun politik. Ruwaibidhah merupakan sesuatu yang telah mencoreng muka media sosial, yang perlu dimanfaatkan dengan bijak dan sebaik-baiknya.

Untuk memenangkan kompetisi ini, seseorang tentunya harus memiliki mentalitas dan kepribadian yang progresif di masa depan dengan menerapkan pepatah " "Besok adalah hari ini". Bukan sebaliknya, itulah sebabnya kaum romantisme konvensional selalu menganut tajuk "kemarin adalah hari ini". Jika tidak, kita akan dihancurkan oleh katalis perubahan nanodetik. Ingatlah bahwa seiring dengan perubahan platform, kita juga harus mengubah posisi diri kita, dari "penumpang" era digital menjadi "pengemudi".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun