Mohon tunggu...
Tum G
Tum G Mohon Tunggu... karyawan swasta -

http://gembiraloka.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen, Lelaki Lusuh Bermata Sedih

22 September 2012   07:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:00 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jam enam petang, langit mendung. Lonceng berdentang, menggetarkan beberapa pasang telinga. Ada sepuluh orang sedang khusyuk di dalam gereja. Merekalah para pendosa yang merasa perlu datang, memenuhi panggilan untuk bertobat. Vero berlutut di bangku belakang. Beberapa kali ia menarik nafas panjang, menahan di dada selama mungkin, lalu perlahan menghembuskannya lewat mulut. “Tuhan, kasihanilah kami…Tuhan, kasihanilah kami…” Doa itu terus diulang-ulang agar pikirannya tidak ngelantur. Namun bayangan itu tetaplah keluar masuk tanpa permisi. Sesekali ia tersenyum sambil mengusap mata yang sembab.

“Kenapa kau tak menatap mataku, Vero?”
Pertanyaan yang ia dengar dua belas tahun yang lalu dari lelaki lusuh bermata sedih itulah yang kini lebih gaung dari lonceng gereja di telinga Vero. Waktu itu, Vero hanya diam, menahan emosi bergejolak. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya hingga lelaki lusuh bermata sedih itu pergi dan tak pernah kembali. Baju lengan panjang warna tanah yang digulung sebawah siku, sepatu sandal kulit hitam, dan blue jean belel yang dipakai oleh lelaki lusuh bermata sedih pada saat perpisahan itu masih segar dalam ingatannya. Sebenarnya ingin sekali Vero memeluk lelaki itu untuk terakhir kalinya. Tetapi pada waktu itu, lelaki itu dingin mematung. Padahal, ia adalah lelaki terhangat diantara banyak lelaki yang pernah ia jumpai. Setiap kali berjumpa Vero, walau tak jarang tak sepatah kata pun terucap dari bibirnya yang hitam, belum pernah ia pergi tanpa meninggalkan sebuah pelukan hangat dan sebuah tepukan di bahu Vero. Tetapi kali itu, ia pergi meninggalkannya begitu saja.

Tiba-tiba ada tangan yang menepuk bahu Vero. Ia pun terperanjat. Dengan berdebar-debar, ia menoleh ke samping kiri.“Mau ngaku dosa saja kok nangis segala. Kayak ABG aja.” Vero berusaha tersenyum sambil mengusap mata dan pipinya yang basah. “Aku tunggu di mobil ya Ma, Lisa barusan selesai les piano.”bisik Frans lalu melangkah keluar gereja.

Vero semakin kalut. Ia kini bimbang, apakah jadi mengaku dosa atau tidak. Tetapi dorongan itu begitu kuat. Mungkin dengan mengakuinya, jiwaku menjadi tenang, pikirnya. Beberapa minggu yang lalu ia terdaftar di dalam grup Gembala Utama di facebook. Grup itu dikelola oleh seorang pastur paroki yang baru saja ditugaskan memberikan pelayanan sabda melalui media maya dalam jejaring sosial facebook. Vero tak pernah ketinggalan membaca setiap renungan bertema yang diterbitkan. Ia selalu memberikan komentar dan meninggalkan tanda jempol pada setiap renungan yang ditulis oleh pastur itu. Pengakuan Dosa menjadi tema renungan yang diterbitkan dua hari yang lalu. Renungan itu ditutup dengan sebuah undangan untuk mengaku dosa di gereja paroki setiap hari jumat pukul enam petang. Itulah sebabnya, kemarin Vero bilang pada Frans bahwa ia ingin sekali mengaku dosa. Tetapi ia menyadari bahwa ada dorongan lain yang lebih kuat dari renungan bertema pengakuan dosa itu. Entah mengapa belakangan ini ia sangat merindukan tatapan lelaki lusuh bermata sedih itu. Itulah masa lalu yang menggugat kesadarannya, menuntut pengakuan dan pengampunan, pikirnya. Ia tak ingin lelaki itu menjadi hantu di siang dan malamnya, selalu menterornya dengan sebuah pertanyaan yang tak terjawab: Kenapa kau tak menatap mataku, Vero ?

Terdengar pintu kamar pengakuan dosa dibuka. Kini tibalah gilirannya, ketika sembilan orang yang lain telah pergi seusai mengaku dosa. Jantungnya kian kencang berdebar-debar. Setelah menenangkan diri cukup lama, perlahan ia bangkit berdiri. Ia baru sadar, kakinya terasa sakit dan sulit sekali digerakkan setelah kurang lebih satu jam berlutut dengan mata sembab. Perlahan ia masuk ke kamar pengakuan , menutup pintu, kemudian berlutut.
“Romo, saya…”
Seperti ada yang menyumpal tenggorokannya. Hanya isak kelu yang kemudian keluar bersama air yang mengalir dari sepasang mata sendu. Sementara itu, sang pastur diam tercenung. Beberapa saat kemudian pastur itu menyodorkan sapu tangan. Vero mengusap mata dan pipinya, kemudian memberikan secarik kertas. Pastur itu membacanya. Matanya berkaca-kaca. Ditatapnya wajah Vero dalam-dalam.
“Kenapa kau tak menatapku, Vero ?”
Seperti halilintar, kalimat itu menyambar jantung Vero.
Vero hanya diam menunduk. Dadanya gemuruh. Ah, ternyata suaranya tak berubah. Hanya nada bicaranya yang tak lagi seperti dulu. Seperti dilihatnya kembali baju lengan panjang warna tanah yang digulung sebawah siku, sepatu sandal kulit hitam, dan blue jean belel yang dulu dipakai lelaki lusuh bermata sedih_mata yang bagi Vero dulu adalah teluk, tempat dimana matanya bisa berenang-renang seperti ikan yang bermain-main di sela-sela bebatuan, menelusuri sisi-sisi teluk yang dalam penuh misteri. Di dalamnya ia temukan gelembung-gelembung air yang indah mempesona.
“Ibu Vero tak perlu menjawab pertanyaan saya, tak harus menatap saya, tetapi juga tak seharusnya takut menatap saya. Sudah selayaknya jika masa lalu diterima sebagai sebagai kenangan, bukan lagi kenyataan. Bukankah waktu telah mengajarkan kita untuk rela bersabar, untuk menunggu jawaban yang tepat pada waktunya? Dan kita hidup di masa sekarang. Di saat ini. Di sini, dengan kenyataan bahwa Anda, ibu Veronika sedang datang kepada saya, Romo Prasetyo untuk mengaku dosa.”
Vero terperanjat. Ada tangan yang menepuk bahunya. Itulah tepukan bahu yang dulu selalu diberikan lelaki lusuh bermata sedih untuk berpamitan. Tetapi si penepuk bahu itu kini tak melangkah pergi. Tangannya tak beranjak dari bahunya yang gemetar.
“Marilah sekarang kita berdoa tobat bersama-sama.” suara pastor itu terdengar berat, menyeret hening ke dalam kamar pengakuan.
“Allah yang maha rahim…”
Terbata-bata Vero mengucapkan doa tobat bersama pastur itu.
“Allah yang maha rahim…
“aku menyesal atas segala dosa-dosaku. Sebab patut aku Engkau hukum. Terutama sebab aku telah menghina Engkau, yang mahamurah dan mahabaik bagiku. Aku benci atas segala dosa-dosaku. Dan berjanji dengan pertolongan rahmat-Mu, hendak memperbaiki hidupku, dan tidak akan berbuat dosa lagi. Ya Allah, ampunilah aku orang yang berdosa ini”
Tangan pastur itu membimbing Vero untuk berdiri. Entah apa yang kini dirasakan Vero . Perlahan matanya menuju ke mata pastur itu. Mata milik lelaki yang dulu lusuh dan bermata sedih. Beberapa saat Vero menatap, tetapi tak ditemukannya lagi teluk yang dulu penuh misteri itu. Tak ada pula kesedihan sebagaimana dulu selalu terpancar di mata itu.

“Lama amat sih, Ma!”
Vero hanya tersenyum lalu memeluk Frans agak lama. Frans merasa ada sesuatu yang berbeda. Ya, benar. Perutnya terasa lapar.
“Kelamaan nih…keburu laper!” gerutu Lisa.
Mobil meluncur meninggalkan halaman gereja. Seorang Pastur duduk merenung di dalam kamar pengakuan dosa. Matanya berkali-kali mengulangi membaca tulisan pada secarik kertas yang diterimanya dari Vero
Maaflkan aku. Dua belas tahun yang lalu aku tak sanggup menjawab pertanyaanmu. Sesungguhnya aku tak rela melepaskanmu pergi, meninggalkanku untuk menanggapi panggilan Tuhan menjadi seorang pastur. Sebab terlalu dalam cinta kau ukir di relung hatiku. Tetapi setelah sekian lama, waktu telah mengajarkan padaku apa itu cinta. Terimakasih atas segala kenangan indah bersamamu. Selamat berkarya, Romo Prasetyo!

Jam sepuluh malam laptop menyala. Pastur itu siap bekerja, menjalankan tugasnya sebagai pelayan sabda, mewartakan kabar gembira melalui media baru, jejaring sosial facebook.
Apa yang Anda pikirkan?
Itulah kalimat yang selalu muncul di beranda facebook, yang biasa ia isi dengan berbagai macam renungan. Kali ini Romo Prasetyo tidak menulis apapun menjadi status terbaru. Ia hanya menjawab pertanyaan itu di dalam hatinya, di keheningan malam sabtu.
Saya sedang memikirkan sebuah kata sandi baru sebagai pengganti kata sandi lama, VERONIKA, sandi yang selama ini saya pakai untuk membuka akun facebook saya.

Depok,
sebulan setelah 16 Mei 2010
(hari komunikasi sedunia ke-44)
pernah dimuat di Majalah Hidup, Juni 2010
http://gembiraloka.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun