KETIKA sebuah peristiwa menjadi sejarah penguasa, cara pandang berbeda adalah kemampuan siasat atas tafsir. Arifin C. Noer dengan biaya pemerintah Orde Baru membuat film mengenai peristiwa Gerakan 30 September 1965. Film dengan judul Pengkhianatan G 30 S/PKI bercerita dalam cara pandang ‘pemenang’ tentang peristiwa terbunuhnya enam jenderal Angkatan Darat dan keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) di dalamnya. Penuh dengan berbagai sisipan yang berisi cuplikan dan kutipan dari dokumen resmi ‘negara’ atas terjadinya peristiwa tersebut, akan sangat sulit untuk membedakan apakah itu film atau kenyataan yang pernah berlangsung.
Menautkaitkan Fakta dan Asumsi
Film ini diawali dengan gambar-gambar replika yang ada di dinding monumen peringatan peristiwa G 30 S di Lobang Buaya. Mengandalkan pada kemampuan narasi dan dukungan dokumen yang menjadi bagian penting dari visual yang disajikan, penonton diajak untuk membaca sejarah sebuah peristiwa dari cara pandang penguasa. Penekanan-penekanan pada berbagai dokumen negara ini tentu harus dipahami sebagai sebuah pesanan pendana film yaitu pemerintah Orde Baru.
Dipenuhi dengan pengambilan gambar dengan ekstrim close up tidak saja memberi tekanan pada penonton tetapi juga seringkali membuat penonton bertanya ulang. Inilah yang kemudian sebenarnya diinginkan oleh sutradara, bahwa rasa tanya dalam diri penonton adalah sebuah kebutuhan penting untuk terus membawa penonton menyelesaikan menonton film dan tetap misterius. Seperti gambar-gambar tangan Soekarno mengambil gelas berisi air putih, kamera kemudian tidak bergerak beralih mengambil aktivitas Soekarno melakukan apa dengan gelas tersebut. Pandangan kamera yang juga sekaligus pandangan penonton hanya terpaku pada meja dan asbak. Gambar ini berlangsung cukup lama. Tentu saja dengan cara begini penonton akan bertanya, apa yang dilakukan oleh Soekarno dengan segelas air putih tersebut. Memang kemudian ada visual dimana gelas kembali ditaruh di atas meja dan air dalam gelas berkurang. Secara pasti fakta yang berlangsung adalah bahwa segelas air putih yang diambil oleh tangan Soekarno dan setelah beberapa saat kemudian air dalam gelas berkurang. Dalam kondisi demikian penonton akan diajak berasosiasi bahwa segelas air putih tersebut berkurang karena diminum. Cara berpikir seperti inilah yang menjadi kata kunci dalam film ini.
Hal yang sama juga dilakukan ketika film harus menanamkan nalar pada penonton bahwa Presiden Soekarno mempunyai kedekatan dengan PKI. Selain dengan narasi yang dibangun di depan dan kliping-kliping koran ditampilkan di layar. Film ini melakukan cara yang berbeda untuk meyakinkan penonton dan menggiringnya pada wilayah kepastian dan tafsir. Kedekatan Soekarno dengan PKI divisualkan dengan adegan Soekarno berada di kamar kepresidenannya dan kemudian kamera bergerak datar ke kanan dan kiri untuk mengambil buku-buku yang tersusun di rak buku kamar Soekarno. Visual buku yang dipilih misalnya buku karya Mao Tze Tung, Lenin dan sebagainya. Lantas sebuah close up atas sebuah buku berjudul Politics Has No Moral menjadi bagian penting dalam mengasosiasikan siapa dan bagaimana Soekarno.
Serupa adalah pada bagian setelah peristiwa G 30 S terjadi. Untuk membangun pengetahuan penonton akan keterlibatan Angkatan Udara dalam peristiwa tersebut. Selain dengan dialog yang dijelaskan oleh Jenderal Soeharto juga berbagai pengambilan gambar yang berkait-menaut Angkatan Udara, seperti pengambilan gambar di peta lapangan udara Halim Perdanakusuma dan kemudian kamera bergerak pada Lobang Buaya. Hal ini dilakukan beberapa kali. Dengan cara-cara serupa usaha untuk membangun pengetahuan tentang peristiwa-peristiwa yang berada di antara fakta dan asumsi dilakukan dengan visual yang menggiring ke arah tafsir, sebuah wilayah abu-abu.
Asosiasi demikian inilah yang secara terus-menerus hendak dibangun oleh sutradara. Di ruang inilah sebenarnya sutradara yang membuat film dengan ‘tekanan’ tetap membuka ruang-ruang yang bisa dilihat sebagai bagian ‘hal yang belum pasti’. Dengan kata lain sutradara film ini hendak berkata bahwa adegan dan gambar dalam film diramu dengan ‘fakta dan asumsi’. Pesan sutradara dapat juga ditangkap mata dengan beberapa kali diambilnya kalender, bahkan dalam beberapa adegan kalender diambil panning ke kanan lalu kiri, memberi tekanan pada mata untuk melihat kalender tersebut. Visual kalender tersebut adalah pesan kepada penonton bahwa peristiwa terjadi bukan pada 30 September 1965 tetapi 1 Oktober 1965. Perlakuan ini ditegaskan oleh gambar-gambar jam dinding yang berada pada jarum peralihan menuju hari yang baru, seperti ketika jarum jam memberi tahu waktu sedang ada pada pukul 01.00 atau 03.00 dini hari. Hal-hal seperti ini, tentu saja tidak mungkin dilakukan secara terang-terangan. Ini pula yang kemudian menjelaskan kenapa dalam film ini cahaya begitu minim, bahkan dalam banyak gambar warna dominan adalah abu-abu.
Hanya Tuhan Yang Tahu
Kemampuan film ini untuk membuat detail-detail memang sangat luar biasa. Detail-detail inilah yang kemudian bergerak secara aktif dengan intensi yang diulang-ulang memberi tekanan pada penonton pada perasaan mencekam dan misterius. Kemampuan membangun sejarah takut inilah yang kemudian secara khusus menjadi bagian yang secara terstruktur menjadi sebuah perasaan akan adanya ancaman. Ancaman inilah yang dirasakan oleh pemerintah Orde Baru. Penuangan perasaan khawatir akan adanya ancaman inilah yang kemudian diinginkan juga dirasakan oleh penonton (baca: masyarakat). Sehingga kemunculan-kemunculan gambar ekstrim close up bibir D.N. Aidit Ketua CC PKI, atau bibir dan gigi tokoh-tokoh PKI lainnya yang sedang merokok atau menghirup kopi menimbulkan kesan ancaman yang menakutkan dan memuakkan.
Cara pandang penguasa inilah yang terus menerus dipakai pembuat film. Bahasa pandang penguasa ini diterjemahkan dengan pengambilan gambar dari atas dan secara ekstrim secara vertikal ke bawah. Adegan seperti ini ada lebih dari lima kali diambil oleh sutradara. Misalnya pada Sidang Pleno CC PKI 28 Agustus 1965 yang membahas tentang Dewan Jenderal. Sidang pleno ini dapat diketahui dari teks yang tertulis pada layar, tetapi sebagai rapat internal dari sebuah organisasi yang konon sangat tertutup bukankah seharusnya materi rapat tidak diketahui oleh siapapun selain mereka yang ikut di dalam rapat. Pengambilan sudut gambar yang sama juga dilakukan dalam adegan rapat pelaksanaan penculikan di markas PKI. Beberapa rapat diambil dengan cara yang sama, tentu saja ini hanya berlaku bagi rapat yang dilakukan oleh PKI. Karena walaupun rapat Jendral Soeharto dengan Brigjen Sabirin Muchtar dan Letkol Ali Moertopo di Markas Kostrad pada 1 Oktober 1965 diambil dengan sudut pandang yang tinggi juga, tetapi tidak seesktrim pengambilan rapat-rapat PKI dimana kamera secara vertikal mengambil gambar di bawahnya. Dengan visual yang demikian, film ini hendak bicara bahwa memang ada fakta tentang sidang dan rapat yang dilangsungkan oleh PKI tetapi persoalan apa isi dan bagaimana rapat itu berlangsung selain tafsir penguasa mungkin hanya Tuhan yang tahu.
Rapat-rapat selain diambil dengan sudut pandang yang tinggi juga diambil secara tersamar dari balik kaca jendela atau pintu. Beberapa bahkan hanya siluet saja. Dengan bahasa gambar yang berbeda pembuat film tampaknya selain hendak memberi batas dan jarak dengan adegan yang tengah berlangsung juga hendak mengatakan bahwa peristiwa tersebut merupakan hal yang samar-samar dan belum jelas. Sekali lagi kemampuan pembuat film untuk membuka ruang bagi tafsir lain atas ‘fakta’ yang disodorkan oleh penguasa sebagai bahan pembuatan film menjadi sangat kaya akan berbagai cara melihat sebuah peristiwa.
Demikian pula ketika pembuat film diam-diam menelikung, dengan secara tersamar mampu menyodorkan adegan yang sebenarnya dilakukannya untuk membuat penonton bertanya. Seperti ketika pengambilan gambar ransel dan bekal tentara RPKAD yang dimobilisasi untuk menghadapi pemberontakan yang tengah berlangsung. Gambar diambil oleh sutradara dari balik kaki-kaki kursi dengan ransel dan bekal yang sudah siap tertata rapi. Melihat ini pertanyaan juga akan tertata rapi di benak penonton, dengan waktu yang sangat singkat dan mendesak ternyata RPKAD bisa dengan segera dan rapi untuk dimobilisasi bahkan ransel dan bekalnya pun sudah siap. Atau dari sudut yang lain jangan-jangan semua sudah dipersiapkan sebelumnya. Tafsir yang lain juga dapat dilihat tentang keterlibatan Angkatan Udara. Ketika Letkol Sarwo Edhi Wibowo dan beberapa perwira Angkatan Darat hendak berangkat ke Istana Bogor dengan menggunakan helikopter, visual kemudian mengambil helikopter bertuliskan AURI. Kamera kemudian cukup lama hanya mengambil tulisan AURI di ekor helikopter saja. Jika benar Angkatan Udara terlibat tentu akan sangat sulit bagi perwira Angkatan Darat untuk menggunakan fasilitas Angkatan Udara bukan?
Penciptaan Ancaman dan Ketakutan
Selain visual-visual yang digunakan untuk menciptakan efek misterius, tekanan-tekanan juga menghasilkan ketakutan yang seolah selalu mengancam secara terus-menerus. Pengkondisian atas hal ini dilakukan dengan sempurna oleh visual yang bisa saja dengan tiba-tiba mengambil gambar close up atas benda-benda atau properti yang memberi kesan ancaman dan ketakutan, seperti silet, arit, luka menganga dan sebagainya. Kesan ancaman ini pula yang diusahakan dibangun sejak awal dan memberi ikatan emosional yang sangat pribadi dengan penonton. Seperti penyajian kehidupan keseharian tokoh-tokoh baik di dalam maupun di luar peristiwa seolah hendak melibatkan penonton secara emosional pada peristiwa yang sama.
Salah satu adegan tersebut adalah adegan Ade Irma Suryani, anak perempuan Jenderal A.H. Nasution ketika sedang menyanyi di Taman Kanak-Kanak atau ketika dia mematut diri dengan seragam tentara yang mirip kepunyaan ayahnya. Pun adegan kedekatan anak-anak Jenderal A.H. Nasution dengan Kapten Piere Tendean merupakan usaha sistematis membangun ikatan emosional penonton dengan film ini. Sajian yang indah, harmonis dan bahagia tersebut kemudian harus direnggut dengan kekejaman penculikan yang dilakukan oleh PKI. Emosi penonton semakin lebih teraduk lagi dengan usaha-usaha secara ekstrim memperlihatkan proses pembunuhan para Jenderal.
Semua visual tersebut mendapatkan ruhnya dengan skoring yang dibuat sedemikian mencekam oleh Embi C. Noer. Suara ritmis menegang diputar berulang-ulang sebagai latar suara setiap visual yang ada. Skoring mencekam ini muncul ketika tokoh-tokoh PKI atau peristiwa-peristiwa yang terkait dengan adegan PKI disajikan dalam layar. Termasuk di dalamnya adegan penculikan para Jenderal yang didukung dengan gerak perlahan adegannya. Kombinasi inilah yang kemudian membuat penonton tidak hanya ditawan secara mata tetapi juga disandera secara telinga. Ketegangan menjadi benar-benar berada tepat dalam atmosfir penonton. Seolah-oleh semua berada di sekitar penonton: ancaman dan ketakutan tersebut.
Film ini, selain sebagai film propaganda, dalam banyak hal dapat dikatakan sudah mampu mencapai tujuannya yaitu melibatkan penonton (sekali lagi baca: masyarakat) dalam peristiwa G 30 September 1965. Lebih lanjut keterlibatan penonton ini juga mengambil tempat dalam cara berpikir bahwa yang menjadi aktor dalam peristiwa tersebut adalah PKI, sehingga tepat pada titik yang diinginkan adalah ketakutan penonton akan ancaman PKI. Dengan melihat tujuan film ini, maka dapat dikatakan film ini hampir sempurna. Sayangnya ada beberapa hal yang mengganggu ketika menikmati film dengan durasi 220 menit ini. Pertama, teks putih untuk menjelaskan setiap adegan yang seringkali ditumpuk di atas bagian putih sehingga kesulitan untuk mendapatkan kejelasan atas teks tersebut. Kedua, pemotongan gambar yang kadang tidak disertai dengan transisi, sehingga perpindahan setiap adegan tidak halus tetapi sangat tiba-tiba. Seperti pada perpindahan dari adegan tentara yang melakukan operasi pembersihan di wilayah Halim Perdanakusuma lalu tiba-tiba beralih ke gambar Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Yang kedua ini tentu harus dipahami bahwa editing tidak hanya berdasarkan aspek film saja tetapi juga terkait dengan sensor negara.
Diakui atau tidak film ini telah menciptakan bangunan ketakutan ancaman akan PKI di hampir seluruh masyarakat Indonesia. Sehingga sebagai proyek ingatan film ini sukses besar, apalagi didukung dengan diputarnya film ini setiap tahun selama masa Orde Baru. Sekalipun demikian sutradara film ini tampaknya tetap memberi ruang atas tafsir pada film Pengkhianatan G 30 S/PKI ini. Tafsir inilah yang divisualkan dengan sangat hati-hati oleh sutradara. Ruang yang disediakan ini pula yang mengajak penonton untuk secara diam-diam melawan konstruksi ingatan yang dipasokkan. Disinilah asosiasi, sudut pandang, cara melihat dan mengungkap teks dalam visual yang kabur dan abu-abu harus dilihat dengan kecermatan dan ketelitian yang lebih dibanding melihat visual nyata dengan cahaya maksimal dan terang. Karena di wilayah itulah sejarah peristiwa 30 September 1965 sebagai sebuah peristiwa yang masih belum tuntas dapat dilihat dengan cermat dan hati-hati. [sg wibowo]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H