Mohon tunggu...
shabda purusha
shabda purusha Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Polisi dan HAM, Posisi Terlemah?

21 April 2016   13:08 Diperbarui: 21 April 2016   13:13 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berbagai kejadian belakangan ini yang berkaitan dengan tindakan aparat kepolisian dalam rangkat pencegahan maupun penanganan suatu perkara, sering dialamatkan dengan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, jika dirunut lebih jelas dan seksama, peristiwa tersebut tidak dilakukan dengan aspek kesengajaan atau memang berniat melukai, menciderai atau sejenisnya. Tapi murni karena proses penanganan suatu perkara, yang terkadang muncul dinamika di lapangan.

Sebut saja ketika ada aksi demonstrasi atau penyampaian hak di muka publik yang dilindungi aturan perundang-undangan, aparat yang mengamankan dituntut untuk tidak “memegang” peserta aksi dengan cara apapun. Walaupun, kebanyakan masyarakat ketika bersama-sama mempunyai kecenderungan berani dan tidak sedikit yang melebihi batas. Saat polisi berusaha menenangkan dengan cara sedikit represif, dianggap sudah melanggar HAM atau menciderai sisi kemanusian.

 Padahal, terkadang saat itu aparat kepolisian juga menjadi “korban” luka, akibat perbuatan peserta aksi yang melakukan pelemparan, perusakan dan lain sebagainya. Namun, itu luput dari pemahaman bersama, jika polisi juga manusia yang mempunyai kedudukan sama di mata hukum dan terusik hak asasinya. Belum lagi, ucapan-ucapan warga cukup menusuk perasaan melalui cacian, hinaan dan bahkan sampai bentakan-bentakan. Semua itu tidak boleh dilawan, karena posisi polisi telah melekat di masyarakat sebagai bagian negara yang mengayomi dan melindungi.

Polisi dituntut tidak pernah alpa, salah atau teledor dalam menjalankan fungsinya. Padahal, perlu diingat, polisi juga manusia biasa yang terkadang mempunyai kesalahan mendasar, sama seperti manusia lainnya. Masyarakat juga dituntut untuk sadar, ketika polisi juga disasar penyimpangan HAM saat terjadi penyerangan Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, yang menewaskan tiga personel polisi, Minggu akhir tahun 2015 lalu.

Lantas, apakah polisi tidak dilindungi kekuatan dan kesamaan perlakuan HAM?  

 

Memahami HAM

Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya dimuka hukum (Mansyur Effendi, 1994). Itu berlangsung tahun 1215. Setelah itu muncul Petition of Rights tahun 1628 di Inggris mengenai pembatasan hak-hak raja dan perlindungan atas warga negara, juga Habeas Corpus Act tahun 1679 hingga Bill of Rights tahun 1689 di Inggris mengenai hak politik sipil warga negara.

Dipertegas munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Lebih rinci diatur tahun 1789 dengan lahirnya The French Declaration atau Deklarasi Perancis, dimana ketentuan tentang hak termuat di The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.

Sementara itu beberapa pakar berpendapat, seperti de Rover yang memandang HAM adalah hak hukum setiap orang sebagai manusia. Hak-hak universal dan tersedia untuk semua orang, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan. Hak-hak tersebut dapat dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihilangkan. HAM adalah hak-hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak ini adalah sah. Hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang. 

Di Indonesia, HAM diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Yakni seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu adalah kasih karunia-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

 

Dimana posisi polisi?

Dari berbagai penjelasan mengenai HAM diatas sudah sangat jelas, jika HAM merupakan hak setiap manusia. Artinya, tidak membedakan jenis, warna kulit, profesi atau pekerjaannya. Apakah ia warga biasa, polisi, anggota Tentara Republik Indonesia (TNI), Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bahkan presiden sekalipun. Jadi, tidak boleh dikerdilkan posisi seseorang dan dipandang sama atas HAM.

Penanganan kasus HAM atas proses pekerjaan polisi juga harus ditangani dengan baik dan diusut tuntas, Begitu pula saat polisi menjadi korban penyerangan, seperti tiga anggota yang meninggal ketika Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, dibombardir peluru. Menurut  kriminolog sekaligus pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, kejadian seperti itu seharusnya menjadi momentum menyadarkan publik sekaligus institusi Polri soal HAM (Kompas.com, 29 Desember 2015).

Reza menambahkan, jika tragedi Sinak adalah momentum tepat untuk membangun keinsafan publik akan hak asasi polisi dan kesadaran polisi akan hak asasinya sendiri. Sebab, jika aparat kepolisian salah tembak dan menganai warga sipil misalnya, wacana yang dibesarkan adalah pelanggaran HAM. Namun, hal yang sama tidak terjadi jika personel polisi tewas, walaupun dengan cara diserang secara membabi buta.

Namun, kondisi seperti itu tidak harus menjadi alasan pembenar aparat polisi lalai dalam menjalankan tugas. Juga, mereduksi semangat penegakan hukum di Indonesia karena kehati-hatian atau takut dikatakan melanggar HAM. Sebab, jika aparat berpegang teguh pada tugas pokok dan fungsi, maka praduga akan pelanggaran HAM lambat laun akan luntur sendiri. Atau sebaliknya, jika memang terbukti ada dugaan menyentuh ranah HAM, sepatutnya diusut tuntas agar wibawa kepolisian tetap terjaga di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun