Badan Legislatif (Baleg) mulai membahas Rancangan Undang-undang Larangan Minuman Keras. Kabarnya diusulkan dari tiga partai politik. Alasannya demi kesehatan yang dirugikan dari konsumsi minuman alkohol ini (minol).Â
Saya selaku rakyat biasa merasa tidak keberatan untuk UU ini. Hanya saja, setelah menghabiskan beberapa hari untuk mencermati dan ngobrol di sana-sini ternyata tidak semudah itu untuk lalu disahkan. Apalagi, Indonesia ini masyarakatnya multikultural.Â
Misalnya, kita sebut saja salah satunya Bali dan NTT yang sudah memiliki produk minuman keras sendiri, hasil dari tangan-tangan peracik tradisional. Apakah legal? Jelas, karena Pemda sendiri yang mengesahkannya.Â
Sophia, nama minol asal NTT. Diresmikan Pemprov setempat pada tahun 2019. Kemudian, Arak Bali yang terkenal digemari turis asing. Setiap proses yang dilakukan oleh masyarakat setempat dengan cara yang sangat tradisional sehingga bisa disebut sebagai kearifan lokal.Â
Selama beberapa tahun ke belakang, minuman keras tersebut dijadikan sebagai sumber penghasilan utama oleh masyarakat-masyarakat pedalaman. Apakah setelah UU ini disahkan lantas pemerintah akan memberikan jaminan pekerjaan kepada mereka?Â
Bukan maksud untuk menolak, tapi ada baiknya pemerintah melakukan kajian lebih mendalam. Karena kabarnya, minuman alkohol tradisional ini juga termasuk ke dalam minuman yg dilarang dalam RUU Minol itu. Berarti, hasil kearifan lokal kita juga hilang dong? Mau nuntut agar masyarakat lebih kreatif dengan menciptakan yang baru?Â
Semoga saja semudah itu.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H