Berbagai kejadian belakangan ini yang berkaitan dengan tindakan aparat kepolisian dalam rangkat pencegahan maupun penanganan suatu perkara, sering dialamatkan dengan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Padahal, jika dirunut lebih jelas dan seksama, peristiwa tersebut tidak dilakukan dengan aspek kesengajaan atau memang berniat melukai, menciderai atau sejenisnya. Tapi murni karena proses penanganan suatu perkara, yang terkadang muncul dinamika di lapangan.
Sebut saja ketika ada aksi demonstrasi atau penyampaian hak di muka publik yang dilindungi aturan perundang-undangan, aparat yang mengamankan dituntut untuk tidak “memegang” peserta aksi dengan cara apapun. Walaupun, kebanyakan masyarakat ketika bersama-sama mempunyai kecenderungan berani dan tidak sedikit yang melebihi batas. Saat polisi berusaha menenangkan dengan cara sedikit represif, dianggap sudah melanggar HAM atau menciderai sisi kemanusian.
Padahal, terkadang saat itu aparat kepolisian juga menjadi “korban” luka, akibat perbuatan peserta aksi yang melakukan pelemparan, perusakan dan lain sebagainya. Namun, itu luput dari pemahaman bersama, jika polisi juga manusia yang mempunyai kedudukan sama di mata hukum dan terusik hak asasinya. Belum lagi, ucapan-ucapan warga cukup menusuk perasaan melalui cacian, hinaan dan bahkan sampai bentakan-bentakan. Semua itu tidak boleh dilawan, karena posisi polisi telah melekat di masyarakat sebagai bagian negara yang mengayomi dan melindungi.
Polisi dituntut tidak pernah alpa, salah atau teledor dalam menjalankan fungsinya. Padahal, perlu diingat, polisi juga manusia biasa yang terkadang mempunyai kesalahan mendasar, sama seperti manusia lainnya. Masyarakat juga dituntut untuk sadar, ketika polisi juga disasar penyimpangan HAM saat terjadi penyerangan Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, yang menewaskan tiga personel polisi, Minggu akhir tahun 2015 lalu.
Lantas, apakah polisi tidak dilindungi kekuatan dan kesamaan perlakuan HAM?
Memahami HAM
Pada umumnya para pakar di Eropa berpendapat, bahwa lahirnya HAM di kawasan Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta yang antara lain memuat pandangan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolute (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat dengan hukum yang dibuatnya), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat diminta pertanggungjawabannya dimuka hukum (Mansyur Effendi, 1994). Itu berlangsung tahun 1215. Setelah itu muncul Petition of Rights tahun 1628 di Inggris mengenai pembatasan hak-hak raja dan perlindungan atas warga negara, juga Habeas Corpus Act tahun 1679 hingga Bill of Rights tahun 1689 di Inggris mengenai hak politik sipil warga negara.
Dipertegas munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Rousseau dan Montesquuieu. Mulailah bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam perut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir ia harus dibelenggu. Lebih rinci diatur tahun 1789 dengan lahirnya The French Declaration atau Deklarasi Perancis, dimana ketentuan tentang hak termuat di The Rule of Law yang antara lain berbunyi tidak boleh ada penangkapan tanpa alasan yang sah. Dalam kaitan itu berlaku prinsip presumption of innocent, artinya orang-orang yang ditangkap, kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah, sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah.
Sementara itu beberapa pakar berpendapat, seperti de Rover yang memandang HAM adalah hak hukum setiap orang sebagai manusia. Hak-hak universal dan tersedia untuk semua orang, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan. Hak-hak tersebut dapat dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihilangkan. HAM adalah hak-hak hukum, ini berarti bahwa hak-hak ini adalah sah. Hak asasi manusia yang dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional di banyak negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak dasar atau hak-hak dasar yang dibawa manusia sejak lahir sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi manusia dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang.
Di Indonesia, HAM diatur jelas dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Yakni seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu adalah kasih karunia-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.