[caption id="attachment_121493" align="aligncenter" width="680" caption="16th Yogyakarta Gamelan Festival (dok. Dhewi Buwana)"][/caption] [caption id="attachment_118734" align="alignleft" width="150" caption="YGF"]
Bertema Therapy for Life, dimaksudkan agar musik gamelan menjadi sarana manusia untuk memperbaiki hidup. Gamelan adalah media kebersamaan, di tengah ketidakteraturan kondisi saat ini, gamelan bisa menjadi terapi untuk menuntun manusia kembali ke kehidupan yang harmonis. Gamelan tak hanya dipandang sekadar alat musik., namun gamelan memiliki filosofi yang mengedepankan harmonisasi dan mengandung nilai-nilai kemanusiaan mengenai kebersamaan, kesabaran, dan sopan santun.
10 menit sebelum pertunjukan digelar, pintu utama pun dibuka, dan untuk memasukinya masih butuh perjuangan. Para panitia sudah menghadang di anak tangga pertama dan menggeledah isi tas yang dibawa. Bagi yang membawa makanan atau minuman langsung diminta turun dan menitipkannya dulu. Di dalam hall tidak boleh membawa makanan dan minuman. Selain itu juga diperingatkan tidak boleh merekam dalam bentuk apapun, mengambil gambar boleh namun dilarang menggunakan blitz ataupun flash.
Saya yang datang bersama Ika dan ketiga teman saya lainnya, bisa lolos masuk tanpa menitipkan air minum yang kami bawa (hihihi...). Kami pun langsung mencari tempat duduk yang sekiranya nyaman dan bisa leluasa untuk menyaksikan permainan gamelan para seniman handal, baik dari komunitas/sanggar di Jogja ataupun seniman-seniman dari luar negeri, seperti Jepang, Amerika, Taiwan, dan Malaysia.
[caption id="attachment_118736" align="aligncenter" width="300" caption="suasana ketika pintu utama belum dibuka (dok. @gamelanlovers)"]
Tepat pukul 20.00 WIB pentas dimulai dengan kemunculan dua sosok absurd, yang mengaku sebagai MC. Tak lama kemudian kedua MC tersebut meminta para rekan wartawan untuk naik ke panggung dan secara spontanitas mereka diminta memainkan seperangkat gamelan. YGF pun resmi dibuka oleh penampilan rekan-rekan media yang oleh kedua MC mendapat sebutan Kelompok 5W+1H. Mengapa rekan-rekan media yang menjadi pembuka festival semalam? Hal tersebut dimaksudkan sebagai wujud terima kasih penyelenggara YGF kepada media yang selama 16 tahun ikut mengobarkan semangat mencintai dan memainkan gamelan kepada masyarakat awam. Penampilan 5W+1H tersebut juga untuk memberi kesempatan ngeksis pada para jurnalis, mereka yang selama ini bertugas memberitakan, ganti akan diberitakan.
Penampilan selanjutnya adalah dari Sanggar Anak Sang Bumi, yaitu kelompok karawitan anak dengan rentang usia 4-15 tahun. Dalam durasi 1 jam mereka menampilkan 3 komposisi berjudul Burung dan Semut, Jurit Cilik, dan Petani. Selain memainkan gamelan, anak-anak tersebut juga nembang sehingga masing-masing judul memiliki cerita. Yang paling menarik adalah Jurit Cilik, mereka seolah menjadi prajurit kecil yang siap bertempur untuk mempertahankan dan memperkuat jati diri bangsa melalui olah rasa bermain gamelan. Sanggar yang dipimpin oleh Mas Nanang tersebut patut didukung karena berisi anak-anak sebagai generasi penerus budaya bangsa.
[caption id="attachment_118745" align="aligncenter" width="300" caption="anak-anak pun jago bermain gamelan (dok. antaranews"]
Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa (YPBSM) menjadi penampil selanjutnya. Sebelum beraksi dengan permainan gamelannya, mereka terlebih dahulu melakukan aksi teatrikal kecil yang menceritakan suasana musim panen di tengah sawah. Cing Co Hung, demikianlah judul komposisi yang dimainkan oleh YPBSM. Awalnya sempat merasa aneh dengan judul tersebut dan saya mengira akan berbau-bau musik Mandarin, namun saya salah besar. Cing Co Hung merupakan wujud penggambaran dari suara burung-burung. Tak hanya bermain gamelan dan berteater, muda-mudi YPBSM juga nembang dan menari menirukan suara dan gerak burung. Ada yang menarik ketika 4 penari tiba-tiba turun ke deretan penonton dan masing-masing mengajak satu orang naik ke panggung dan ikut menari. Di bagian akhir mereka juga mengajak para penonton yang memenuhi ruangan untuk bertepuk tangan dengan irama tertentu dan ikut menembangkan Cing Co Hung. Penampilan selama 30 menit dari YPBSM tersebut patut diacungi jempol, karena menurut Mas Anon sebagai arranger Cing Co Hung, mereka hanya berlatih 2 kali. Yang lebih mengagumkan lagi, mereka bukanlah pemain gamelan namun para penari. Ya, memang yang namanya gamelan itu bisa dicintai dan dimainkan oleh siapa saja, begitu kata Mas Anon.
[caption id="attachment_118738" align="aligncenter" width="300" caption="Cing Co Hung dari YPBSM (dok. radarjogja)"]
Roro Mendut, Coming Home, dan Story menjadi komposisi yang dimainkan oleh kelompok karawitan Wong Yogya (SMA Bopkri I) berkolaborasi dengan MAKOTO & KUMIKO dari Jepang. Kelompok dengan anggota sekitar 30 orang ini bermain selama hampir 1 jam dan menjadi penampil yang paling meriah, berbagai macam tarian dan drama mereka persembahkan dalam mengiringi gamelan, bahkan mereka juga sempat memainkan ansamble. Alat musik yang diharmonikan dengan gamelan pun macam-macam, mulai dari gitar listrik hingga saksofon. Yang menarik dalam penampilan mereka adalah adanya drama kecil yang dimainkan oleh orang Jepang yang mengisahkan seorang pemimpin dari Kerajaan Telur yang mencarikan jodoh untuk salah satu warganya. Dengan lancar orang Jepang tersebut berbahasa Indonesia dan penampilannya berhasil mengocok perut seisi ruangan.