Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Peran Media Informasi: di Antara Marx dan Habermas

15 November 2015   15:38 Diperbarui: 15 November 2015   15:54 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Masyarakat dapat maju dan menjadi lebih baik, bila setiap perubahan lahir dari aksi tranformatif. Aksi transformatif merupakan perubahan secara terencana dan terukur, yang merupakan aksi bersama semua pihak atau golongan. Tidak ada pihak yang merasa menang atau kalah, sebab aksi transformatif semata-mata merupakan buah dari pikiran rasional yang telah diuji oleh banyak orang. Tindakan tranformatif terlepas dari kepentingan-kepentingan sosial politis yang hanya mengakomodir pihak tertentu saja.

DI MANAKAH POSISI IDEAL MEDIA INFORMASI?

Sesungguhnya Media informasi tidak berfungsi demi sekedar menyampaikan informasi dari berbagai penjuru dunia. Sebab, informasi apa pun yang disampaikannya mempunyai efek, kasat mata atau tidak kasat mata, terhadap perubahan, baik terhadap diri orang per orang atau terhadap situasi sosial masyarakat. Media informasi juga menjadi tempat atau sarana perubahan, sebab media informasi merupakan tempat atau sarana mencuatnya wacana dan ide-ide. Apa yang sebelumnya bersifat privat dan terbatas pada orang atau kelompok komunitas tertentu, menjadi bersifat publik setelah diangkat oleh media informasi. Apa yang sebelumnya terbatas dalam lingkup geografis tertentu, berubah menjadi tanpa batas, limitless, oleh kehadiran media informasi, sejauh tangan-tangan media informasi itu dapat menggapai.

Pertanyaan sekarang adalah perubahan seperti apa yang mau dibawa oleh media informasi? Bila mengikuti perubahan model Marx, maka perubahan yang dikehendaki bersifat revolusioner dan mengakomodir kepentingan-kepentingan tertentu. Perubahan seperti ini pasti akan mendatangkan konflik dari pihak-pihak yang bertikai di dalamnya. Media informasi tidak tampil sebagai penengah yang menampung semua ide, tetapi bertindak menurut kepentingan, entah kepentingan pemilik modal, penguasa politik, atau kepentingan rakyat banyak. Pemberitaan dan suara editorial akan dibuat sedemikian sehingga hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu saja. Ujung-ujungnya, tentu ada pihak yang merasa menang, dan ada pihak yang merasa kalah atau tersudut.

Bisa jadi keberpihakan media informasi untuk hanya mengakomodir pihak-pihak tertentu, pada dasarnya mempunyai maksud baik, sebagaimana Marx yang mengakomodir kepentingan buruh, karena menganggap itu baik untuk menyejahterakan rakyat secara keseluruhan dan merata. Namun, sebaik-baiknya atau sebenar-benarnya suatu ide atau pendapat, tidak akan lebih baik sebelum ia diuji dan dipersandingkan dengan ide-ide yang bertentangan.

Media informasi yang mengikuti gaya berfilsafat Marx selalu bersifat provokatif, mengancam kemapanan. Secara terang-terangan atau tidak ia berusaha mendorong masyarakat untuk bersikap revolusioner dan mengganggu kemapanan yang telah tercipta. Apa yang dilakukan salah satu pihak selalu saja mempunyai celah untuk dipersalahkan. Benar atau salah dilihat secara hitam putih. Media informasi seperti ini menghabiskan energinya hanya untuk mengritik dan mengecam, tanpa memberi kesempatan yang setara untuk memuji atau mengapresiasi.

Tidak bisa dipungkiri media informasi model Marxisme ini masih banyak dan bertahan di Indonesia. Kehadiran internet, malah semakin melahirkan media-media berita daring berideologi marxis, yang alamat dan susunan redaksinya disamarkan atau disembunyikan. Dan ironisnya, kebanyakan media daring berideologi marxis tersebut, justru dihuni oleh media daring berlabel agama.

Sebaliknya, media informasi yang mengikuti model perubahan menurut model Habermas, adalah media informasi yang mengakomodir kepentingan semua pihak. Fungsi media informasi bukan sebagai pembela, penilai, atau penentu keputusan terhadap seliweran ide atau argumen, tetapi ia tampil sebagai penampung. Semua pendapat, seberapa kontroversial pun ditampung dan diberi ruang untuk tampil dan memberi argumentasinya. Publik sendiri yang memutuskan mana yang paling baik dan benar untuk diikuti. Model seperti inilah yang, menurut saya, merupakan model ideal media informasi.

Media informasi ideal model Habermas adalah media informasi yang terbuka terhadap banyak kemungkinan. Sesuatu yang positif dan baik bisa datang dari mana saja dan siapa saja. Kebenaran bukan monopoli dan hasil keputusan suatu pihak tertentu saja, tetapi merupakan olah reflektif setelah mempertimbangkan banyak pandangan. Karena itu, semua pihak diberi kesempatan dan ruang yang setara, adil. Tidak ada prediksi atau pandangan utopis tentang wacana atau kebenaran seperti apa yang pada akhirnya menang. Masyarakat tidak diperlakukan seperti anak kecil yang dituntun dan diarahkan tindakannya, tetapi diberi tawaran dan kepercayaan untuk menentukan tindakan transformatif demi mendatangkan sebuah perubahan yang lebih baik.

Model media informasi seperti ini bisa mengganggu kemapanan, bisa menjaga kemapanan, atau bisa juga menciptakan kemapanan baru. Yang terpenting adalah apakah kemapanan tersebut lahir dari sebuah aksi transformatif atau tidak? Apakah kemapanan tersebut merupakan buah dari kehendak bersama, atau sekedar dipaksa oleh pihak yang menang konflik karena memiliki sumber daya ekonomi dan politik yang lebih kuat?

Beberapa media nasional di Indonesia, saya melihat memiliki idelisme media informasi model filsafat Habermas ini. Untuk media cetak, Harian Umum Kompas bisa menjadi sebuah contoh yang baik, meski belum sempurna. Contoh yang jauh lebih sempurna adalah forum citizen jurnalisme. Kompasiana menjadi contoh yang baik untuk ini. Di sini, siapa saja boleh menulis dan meluangkan ide. Tidak ada yang namanya ide berbahaya dan harus disensor. Sebuah tulisan baru dan hanya akan dihapus apabila telah melanggar batas-batas keadaban yang bersifat menimbulkan kebencian, menyerang, melecehkan, memfitnah, atau melanggar privasi pribadi-pribadi tertentu. Tetapi selama ide atau gagasannya dapat dipertanggungjawabkan dengan dalil-dalil logis rasional, saya kira para admin Kompasiana akan mengapresiasi dan memberi tempat. Tidak ada batasan ruang atau tempat bagi siapa saja untuk mengkritisi tulisan-tulisan yang ada di dalamnya. Selama semua mau menyampaikan ide dengan menulis, selama itu pulalah Kompasiana memberi tempat. Ingat, ide bukan fitnah. Selamat berkarya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun