Â
Dimana posisi polisi?
Dari berbagai penjelasan mengenai HAM diatas sudah sangat jelas, jika HAM merupakan hak setiap manusia. Artinya, tidak membedakan jenis, warna kulit, profesi atau pekerjaannya. Apakah ia warga biasa, polisi, anggota Tentara Republik Indonesia (TNI), Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau bahkan presiden sekalipun. Jadi, tidak boleh dikerdilkan posisi seseorang dan dipandang sama atas HAM.
Penanganan kasus HAM atas proses pekerjaan polisi juga harus ditangani dengan baik dan diusut tuntas, Begitu pula saat polisi menjadi korban penyerangan, seperti tiga anggota yang meninggal ketika Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, dibombardir peluru. Menurut  kriminolog sekaligus pakar Psikolog Forensik, Reza Indragiri Amriel, kejadian seperti itu seharusnya menjadi momentum menyadarkan publik sekaligus institusi Polri soal HAM (Kompas.com, 29 Desember 2015).
Reza menambahkan, jika tragedi Sinak adalah momentum tepat untuk membangun keinsafan publik akan hak asasi polisi dan kesadaran polisi akan hak asasinya sendiri. Sebab, jika aparat kepolisian salah tembak dan menganai warga sipil misalnya, wacana yang dibesarkan adalah pelanggaran HAM. Namun, hal yang sama tidak terjadi jika personel polisi tewas, walaupun dengan cara diserang secara membabi buta.
Namun, kondisi seperti itu tidak harus menjadi alasan pembenar aparat polisi lalai dalam menjalankan tugas. Juga, mereduksi semangat penegakan hukum di Indonesia karena kehati-hatian atau takut dikatakan melanggar HAM. Sebab, jika aparat berpegang teguh pada tugas pokok dan fungsi, maka praduga akan pelanggaran HAM lambat laun akan luntur sendiri. Atau sebaliknya, jika memang terbukti ada dugaan menyentuh ranah HAM, sepatutnya diusut tuntas agar wibawa kepolisian tetap terjaga di masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H