Sayup-sayup kudengar alunan musik, mungkin karena aku kurang mengerti mengenai musik tradisional, namun rasanya alunan gamelan itu terdengar seperti aliran Bali. Tak sengaja kudengar juga seorang dari rombonganku berujar jika kita seakan sedang berada di Bali. Dengan lingkungan dan dekorasi pada bagian awal ini, sepertinya aku bisa melihat mengapa mereka menganggapnya demikian.
Tur berlanjut ketika kami memasuki ruangan pertama. Kami menuruni tangga yang terasa seperti menuntun kami ke dalam lorong bawah tanah, sebuah perjalanan simbolis menuju kedalaman sejarah. Di sana, sebuah lorong panjang menyambut, dengan dua bingkai besar di sisi kanan dan kiri yang menampilkan peta Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Mataram Islam. Lorong itu seperti pintu masuk ke masa lalu, dan setiap langkah seolah mendekatkan kami ke inti sejarah Jawa.
Mima, dengan suaranya yang jelas namun penuh semangat, mulai menjelaskan sejarah Kerajaan Mataram--kerajaan besar yang menjadi akar dari Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, serta Kasunanan Surakarta dan Kadipaten Mangkunegaran. Penuturannya tentang peninggalan-peninggalan kerajaan yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini terasa begitu hidup. Kami juga dijelaskan mengenai nama dari museum ini sendiri. Ullen Sentalu atau kependekan dari Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku, yang bermakna sebagai petunjuk bagi umat manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan. Tak kusangka, sejarah yang dulu selalu membuatku mengantuk di bangku sekolah, kini terasa begitu menarik. Mima berhasil membangkitkan minatku dengan cara ia merangkai setiap kisah, membuatku penasaran tentang apa yang akan disampaikannya selanjutnya.
Di sebelah kanan, peta berubah menjadi deretan gambar raja-raja dari Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta. Mima mengulas beberapa fakta menarik tentang mereka--perjuangan, keunikan, hingga peran penting yang mereka mainkan dalam sejarah Jawa. Setiap kisah yang ia utarakan membawa kami semakin dekat dengan tokoh-tokoh ini, seakan kami diizinkan untuk menyelinap ke dalam kehidupan para raja dan bangsawan di masa itu.
Tak berhenti di situ, kami bergerak ke samping, disuguhi lukisan-lukisan yang menggambarkan sosok-sosok penting dan peristiwa-peristiwa bersejarah. Rasanya seperti dilempar kembali ke masa lalu, di mana aku bisa melihat kehidupan dan perjuangan mereka yang dulu hanya kutahu sepintas. Dengan setiap penjelasan Mima, aku seakan diajak melintasi waktu, menyaksikan sendiri bagaimana sejarah besar itu terukir di tanah Jawa.
Kali ini kami melangkah keluar dari ruangan menuju sebuah area taman yang memukau. Taman berbentuk persegi ini memiliki patung Cupid di tengah, seolah menjadi simbol cinta dan keindahan yang terpancar dari setiap sudutnya. Tak jauh dari sana, sebuah patung replika Ganesha berdiri gagah, menyambut kami dengan aura kebijaksanaan. Ganesha, dewa pengetahuan dan kecerdasan, terasa sangat cocok di tempat ini, seperti menggambarkan seluruh perjalanan tur yang sedang kami jalani--penuh dengan pengetahuan dan pencerahan.
Kami berjalan perlahan mengikuti jalur memutar yang mengelilingi taman, dan di sepanjang jalan, arca-arca asli terpajang. Setiap arca menyimpan sejarah panjang, diselamatkan dari kehancuran setelah bencana besar yang menimpa masa kerajaan Mataram, saat pusat kekuasaan mereka masih berada di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mima menjelaskan dengan penuh hormat, menyebutkan bagaimana artefak-artefak ini nyaris hilang, namun kini berdiri kembali sebagai saksi bisu dari masa lalu yang penuh gejolak. Taman ini, dengan keindahan yang tenang dan arca-arca yang menyimpan cerita, seakan memberikan ruang refleksi di antara alur sejarah yang terus berjalan. Rasanya setiap langkah membawaku lebih dalam ke dalam esensi dari tur ini--bukan hanya tentang masa lalu, tetapi tentang memahami betapa berharganya warisan yang kita miliki.
Di ujung pameran arca, kami diarahkan memasuki sebuah ruangan yang terletak di samping taman. Ruangan ini sederhana, memanjang, namun tetap memancarkan kemegahan melalui empat lukisan besar yang tergantung di dinding, dengan dua patung berdiri anggun di kedua ujung ruangan. Atmosfernya tenang namun penuh makna, seolah-olah ruangan ini menyimpan cerita penting yang siap dibagikan.
Di sini, Mima memperkenalkan kami pada perbedaan gaya berpakaian antara dua kesultanan besar, khususnya melalui pakaian pengantin. Setiap detail pada pakaian tersebut, dari aksesoris hingga tata busananya, memiliki filosofi yang dalam dan unik. Filosofi ini mencerminkan tidak hanya keindahan, tetapi juga simbol-simbol spiritual dan nilai-nilai yang dipegang oleh masing-masing kerajaan.
Salah satu lukisan besar yang menarik perhatian adalah lukisan pelantikan Sri Sultan Hamengkubuwono X sebagai Raja Kesultanan Yogyakarta. Di sampingnya, sebuah lukisan lain menggambarkan momen saat Pangeran Charles dan Putri Diana berkunjung ke Yogyakarta tak lama setelah pelantikan Hamengkubuwono X. Lukisan tersebut menangkap pertemuan bersejarah antara dua dunia yang berbeda, namun terhubung melalui diplomasi dan tradisi.
Melalui ruangan ini, kami tidak hanya belajar tentang pakaian, tetapi juga tentang hubungan simbolis yang terjalin antara kekuasaan, adat, dan sejarah. Setiap lukisan dan patung seolah berbicara, mengajak kami memahami makna mendalam dari warisan budaya yang mereka simpan.