Mohon tunggu...
Patrix W
Patrix W Mohon Tunggu... Penulis - just an ordinary man

If God is for us who can be against us? (Rome 8:31)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Yang Salah dari 4 x 6 = 6 x 4 =24

23 September 2014   04:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:53 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cukup menarik menyimak kehebohan di media sosial baru-baru ini. Hasil Pekerjaan Rumah seorang anak kelas dua Sekolah Dasar dinyatakan salah oleh gurunya, karena menulis: 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 = 4 x 6 = 24. Ada yang pro, ada juga yang kontra dengan penilaian yang diberikan guru. Yang pro, beralasan bahwa sangat penting menanamkan konsep matematis pada anak didik sejak dini. Bahwa, dalam matematika, yang lebih penting adalah proses, bukan hasil. Yang kontra, berpandangan bahwa yang lebih penting adalah hasil.

Dalam ilmu matematika yang saya dapatkan sejak SD, sudah jamak diajarkan bahwa hasil dari 4 x 6 = 6 x 4 = 24. Mempersoalkan konsep yang terdapat di balik 4x6 dan di balik 6x4, dianggap memperumit apa yang sebenarnya tidak rumit. Kita menjadi terbiasa dengan kesalahan, dan hasil dari pembiasaan terhadap yang salah adalah menganggap kesalahan sebagai kebenaran. Tidak heran, banyak orang marah pada guru matematika SD tersebut. Contoh lain, yang sering kita anggap sebagai benar dari apa yang sesungguhnya salah, misalnya nilai π (phi). Banyak orang diajarkan bahwa π = 22/7 = 3,14. Karena hanya sering menggunakan dua angka di belakang koma, kita menganggap nilai π sebagai hasil dari 22 dibagi 7, padahal tidaklah demikian.

Saya termasuk orang yang pro, yang setuju dengan penilaian sang guru, yaitu bahwa 4 x 6, tidak sama dengan 6 x 4. Boleh-boleh saja hasilnya sama, namun kedua bentuk perkalian tersebut adalah dua term berbeda yang memiliki referensi berbeda. Letak 4 dan 6 yang berbeda, melahirkan konsep dan referensi yang berbeda pula. Kesalahan fatal pendidikan matematika selama ini, yang lebih mementingkan hasil perhitungan, daripada konsep ada dalam rumus dan referensi yang hendak diacu. Buruknya, dengan serta merta, hasil perhitungan yang sama membuat orang berpikir bahwa rumus dan konsep matematis yang digunakan pun sama. Boleh saja ada banyak jalan ke Roma, tetapi setiap jalan yang digunakan mempunyai karakteristik yang berbeda. Setiap jalan mewakili sebuah referensi yang berbeda. Tujuan yang sama, tidak serta merta membuat kita menyamakan jalan yang berbeda.

Dalam pembelajaran sains, seperti yang saya amati, banyak guru atau pun profesor, yang mengajarkan jalan pintas untuk mendapatkan hasil dari sebuah perhitungan matematis. Rumus yang agak panjang, dengan perhitungan yang sedikit rumit, sering dicarikan jalan tikus, shortcut, agar lebih cepat mendapatkan hasil. Tentu tips atau trik tersebut bagus, dan tentu saja berguna, apalagi bila para pelajar sedang dikejar waktu, atau berada dalam ruang ujian. Namun, dalam situasi normal, sebaiknya tidak menggunakan ‘rumus-rumus baru’ dalam memecahkan sebuah persoalan matematis atau sains. Menggunakan rumus asli, tetap merupakan pilihan terbaik, sebab rumus yang benar mewakili konsep matematis yang benar pula. Yang perlu diingat, bahwa hasil bukan merupakan tujuan akhir, tetapi pemahaman akan konsep dan proses penyelesaian yang sesuai dengan konseplah yang menjadi tujuan.

Pemahaman akan konsep menjadi penting untuk tidak menjadikan sebuah ilmu, apalagi ilmu matematika, sebagai ilmu mati. Mengabaikan konsep dalam ilmu, sama saja dengan mengabaikan potensi sebuah ilmu. Ilmu pengetahuan, bukan saja tidak berkembang, tetapi juga tidak dapat diterapkan dalam kehidupan nyata dan bagi lahirnya invensi baru.

Negara kita sebenarnya memiliki potensi amat besar untuk melahirkan ilmuwan baru. Sayangnya, model pengajaran sains yang terlalu menekankan hasil, dan lebih sering mengabaikan konsep, hanya melahirkan generasi penghafal rumus. Pelajar sering menjadi bingung, tidak tahu bagaimana menerapkan rumus ketika berhadapan dengan persoalan harian yang sebenarnya sederhana saja. Contoh kecil, memahami konsep dan mencari prosentase dari sebuah angka saja masih membuat banyak orang bingung. Sampai hari ini, ada banyak orang yang dengan gampangnya menyebutkan angka prosentase yang lebih dari seratus. Ini kenyataan.

Apa yang dilakukan oleh guru matematika kelas dua Sekolah Dasar, saya pikir, adalah merupakan pembiasaan yang baik dan patut diapresiasi. Yang benar memang harus dibiasakan, sebab yang benar pasti mendatangkan kebaikan. Ada upaya untuk keluar dari paradigma berpikir lama, yang berorientasi hasil, ke paradigma baru, yang berorientasi konsep dan proses. Guru tersebut telah menemukan, meminjam istilah Thomas Kuhn, anomali dalam paradigma lama yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan pembelajaran sains. Anomali tersebut, yang saya yakin telah banyak orang temui pula, memang tidak dapat serta merta dapat meruntuhkan paradigma yang telah diyakini sebagai kebenaran dalam waktu yang cukup panjang. Paradigma lama, hanya akan bisa cepat runtuh, ketika kita terus memperkenalkan dan mengganggunya dengan anomali-anomali, yang menunjukkan betapa menyimpangnya paradigma berpikir yang kita pegang selama ini.

Bangsa Jerman, bangsa yang terkenal unggul dalam penemuan akan produk-produk berkualitas, mempunyai filosofi menarik, yang bertolak belakang pandangan kita pada umumnya. Menurut mereka, apa yang sukar jangan dibuat (kelihatan) mudah. Dan jika kita pernah membaca buku, atau tulisan-tulisan berbahasa Jerman, maka akan ditemukan kalimat yang begitu panjang dan cukup melelahkan bagi yang belum terbiasa. Bisa saja, kita beranggapan bahwa hal tersebut menyalahi kaidah berkomunikasi yang baik dan efektif, yang menuntut penyampaian ide secara singkat, padat, jelas. Namun, apa yang mereka lakukan tersebut, nampaknya baik untuk melatih daya pikir dan konsentrasi. Bahwa apa yang kelihatan panjang dan bertele-tele, tidak serta merta dapat disederhanakan, atau disamakan dengan bentuk yang lebih sederhana, sebab dengan demikian ada konsep atau gagasan tertentu yang akan juga hilang atau dikorbankan. Penyamaan dua hal yang konsepnya tidak sama, hanya akan melahirkan kebingungan-kebingungan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun