Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Ke Mana Perginya Jiwa setelah Meninggalkan Tubuh?

3 November 2023   14:16 Diperbarui: 3 November 2023   14:48 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kematian adalah hukuman atas dosa yang diberikan oleh Tuhan di Taman Eden, dan berlaku bagi kita semua. Bahkan bagi orang yang tidak mempercayai Tuhan, tidak mungkin baginya untuk menghindari kematian. Kita semua akan mati dan kita tahu itu. Namun, jarang sekali kita menemukan seseorang yang khawatir tentang nasibnya itu, termasuk mereka yang memasuki usia tua.

Saya adalah seorang pria tua, 77 tahun. Saya tahu bahwa kematian sudah dekat, namun saya tidak merasakan kematian itu di dalam diri saya. Saya merasakan kehidupan, bahkan ketika saya menyadari bahwa saya tidak memiliki lagi kekuatan untuk melakukan banyak hal. Fenomena internal ini disebabkan oleh jiwa dan keabadiannya. Setiap dari kita memiliki jiwa yang abadi, dan dengan demikian, jiwa itu selalu muda.

Mungkin pernah kamu sadari,  bahwa dalam diri terdapat semacam kepribadian ganda: ketika kita berpikir tentang diri kita, kita melihat wajah dan tubuh yang sangat berbeda pada usia tua kita. Saat melihat diri kita di cermin atau di gambar, kita terkejut melihat penurunan dan kerentaan tubuh kita yang tak terelakkan. Inilah aspek diri kita yang sangat berbeda dari yang kita rasakan dalam diri. Dan ini juga merupakan bukti dari realitas jiwa kita yang abadi.

Tubuh adalah instrumen bagi jiwa. Sama seperti alat kerja yang kita gunakan adalah instrumen bagi tangan kita yang menggunakannya, demikian yang jiwa yang mengarahkan tubuh kita untuk bertindak. Ketika instrumen tersebut rusak dan tidak berfungsi lagi dengan baik, maka kita akan mencoba memperbaikinya. Dan ketika instrumen tersebut tidak berfungsi lagi sama sekali, kita lalu membuangnya. Misalnya, dulu kita biasa menulis dengan pena kayu berujung baja. Ujung pena terdiri dari dua bagian yang digabungkan. 

Kita mencelupkan ujung pena ke dalam tinta dan kemudian menulis di atas kertas. Semuanya baik-baik saja selama pena masih berfungsi. Tetapi pada saatnya ujung pena menjadi tua, menggores kertas, dan dua bagiannya mulai terpisah. Upaya dilakukan untuk tetap menyatukan mereka agar pena itu tetap bisa menulis. Tetapi setelah beberapa waktu dan banyak usaha untuk memperbaikinya, ujung pena tidak lagi akan bisa menahan tinta atau bahkan patah. 

Pada titik ini, apa lagi yang bisa dilakukan? Pena itu akan dibuang ke tempat sampah dan menjadi berkarat. Tetapi mungkin juga bisa menjadi ujung pena yang baik lagi, jika dimasukkan ke dalam tungku bersama dengan potongan baja lainnya. Seperti itulah kira-kira kebangkitan setelah kematian.

Analogi di atas menjelaskan seperti apa kematian alami kita. Tubuh, sebagai sarana jiwa, kehilangan kekuatannya dan mulai membusuk. Kita mencoba menyembuhkan tubuh, agar berfungsi seperti sediakala, tetapi tidak akan sebaik sebelumnya. Setelah beberapa waktu, tubuh semakin rusak hingga akhirnya semua organ terpengaruh. Akibatnya, jiwa tidak dapat lagi menggunakan tubuh, dan kemudian ia pun harus meninggalkan tubuh. Di sinilah kematian terjadi. Iman Katolik mengajarkan bahwa kebangkitan tubuh akan datang, dan harapan kita adalah bahwa Daya Ilahi akan memulihkan bahkan sisa terkecil tubuh kita. Seperti biji tumbuhan mati dan melahirkan tunas baru, demikian kehidupan akan bersemi kembali.

Setiap usaha untuk menghindari kematian, dengan bantuan dokter dan obat-obatan, seringkali hanya mempercepat kematian. Sama seperti terlalu banyak usaha untuk memperbaiki ujung pena akhirnya akan mengakibatkannya patah. Tubuh menjadi semakin tidak mampu melakukan aktivitas jiwa. Ia mulai mati, bagian demi bagian, karena organ-organ internal tidak lagi berfungsi dan mulai membusuk. Jantung mulai melemah, peredaran darah melambat, dan pernapasan menjadi sulit, karena paru-paru kehilangan kekuatan dan menjadi terhambat. Akibatnya, terjadi penumpukan asam karbonat, tubuh semakin lemah, dan akhirnya mengalami kematian yang tak terelakkan.

Lalu apa yang terjadi pada jiwa? Karena jiwa adalah mitra bagi tubuh, bagi setiap bagiannya, maka jiwa akan tetap berada dalam tubuh, bahkan selama masih ada satu sel kecil yang masih hidup dan dapat diaktifkan oleh jiwa. Kemudian, ketika sel terakhir ini gagal dan tubuh mulai membusuk secara total, jiwa akhirnya terpisah dari tubuh.

Setiap rasa sakit yang dialami tubuh, tidak saja sebagai akibat dari sensitivitas organ, yang mengalir ke otak melalui sistem saraf, tetapi juga adalah hasil dari kurangnya aksi jiwa, ketika ia tidak dapat bergerak sepenuhnya melalui organ-organ tubuh. Rasa sakit ini seperti kematian sebagian, yang dapat berubah dari rasa sakit menjadi kejang, seperti ketika kita harus mencabut gigi busuk.

Kematian, karenanya merupakan rasa sakit total, dan pemisahan jiwa dari tubuh adalah kejang yang mengerikan, yang hanya bisa reda dengan adanya kesakitan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun