Saya sedikit tersadar, bahwa hari ini tanggal 2 Mei adalah hari Pendidikan Nasional. Pada hari bersejarah ini, kita sebagai bangsa sebenarnya seringkali diajak untuk mengenang para peletak dasar dan pahlawan pendidikan; mengenang orang-orang seperti Ki Hajar Dewantoro yang telah membawa pelita, terang bagi kegelapan bangsa kita saat itu. Namun, momen peringatan hari Pendidikan Nasional semestinya tidak berhenti mengenang para pahlawan tersebut, lalu selesai. Tidak ada gunanya mengenang para pahlawan, tetapi di saat yang sama kita justru sedang kehilangan semangat, roh, spirit, filosofi kependidikan. Tidak ada gunanya merayakan Hari Pendidikan Nasional dengan upacara bendera dan perlombaan-perlombaan meriah, sementara tanpa sadar atau sadar kita sedang berada dalam proses pembodohan akut.
Nampaknya akan terlalu banyak dan panjang daftar litani yang harus kita untai satu persatu untuk mengungkap pembodohan seperti apa yang sedang kita alami sebagai bangsa saat ini. Namun, agar tidak disebut sebagai fitnah, maka saya akan coba paparkan beberapa upaya pembodohan tersebut dalam beberapa bidang kehidupan negeri ini (menurut refleksi dan pengamatan saya tentunya).
Sebelumnya, pembodohan yang saya maksudkan lebih pada upaya mendistorsi realitas, sehingga apa yang tidak benar dan tidak wajar justru dianggap sebagai kelaziman dan kewajaran.
1. Pembodohan Pendidikan
Persoalan tentang mutu pendidikan tentang perlu dijadikan sebagai persoalan pertama dan utama, sebab di hari Pendidikan Nasional, kita justru sedang merayakan sebuah ironi pendidikan. Pembodohan tentang mutu pendidikan yaitu dengan memutarbalik logika mutu pendidikan antara angka kelulusan kualitatif dan angka kelulusan kuantitatif. Pendidikan di negeri ini nampaknya hanya mengapresiasi dan terlena dengan jumlah kelulusan kuantitatif. Bagaimana tingkat pemahaman dan pengetahuan anak didik sesungguhnya justru diabaikan. Kelulusan 100 persen selalu menjadi tujuan dan patokan keberhasilan, meski kelulusan tersebut adalah hasil katrol. Apalagi dengan kebijakan baru Menteri Pendidikan yang menyerahkan kuasa menentukan kelulusan kepada pihak sekolah. Guru, Kepala Sekolah, Kepala Dinas Pendidikan, Bupati, Gubernur, Menteri, dan sampai Presiden akan berlomba-lomba menepuk dadak bangga ketika prosentase kelulusan dari tahun ke tahun terus meningkat. Tidak penting dari mana dan bagaimana upaya mencapai angka tinggi tersebut. Bagaimana aplikasi ilmu pengetahuan di lapangan, sebagai bukti nyata kualitas pendidikan jarang sekali dipersoalkan. Inilah ketidakwajaran yang masih kita anut sampai hari ini, sebagai hasil pembodohan.
Saya pribadi justru lebih percaya dan menganggap bermutu sekolah dengan tingkat kelulusan rendah dibanding sekolah yang kelulusannya tinggi atau 100 persen. Di jaman ini dan bagi bangsa ini, nilai kejujuran menjadi sangat mahal. Bukan hal baru dan hal aneh lagi bagi banyak pelaku pendidikan untuk mempermainkan mutu dan kelulusan siswa. Rasa berdosa dan bersalah karena meluluskan siswa yang semestinya tidak lulus tidak dianggap sebagai dosa, sebagai skandal, karena dipandang sebagai bagian dari sistem dan merupakan instruksi langsung turun temurun dari pejabat tertinggi sampai kepada guru mata pelajaran. Paling tidak, dengan adanya sekolah yang berani tidak meluluskan siswa, berarti masih ada jejak kejujuran dan keberanian untuk mempertahankan mutu pendidikan sebagaimana adanya. Ya, saya terpaksa harus berpikir seperti itu.
2. Pembodohan Politik
Pembodohan jenis ini mungkin yang paling sering kita alami. Terlalu panjang dan luas membahas pembodohan politik yang terjadi saat ini. Saya menyempitkannya pada pembodohan oleh partai politik dan oleh politikus saja.
Pembodohan oleh partai politik nampak dalam kebijakan parpol yang sering sekali tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Rasanya semakin sulit menemukan parpol ideologis yang sungguh-sungguh setia pada ideologinya. Ideologi bagi parpol sekarang justru hanya menjadi dagelan menjelang kampanye. Ketika kepentingan berubah, ideologi pun berubah mengikuti haluan kepentingan yang lebih sering didasari atas emosi. Rakyat telah kehilangan pegangan dan kepercayaan. Ironisnya, para petinggi partai tidak pernah merasa bersalah dengan pengkhianatannya tersebut. Ketika musim pilkada tiba, rakyat tidak lagi melihat partai, tetapi melihat figur. Demikianpun para politisi, bisa masuk partai apa saja, asal mempunyai kendaraan politik. Rakyat yang tidak memilih berdasar partai, dan politisi yang bisa masuk keluar ke segala partai merupakan bukti paling kasat mata kegagalan partai, yang telah kehilangan ideologinya. Sayang kegagalan partai seperti ini sudah dianggap sebagai kewajaran dan kelaziman di negeri ini. Hasil dari sebuah pembodohan tentu saja.
Pembodohan oleh politisi mempunyai daftar yang lebih panjang lagi dibanding pembodohan oleh parpol. Malah ironisnya, rakyat yang heran dengan janji yang tidak ditepati oleh politisi justru dianggap sebagai rakyat yang bodoh dan terlalu lugu. Rakyat Indonesia menganggap pengingkaran janji kampanye sebagai kewajaran. Yang penting bagi mereka ketika musim kampanye tiba, adalah aliran fulus dari politisi. Soal janjinya terdahulu, tidak lagi penting untuk ditagih dan dipertanyakan. Tidak heran, politisi bobrok yang sering kali tampil di layar kaca dengan pernyataan konyol, bodoh, kontroversial selalu terpilih lagi dan lagi. Saat ini kita mungkin hanya bisa mengerem gigi, gigit jari, dan berniat tidak memilihnya lagi. Namun, ketika tiba saat pencoblosan, kita mengalami amnesia massal dan memilih si politisi bobrok lagi. Aneh, tapi nyata. Hasil dari pembodohan tentu saja.
3. Pembodohan Ekonomi
Aktor utama pembodohan ekonomi tidak lain adalah para pejabat negeri ini. Keberhasilan ekonomi hanya dilihat dari sebagian sisi, dan dijadikan patokan seolah bangsa ini makin sejahtera. Misalnya, negara dianggap makin sejahtera apabila pendapatan perkapita rakyat Indonesia makin tinggi. Padahal pendapat perkapita bisa saja makin tinggi karena semakin banyak orang kaya, yang hasil kekayaannya diperoleh dari korupsi. Sementara bisa saja, orang miskin tetap tidak lebih baik dan tidak berubah nasibnya. Rakyat juga mudah sekali terpesona dengan janji kenaikan gaji misalnya lalu menyanjung-nyanjung pemimpinnya sebagai pemimpin yang berhasil dan peduli. Padahal bisa saja prosentase inflasi malah lebih tinggi dari prosentase kenaikan gajinya. Alih-alih kenaikan gaji, malah mereka sedang mengalami 'penurunan gaji'. Itulah hasil pembodohan.
Pembodohan yang cukup marak saat ini yaitu liberalisasi harga BBM. BBM tidak lagi disubsidi, dan biaya subsidi dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan program-program ekonomi kerakyatan. Atau, agar subsidi bisa dinikmati oleh rakyat miskin yang lebih berhak, begitu kira-kira alasan pemerintah mencabut subsidi BBM. Rakyat lalu bersujud syukur ketika menerima dana 400 ribu perbulan, seolah-olah program pro rakyat pemerintah telah betul-betul dilaksanakan. Padahal, apalah artinya 400 ribu tersebut dengan efek domino naik turunnya harga BBM. Apalagi program penguatan ekonomi, seperti ekonomi kreatif, dan pembangunan infrastruktur sebagaimana yang dijanjikan belum terlihat tanda-tandanya juga sampai hari ini. Yang terlihat hanyalah gaduh politik dan gaduh hukum yang seperti tidak habis-habisnya.
4. Pembodohan Hukum
Gaduh hukum yang saya singgung sebelumnya adalah hasil dari pembodohan hukum oleh aparat-aparat hukum negeri ini. Pembodohan hukum nampak jelas  dalam pelbagai upaya kriminalisasi orang-orang yang serius dan berani mengungkapkan kebenaran. Terhadap komisioner dan anggota KPK misalnya. Masih belum luntur dalam ingatan kolektif kita, bagaimana upaya kriminalisasi terhadap pimpinan KPK terdahulu, sekarang marak lagi kriminalisasi terhadap anggota KPK, Novel Baswedan. Hukum seolah dijadikan alat pemuas nafsu balas dendam dari oknum-oknum tertentu. Ketika didesak, alasan klise selalu ditampilkan: laporan masyarakat harus ditindaklanjuti dan hukum harus ditegakkan terhadap siapapun juga. Padahal semua orang tahu, kalau penegakkan hukum tersebut oleh aparat kita bersifat tebang pilih, sesuai kepentingannya. Kalau aparat penegak hukum terus konsisten memainkan skenario penegakan hukum ini, maka suatu saat rakyat Indonesia pun akan menganggap kriminalisasi sebagai kewajaran dan tidak akan menentangnya lagi. Lihat saja, presiden dan wakil presiden sendiri tidak bertindak tegas dan jelas, bukti bahwa mereka sudah menganggapnya sebagai kewajaran. Inilah pembodohan hukum yang sedang terjadi di negeri kita.
5. Pembodohan Revolusi Mental
Kategori pembodohan yang agak nyeleneh dari kategori-kategori sebelumnya...:) Namun, saya rasa penting dan merupakan luapan bentuk kekecewaan saya yang mendalam terhadap pemimpin negeri. Ya saya kecewa, karena ternyata revolusi mental yang saya pahami ternyata tidak seperti yang dijanjikan. Ternyata revolusi tidak semata-mata bertujuan atau mengarah kepada kebaikan, atau mengubah secara radikal apa yang tidak baik menjadi baik. Tetapi revolusi juga bisa berarti mengubah secara radikal, pembalikan total dari yang sebelumnya baik menjadi tidak baik. Demikianpun dengan revolusi mental ini. Saya terlanjur dibodohi karena kesalahan saya sendiri yang hanya melihat kemungkinan pertama saja. Saya salah menganggap bahwa revolusi mental yang dimaksud bertujuan memperbaharui mental bangsa dan rakyat Indonesia ke arah yang lebih baik, yang ternyata tidak selamanya demikian. Penjelasan dan contoh, bisa dilihat dalam pembahasan saya di tulisan ini.
Ah, sudah dululah membahas pembodohan-pembodohan di negeri ini. Semakin banyak mengulas pembodohan, hanya semakin menambah daftar sakit hati saja.
Semoga Hari Pendidikan Nasional menyadarkan kita akan pembodohan-pembodohan di negeri. Sesungguhnya, kesadaran akan pembodohan dan kebodohan merupakan langkah pertama untuk keluar dari kebodohan itu sendiri. Happy Saturday night.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H