Lebaran sudah lewat beberapa hari. Namun suasana itu belum berlalu. Silaturahmi, saling bersalaman dan bermaaf-maafan masih berlangsung.
Dalam permenunganku, datanglah Kahlil.
Pakde, orang mau silaturahmi saja kok dihalang-halangi, kata Kahlil kepadaku.
Ada yang salah denganmu? aku memancingnya.
Memangnya aku salah apa ya?
Kudengar, kamu dibilang melanggar etika. Melanggar norma. Begitukah?
Ya, itu kata mereka. Tetapi etika dan norma mana yang kulanggar? Kata pamanku, tak ada yang salah!
Benar, itu kata mereka dan kata pamanmu. Tapi…, aku mulai berpendapat.
Kalau aku boleh berpendapat, dalam hal ini kebenaran itu tidaklah mutlak. Tergantung dari sisi mana menilainya, dan dengan kepentingan apa  mengukurnya.
Jadi, Pakde ikut menyalahkan aku ya? Kahlil menyela.
Bukan begitu, jawabku. Yang jelas ada dua pendapat tentang dirimu, tentang langkahmu. Ada yang membenarkan dan ada yang menyalahkan. Jadi, bagi mereka yang menganggap langkahmu itu salah, selagi kamu masih bersikukuh dengan sikapmu, ya sulit untuk menerimamu. Mereka punya aturan dan norma tersendiri, yang berbeda dengan yang kamu yakini.
Jadi Pakde, aku harus merubah sikapku agar mereka menerimaku? tanya Kahlil.
Haha, rumit jadinya, jawabku sambil mengusap kening. Rasanya tak mungkin, Kahlil.
Tak ada kesempatan lagi untuk baikan dengan mereka? Begitukah Pakde? Seolah Kahlil kehabisan akal.
Tunggu saja, jawabku. Waktu lah yang akan memberikan kesempatan. Karena memang kesempatan itu sama dengan waktu. Pakde juga berharap dan berdoa, solusi terbaik pasti tercapai.
Kahlil pun lega. Dan ia segera berlalu seiring berlalunya permenunganku.
Jambi, 21 April 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H