Mohon tunggu...
Mesha Christina
Mesha Christina Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengumpul kepingan momen.

Menulis juga di blog pribadi www.shalluvia.com || Kadang jalan-jalan, kadang baca buku, kadang menulis, dan yang pasti doyan makan.

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Lilit Basah ala Sate Ratu, Kuliner Primadona Yogyakarta yang Wajib Dicicipi

8 November 2018   20:35 Diperbarui: 10 November 2018   08:57 742
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sate lilit sebelum bertransformasi menjadi lilit basah (dok. ig @sateratu)

Ada yang mengatakan, "Jangan percaya apapun, cukup percaya pada makanan." Saya sepakat dengan pernyataan tersebut. Makanan tak akan membuatmu  kecewa--setidaknya makanan yang memang disukai. Ia selalu tahu bagaimana cara menggembirakan orang-orang yang melahapnya. Apapun suasananya, orang-orang selalu merayakan atau memperingatinya dengan makanan. Mulai dari perayaan kelahiran, ulang tahun, kelulusan, pernikahan, punya anak, punya cucu, hingga peringatan kematian, dan kondisi lainnya. Pokoknya, di mana ada kumpul-kumpul, di sana ada makanan.

Pada dasarnya, saya orang yang doyan makan. Iya, doyan makan dalam artian makannya banyak, tapi yang dimakan hanya makanan-makanan yang memang digemari. Dan, saya beruntung tinggal di Indonesia yang memiliki beragam kuliner dari seluruh penjuru negeri. Dari sekian banyak macam makanan, sate adalah salah satu yang menjadi  favorit. Sate Madura, Sate  Padang, Sate Ambal, Sate Taichan, semua suka... bahkan Sate Kere pun.

Beberapa hari lalu, saat Mbak Vika dari KJog mengajak untuk dolan kuliner ke Sate Ratu, tak pakai lama langsung saya iyakan. Sebelumnya saya tak pernah mendengar rumah makan bernama Sate Ratu tersebut. Maklum, meski penggemar sate, saya biasa jajan sate di pinggir jalan. Karena rasa penasaran dan ingin mengetahui lokasinya, saya kemudian googling. Cukup terkejut dengan hasil yang saya dapatkan. Rumah makan yang terletak di Jogja Paradise Foodcourt ini ternyata sudah dikunjungi oleh para wisatawan dari 70 negara, dan pasti  akan terus bertambah. Alih-alih menghilangkan penasaran, saya justru semakin penasaran dengan Sate Ratu ini. Kok bisa dikunjungi oleh banyak wisatawan mancanegara?

Hari yang dinanti pun tiba. Jumat (02/11) sore saya bergegas menuju  lokasi untuk mencari jawaban atas rasa penasaran yang berhari-hari menghinggapi. Setibanya di sana, banyak teman sudah datang, saya pun langsung menyalami mereka dan juga pemilik Sate Ratu, Pak Budi Seputro.

Sembari menunggu hidangan yang sedang disiapkan, kami terlibat dalam obrolan yang seru dengan Pak Budi. Beliau bercerita kalau dulunya Sate Ratu ini  adalah angkringan yang terletak di kawasan Jalan Solo. Pada tahun 2016, Angkringan Ratu berubah konsep menjadi Sate Ratu, dari yang sebelumnya menyediakan berbagai menu khas angkringan menjadi khusus sate saja. Sate pun bukan sembarang sate, melainkan yang kualitasnya istimewa tetapi harga tetap bersahabat.

Menu utama sekaligus andalan milik Sate Ratu adalah Sate Merah. Menurut Pak Budi, base taste sate ini berasal dari sebuah daerah di Lombok, kemudian diolah sedemikian rupa dengan mengombinasikan bermacam bumbu khas dari berbagai  daerah sehingga menghasilkan cita rasa sempurna dan tak mudah dilupakan oleh siapapun yang menyantapnya. Diakui Pak Budi, proses dalam menciptakan rasa yang bisa diterima oleh banyak orang--bahkan orang luar negeri--merupakan hal yang paling menantang dalam bisnisnya.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Di tengah asyiknya mendengar penuturan Pak  Budi dan membayangkan kelezatan Sate Merah, satenya benar-benar tiba di meja. Kesan pertama begitu  menggoda. Berbeda dari sate ayam kebanyakan yang selalu ditemani bumbu kacang, Sate Merah ini pemberani, karena tak butuh teman. Jadi  sebelum dibakar, daging ayam yang telah dipotong dan disusun dalam tusuknya, dimarinasi (direndam dalam bumbu khusus) selama tiga jam. Bisa dibayangkan ya, bagaimana merasuknya bumbu  tersebut, apalagi bumbu merah ini bergelimang cabai. Tak hanya membuat  sate jadi berwarna merah, tapi juga akan membuat wajah si penyantap memerah.

Melihat penampakannya yang berhiaskan banyak isi cabai, membuat kemecer--perasaan semacam liur menjadi lebih banyak karena tergoda makanan. Saat gigitan pertama, yang terpikirkan oleh saya adalah, 'Satenya enak banget!' Bumbunya benar-benar diserap dengan sempurna. Wajar kalau kemudian sate ini tak butuh lagi bumbu pendamping. Proses pembakarannya pun pas banget, sehingga daging menjadi empuk, lembut, dan berair atau juicy, sebagai penanda daging dimasak dengan  perfect--tidak setengah matang, tidak juga kematangan. Sedangkan untuk tingkat kepedasannya, menurut lidah saya masih bisa ditolerir, tapi ada teman lain yang tidak tahan dengan pedasnya.

Beralih ke menu berikutnya yang juga merupakan primadona, ialah Lilit Basah. Ini siapanya Sate Lilit, ya? Saudaranya! Hehehe... betul, kok. Lilit Basah ala Sate Ratu merupakan transformasi dari Sate Lilit khas Bali, tentu saja dengan bumbu yang berbeda. Dulu, menu ini memang bernama Sate Lilit yang tusuknya menggunakan bambu berbentuk pipih. Seiring berjalannya waktu, permintaan Sate Lilit di  rumah makan yang mengutamakan keramahan dalam melayani pelanggan ini semakin meningkat, bahkan ada yang pesan dalam jumlah ratusan/ribuan  untuk sebuah acara. Akhirnya, Pak Budi menyiasati dengan menghilangkan tusuknya dan mengubah bentuk serta proses akhir memasaknya. Kalau Sate Lilit proses akhirnya dengan cara dibakar, maka Lilit Basah cukup digoreng sebentar dengan mentega. Dan, voila... jadilah Lilit Basah yang baru diluncurkan pada Juni 2018 lalu. Tanpa tusuk bukan saja lebih menghemat waktu dalam proses produksinya, tapi Sate Ratu juga ingin turut serta dalam misi menyelamatkan bumi dengan mengurangi penebangan serta mengurangi sampah.

sate lilit sebelum bertransformasi menjadi lilit basah (dok. ig @sateratu)
sate lilit sebelum bertransformasi menjadi lilit basah (dok. ig @sateratu)
Dibandingkan Sate Lilit, bentuk dan penyajian Lilit Basah lebih mengundang selera. Dengan taburan bawang goreng dan irisan mentimun, semakin ingin segera melahapnya. Menu andalan yang satu ini, rasanya kian mantap dengan adanya kuah yang agak manis tapi tidak eneg. Awalnya, saya mengira kuah tersebut memang sengaja dibuat untuk melengkapi Lilit Basah. Nyatanya menurut Pak Budi, kuah tersebut merupakan uap air hasil ketika proses pengukusan daging  yang telah dicincang.

lilit basah ala sate ratu (dok. pribadi)
lilit basah ala sate ratu (dok. pribadi)
Tak butuh waktu lama untuk membuat kedua piring di depanku licin tandas. Sepiring nasi hangat yang pulen dan seporsi Lilit Basah yang entah, susah menjabarkan rasanya saking istimewanya. Biasanya, saya makan Sate Lilit masih terasa ada parutan kelapanya, tapi dalam Lilit  Basah rasanya daging ayam semua, teksturnya padat, tapi saat dikunyah sangat empuk dan lembut. Menu ini cocok banget untuk penggemar olahan  ayam tapi tdak suka bagian berlemak atau kulitnya. Bumbu rempahnya juga begitu terasa, sesekali saya bisa merasakan daun jeruknya  yang sangat  kuat. Perpaduan gurih, manis, dan sedikit pedas yang memanjakan lidah. Pak Budi sempat mengatakan, Lilit Basah secara tidak langsung memang dibuat untuk mereka yang kurang bersahabat dengan pedas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun