Kali Bendo tak lepas dari hidup keseharian sebagian masyarakat Desa Pojok. Airnya yang jernih mengalir sepanjang waktu, mancur melalui dua bilah bambu yang ditambat pada bibir tebing. Melalui pancuran itulah sebagian masyarakat memperoleh sumber air abadi. Di sanalah mereka membersihkan badan, membersihkan pakaian dan beberapa jenis alat rumah tangga. Dari pancuran itu pula mereka memperoleh air bersih untuk masak dan minum.
Jalan setapak menurun berkelok nan terjal dan becek itu, dari Kali Bendo mengantar ke tepian Sungai Progo. Di saat-saat tertentu, jalan itu menjadi jalur hilir mudik orang mencari ramban, atau rumput pakan ternak, para penjual bambu, dan anak-anak pengusung gesik.
Ya, di ujung jalan ke bawah dari Kali Bendo itu , tempat para penjual bambu behrneti sejenak, ada semacam pantai kecil. Di sanalah anak-anak laki-laki bermain. Dengan sukaria mereka melepas baju dan celana, meletakkannya di atas batu dan menindihnya dengan batu yang lebih kecil agar tidak terbawa angin. Kemudian mereka menceburkan diri ke sungai itu, dan berenang-renang kesana-kemari dengan penuh ceria.
Di pantai kecil itu pula tersedia tambang limpahan erupsi Gunung Merapi, berupa pasir, batu kerikil, batu-batu kecil dan besar. Sambil bermain di sungai, anak-anak membawa selembar bagor, yaitu karung plastik kira-kira seukuran 20 kilogram. Karung itu digunakan untuk membawa pasir, atau istilah mereka ngusung gesik. Karung diisi pasir, kemudian anak-anak memanggulnya atau menyungginya di atas kepala dan dibawa ke atas. Di sebuah area yang datar di ujung lereng, pasir itu dituang, ditimbun, dan dikumpulkan. Mereka mengangkat pasir itu dua, tiga, sampai lima kali sehari. Setelah cukup banyak, pasir itu dijual. Dengan takaran blek, yaitu sebuah kaleng berukuran sekitar 30 x 30 x 50 cm, pasir itu dirupiahkan.
Anak-anak yang rajin dan cukup kuat bisa menimbun pasir cukup banyak, dan memperoleh rupiah cukup banyak pula. Ya, anak-anak kala itu cukup tekun dan jujur. Rupiah yang mereka peroleh dengan bersusah payah, tidak dihabiskan untuk kesenangan, melainkan untuk membantu orangtua.
Kali Bendo tidak mereka lupakan. Pada angkatan pasir yang terakhir, biasanya mereka berhenti dahulu di pancuraan Bendo untuk ambyur membersihkan badan.
Cerita di atas adalah suasana sebelum tahun 1990an. Kini, di jaman milenial ini, hiruk pikuk di Kali Bendo tidak lagi terjadi. Dua bilah bambu yang tertambat di bibir tebing dengan air jernih yang mancur sepanjang waktu, tak lagi terlihat. Wanita-wanita cantik dengan pembungkus badan ala kadarnya, dan mengguyurkan badan di bawah pancuran itu, tak ada lagi. Pria-pria tak lagi bisa dengan leluasa tanpa selembar kain menikmati terpaan air pancuran, dengan tangan  kiri nggegem burung, dan yang kanan menggosok-gosok daki di seluruh badan.
Hilir mudik orang mencari rumput, pria-pria berotot penjual rakit bambu, dan anak-anak pengusung gesik, semuanga tinggal kenangan. Kenangan yang tak bisa dilupakan oleh sebagian masyarakat Desa Pojok, yang ikut menjadi pelaku dan saksi cerita sekitar 30, 40, 50 tahun yang lalu. Ya, cerita-cerita itu tinggallah sebuah cerita kenangan, yang akan semakin terlupakan seiring berlalunya waktu. Cerita dan kisah yang menggambarkan suatu kesatuan alam ciptaan, dan bagaimana manusia memelihara dan memuliakan alam dan Sang Pencipta dalam kondisi dan situasi saat itu. Itulah sebuah kearifan lokal yang semakin menghilang, tergantikan oleh budaya milenial. Sebuah dunia yang hilang, Kali Bendo - The Lost World.
Ya, kini situasi dan kondisi berganti. Kemajuan jaman dan perkembangan tehnologi telah membuka cakrawala serta pengetahuan dan pemahaman baru tentang alam ciptaan, dan bagaimana manusia memuliakan alam dan Sang Pencipta. Kesatuan alam ciptaan dan manusia tetaplah terjaga. Manusia tetap memuliakan alam ciptaan dan Sang Penciptanya dalam bentuk dan aktualisasi yang berbeda.
Setelah Kali Bendo ditinggalkan orang, suasana sekitar menjadi sepi dan tak terawat. Namun masyarakat Desa Pojok tidaklah melupakan Sang Pencipta. Mereka tetap merupakan masyarakat religius, memuji dan memuliakan Sang Pencipta menurut keyakinan mereka masing-masing.
Jambi, 17 April 2021