Kondisi masyarakat di era modern yang semakin maju, rasional dan kritis, membuat “tangan-tangan” negara harus lebih jeli melihat potensi. Terutama pelibatan warga secara aktif ada program bisa sejalan dan efektif. Termasuk di dalamnya institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Sebagai pemilik mandat seperti di Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negera Republik Indonesia, terutama di pasal 2 menyebut, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Keberadaan masyarakat yang lebih dinamis dan persebarannya juga semakin padat --tidak berbanding lurus dengan jumlah anggota polisi yang jauh dari kata proporsional, dibutuhkan pengawasan yang ekstra, terutama tugas intelejen. Polisi harus mempunyai jaringan kuat dan mengakar sampai titik-titik tertentu, jika struktur di desa bisa menyentuh di rukun warga atau bahkan sudut gang.
Pada era sebelumnya atau bisa dikatakan tradisional, Polri sebenarnya telah mempunyai program bimbingan masyarakat (Bimmas) dan program-program yang berkaitan dengan Sistem Keamanan Swakarsa (Siskamswakarsa). Program Siskamswakarsa dilakukan melalui sistem keamanan lingkungan (Siskamling) yang meliputi lingkungan pemukiman, lingkungan pendidikan dan lingkungan kerja. Hal itu sebagai penjelasan atas cara pengamanan Swakarsa sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selama ini, Babinkamtibmas (Bintara Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat) berperan sebagai ujung tombak pelaksanaan Siskamswakarsa/Siskamling.
Selama ini, keberadaan polisi lebih dominan di system atau pola yang tradisional. Artinya, jika ada kondisi kerawanan di masyarakat, maka polisi yang pertama sebagai “pemadam” nya. Warga kurang respon akan keamanan di sekitarnya masing-masing dan tidak saling mengingatkan jika ada yang kurang tepat, serta bisa menimbulkan benih-benih konflik. Kondisi seperti itu mulai disadari belakangan ini dengan munculnya Kepolisian Masyarakat (Polmas).
Selain di pasal 2 UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, fungsi polisi dapat dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil; dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa. Di pasal lain, termasuk pasal 4, keberadaan Polri bertujuan
untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Dari fungsi dan tujuan seperti amanat undang-undang, keberadaan Polmas bisa dikatakan dekat dengan konsep Community Policing. Hal itu bisa menjadi terobosan bagus untuk mendekatkan diri ke masyarakat terbawah. Karena, Polmas bisa menggerus persepsi masyarakat terkait polisi yang selama ini dianggap cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi kepolisian menjadi alat negara. Sehingga, pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang di lapangan. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama dan seragam, mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dan mengurangi ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani.
Selain itu polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi kepolisian dimata publik pada satu sisi, serta semakin berkurangnya dukungan masyarakat bagi pelaksanan tugas kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.
Masyarakat kelihatannya cenderung ‘jenuh’ dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokrasi, resmi, formal, kaku, seragam dan lain-lain dalam pelayanannya. Ada kesan, publik lebih menginginkan pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah daripada sekadar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dibanding lebih efektif daripada proses sistem peradilan pidana formal yang acapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah.
Saling Menjaga dan Mengamankan
Konsep Kepolisian Masyarakat (Polmas) menjadi model pelindung atau pengayom yang menekankan kemitraan sejajar, antara petugas Polmas dengan masyarakat lokal dalam menyelesaikan dan mengatasi setiap permasalahan sosial yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat, serta ketentraman kehidupan masyarakat setempat. Semua itu bertujuan untuk mengurangi kejahatan dan rasa ketakutan akan kejahatan, serta meningkatkan kualitas hidup warga.
Masyarakat benar-benar diberdayakan, sehingga tidak lagi semata-mata sebagai obyek dalam penyelenggaraan fungsi kepolisian, melainkan juga berprilaku ke subyek yang menentukan dalam mengelola sendiri upaya penciptaan lingkungan yang aman dan tertib sebagai ketentraman dan keselamatan kehidupan bersama. Posisi kepolisian berperan sebagai petugas Polmas dalam suatu kemitraan.
Operasionalisasi konsep Polmas pada tataran lokal memungkinkan masyarakat setempat untuk memelihara dan menumbuh-kembangkan sendiri pengelolaan keamanan dan ketertiban yang didasarkan atas norma-norma sosial atau kesepakatan-kesepakatan lokal dengan tetap mentaati peraturan-peraturan hukum yang bersifat nasional dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
Keberadaan Polmas sejalan dengan nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Siskamswakarsa yang dalam pengembangannya disesuaikan dengan penyelenggaraan fungsi kepolisian dalam masyarakat, sehingga tidak semata-mata merupakan pengadopsian dari konsepCommunity Policing. Polmas bisa membantu secara efektif tugas polisi untuk mendeteksi dini benih kerawanan di masyarakat, serta menyosialisasikan program kemitraan polisi.
Keunikan Polmas bisa masuk ke segala lini tanpa harus ada batas tertentu. Dinamika masyarakat juga terpetakan dengan jelas hingga wilayah terkecil sesuai dengan wilayahnya (geographic-community). Batas wilayah komunitas ini dapat dilakukan dengan memperhatikan keunikan karakteristik geografis dan sosial dari suatu lingkungan dan terutama kefektifan pemberian layanan kepada warga masyarakat. Wilayah tersebut dapat berbentuk RT, RW, Desa, Kelurahan, ataupun berupa pasar/pusat belanja/mall, kawasan Industri, pusat/komplek olah raga, stasiun bus/kereta api dan lain-lain sebagainya.
Kunci utama dari Polmas adalah pelibatan warga secara utuh untuk saling menjaga dan mengamankan wilayahnya sendiri. Agar tercipta kehidupan yang lebih aman dan terntram.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H