Mohon tunggu...
Sevri Coa
Sevri Coa Mohon Tunggu... Editor - Alumnus STFK Ledalero

Sebagai salah satu pemuda di tapal batas, yang giat memperhatikan kehidupan sosial-budaya dan politik serta ikut berpartisipasi mengembangkan kemampuan literasi masyarakat tapal batas NKRI-RDTL sektor barat antara wilayah Nai'benu dan Oecusse.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kampung Adat Ki'at, Sebuah Cerita untuk Dikenal dan Dikenang

6 November 2022   16:52 Diperbarui: 6 November 2022   17:00 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ki'at, begitulah nama dari sebuah kampung adat, yang letaknya keberadaannya tidak jauh dari tapal batas sektor barat NKRI-RDTL, antara distrik Oecuse dengan wilayah Nai'benu.

Secara administrasi, kampung adat Ki'at ini berada di Desa Bakitolas, Kecamatan Naibenu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Letaknya berada di pedalaman atau jarak dari pemukiman masyarakat Desa Bakitolas kurang lebih 5 - 6 km.

Menariknya bahwa kampung adat Ki'at ini keberadaannya tidak jauh dari garis perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. Sekitar 3-4 km, kita sudah berada tepat di titik nol garis perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste. 

Akses jalan hingga tiba di kampung adat Ki'at ini masih melewati jalan setapak. Bagi orang - orang yang tinggal di kampung adat ini, atau mereka yang sudah pernah berkunjung ke sana tentu mudah bagi mereka.

Namun, bagi orang yang pertama kali hendak berkunjung ke sana hendaknya ia menyediakan tenaga yang ekstra karena harus melewati beberapa tanjakan yang tajam serta melewati hutan rimba. Tapi perjalanan ke sana pasti menjadi sebuah kenikmatan bagi seorang petualang sejati.

Ketika tiba di kampung adat Ki'at ini, mata kita akan disajikan dengan keindahan alam yang natural. Sejuk dan dingin udara akan dirasakan pada tubuh. Apalagi pada saat awan turun menyelimuti kampung adat tersebut, kita seolah-oleh berada di negeri di atas awan. 

Suasana indah kampung adat ini semakin memikat di hati ketika telingan kita mendengar kicauan burung yang terbang kesana kemari. Kita hanya menyaksikan aktivitas dari orang - orang setempat secara alamiah.

Hidup meraka jauh dari modernitas. Makanan ala tradisional, lampu pada malam hari hanya berandalkan pelita yang terbuat dari kaleng bekas yang diisi minyak tanah. Atau pelita yang bahan dasarnya terbuat dari buah damar sebagai pilihan terakhir jika belum pergi membeli minyak tanah.

Perlu diketahui bahwa kampung adat Ki'at ini dihuni oleh sekelompok  masyarakat yang kental dengan tradisi dan adat istiadat masyarakat suku Dawan. 

Sekelompak masyarakat yang mendiami kampung adat ini berasal suku koa sasi, atau sering kali dijuluki dengan nama meo bahan (meo bahan adalah bahasa Dawan, yang terdiri dari dua suku kata yakni meo dan bahan. Apabila diterjemahkan ke bahasa Indonesia maka meo artinya panglima perang dan bahan artinya pagar. Maka secara harafiah meo bahan mengandung arti panglima perang yang ditugaskan untuk menjaga musuh di pagar/batas wilayah). 

Hal di atas sebagaimana diafirmasikan oleh Marthino Tasain Koa, seorang tokoh adat yang berasal dari kampung adat tersebut bahwa meo bahan sebagai panglima perang, tidak ikut berpartisipasi dalam perang di medan perang, ia ditugaskan oleh usif (raja) untuk menjaga musuh di pagar/batas wilayah.

Nah, lebih lanjut, kampung adat Ki'at ini terdapat tujuh rumah yang beratap alang-alang atau di kalangan masyarakat suku Dawan disebut ume kbu-bu (rumah tradisional masyarakat suku Dawan)

Lima rumah tersebut dihuni oleh penduduk dalam suku Koa, sedangkan dua rumah lainnya merupakan rumah adat dari suku Koa. Menariknya kedua rumah adat tersebut dibagi satu untuk perempuan dan satunya untuk kaum laki-laki. 

Di kisahkan bahwa pada saat acara adat dilaksanakan maka baik perempuan maupun laki - laki, dari usia dini sampai dewasa, ikut melaksanakan ritual adat di masing-masing tempat/rumah adat yang telah dibagikan.

Ritual adat dilaksanakan secara terpisah hanya saja untuk penuturan adat diambil alih oleh tua adat dari seorang laki - laki. Bahkan pada saat makan pun dilaksanakan secara terpisah di tempat/rumah adat masing-masing.

Orang-orang yang mendiami kampung adat ini masih menjunjung tinggi nilai tradisi dan adat-istiadat suku Dawan. Dalam relasi antar individu, mereka saling mengenal sebagai keluarga yang lahir dari satu keturunan.

Hingga mereka berelasi seperti Olif-tataf (adik-kaka), feto-naof (saudara-daudari). Orang yang berada diluar diri mereka atau tamu yang berkunjung ke sana dipandang sebagai aokbian (bagian dari dirinya sendiri).

Bagi orang yang hendak mengunjungi kampung adat tersebut pun perlu mentaati aturan adat yang telah dihayati di sana. Ada tempat-tempat tertentu, yang sakral, tidak boleh dikunjungi kalau belum meminta izin dari tua adat. 

Penulis: Sevri Koa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun